Jakarta, CNN Indonesia -- Ada satu hal menarik dari film klasik
Tiga Dara yang dipilih panitia peringatan Hari Film Nasional 2016 untuk diputar kembali di acara
Malam Film Indonesia serentak di bioskop XXI Metropole dan CGV Blitz Pacific Place, Jakarta, pada Rabu (30/3).
Bukan semata lantaran film ini dibuat oleh pelopor perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Lebih dari itu, film yang dibintangi Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak ini berhasil meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), pada 1960.
Kategori yang dimenangkan, yaitu Tata Musik Terbaik, jatuh ke tangan Sjaiful Bachri. Ia menjadi penata musik pertama yang meraih Citra pada 1960, dan ke-dua setelah G.R.W. Sinsu lewat film
Debu Revolusi di FFI pertama pada 1955.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, Piala Citra kategori ini “diborong” oleh Idris Sardi nyaris berturut-turut lewat
Petir Sepandjang Malam (1967),
Perkawinan (1973),
Cinta Pertama (1974),
Doea Tanda Mata (1985),
Ibunda (1986),
Tjoet Nja' Dhien (1988), dan lain-lain
Tentu saja bukan hanya Idris, komposer yang pernah berjaya di ajang FFI. Sinema Indonesia juga mengenal Eros Djarot serta duo Anto Hoed dan Melly Goeslaw, masing-masing lewat film legendaris
Badai Pasti Berlalu (1978) dan
Ada Apa dengan Cinta? (2002).
Sinema Indonesia juga boleh berbangga hati memiliki musisi sekaliber Aksan Sjuman yang menjadi Ilustrator Musik Terbaik di ajang Hainan International Film Festival, China, pada 2015, lewat karyanya, musik untuk film
Sokola Rimba (2013).
Pada tahun-tahun mendatang, sinema Indonesia tentu saja menantikan generasi muda penerus ilustrator musik hebat macam Idris, Eros, Anto dan Melly, juga Aksan. Walau harus diakui pekerjaaan yang satu ini memang sangat tidak mudah.
Hal ini disampaikan
music scorer Aghi Narottama kepada CNN Indonesia.com, belum lama ini. Pembuat
music score atau musik pengiring adegan film (bukan
soundtrack) harus membaca skrip untuk mengetahui latar cerita, tahun, tempat, hingga
genre film.
Sebab sebuah film memang memerlukan elemen pendukung agar para penonton dapat mengerti ekspresi dan emosi dari tiap adegan yang ditampilkan. Visual dan audio merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan memperkuat satu sama lain.
"Kita banyak duduk bareng sutradara, yang sudah punya visi ini musik filmnya mau
diapain,
style-nya mau kayak apa, orkestra atau mau minimalis cuma gitar plus piano,” kata pria yang pernah meraih nominasi Piala Citra kategori Penata Musik Terbaik.
“Arah
score-nya,” kata Aghi, “mau ke
happy, atau lebih ke
dark, harus dibahas dari awal.” Sejauh ini, Aghi terlibat dalam penggarapan film
Sang Kyai, Surat untuk Kartini, dan beberapa film besutan sutradara Joko Anwar, termasuk
A Copy of My Mind.Proses penggarapan
music score, menurut Aghi, dimulai begitu
editing film selesai. Sang
music scorer atau ilustrator musik menerjemahkan
creative thinking, menyesuaikan musik untuk adegan-adegan, sesuai catatan yang didiskusikan sebelumnya.
Musik untuk film sendiri dibagi menjadi dua kategori, yaitu
original song dan
original score.
Original song adalah musik yang dibuat oleh artis untuk
theme song, atau sering disebut
soundtrack. Biasanya,
original song dibuat untuk
ending credit, adegan
montage, atau bisa juga berperan sebagai musik yang keluar dari radio atau kafe di beberapa adegan film.
Sedangkan,
original score adalah musik yang dibuat khusus mendampingi gambar dengan bentuk formatnya instrumental. Biasanya,
original score dibuat setelah proses editing film selesai, dalam pengerjaanya timing merupakan bagian paling krusial. Pengerjaannya pun harus dibuat sambil melihat dan memperhatikan cerita film, karena fungsinya untuk menguatkan adegan film.
"Film ini kan ada batas durasinya, jadi memang selama kurang lebih dua jam itu, selain dihibur dengan cerita, didukung dengan elemen-elemen memperkuat emosi dari ceritanya, yaitu
original score," ungkap pria berkacamata, berusia 39 tahun ini.
Aghi mencontohkan adegan orang marah di tengah kemacetan lalu lintas. Adanya tambahan musik di adegan ini, menurut Aghi, menambah emosi yang ingin dibangun. Adegan bakal terlihat dan terasa berbeda jika tak diimbuhi ilustrasi musik.
Yang menyenangkan, peran sebagai
music scorer, menurut Aghi, sekarang sudah lebih diperhatikan dan menjadi bagian dalam ajang-ajang penghargaan film. Namun sayang, kategorinya lebih difokuskan pada penghargaan musik terbaik atau penata musik terbaik saja, belum khusus untuk
original song atau
score.
"Harusnya ada dua juga, karena ada orang yang bertanggung jawab untuk
score dan ada juga yang bertanggung jawab untuk
song. Penghargaan selalu ada, hanya saja kategorinya masih rancu," ungkap Aghi yang memulai kiprah sebagai
music scorer lewat film
Berbagi Suami besutan sutradara Nia Dinata.
Masyarakat kini pun sudah mulai memperhatikan aspek
original score untuk film, meski menurutnya, belum cukup banyak. Bagi para penggarap
music scoring, kritikan baik atau buruk terhadap karyanya merupakan suatu penghargaan betapa kiprah mereka diperhatikan.
"Awal memang orang-orang '
take it for granted' banget,” kata Aghi. “Tapi ada juga, banyak orang yang menggemari
music score. Semakin banyak bahkan orang-orang banyak juga yang mengkritisi musik dari film juga, itu sebagai penghargaan, kritik buruk atau baik tetap saja, akhirnya diperhatikan.”
(vga/vga)