Menanti Generasi Baru Ilustrator Musik Penerus Idris Sardi

Agniya Khoiri & Vega Probo | CNN Indonesia
Kamis, 31 Mar 2016 22:36 WIB
Sinema Indonesia tentu saja menantikan generasi muda penerus ilustrator musik hebat macam Idris Sardi, juga Aksan Sjuman.
Ilustrasi pemain biola (Pixabay/niekverlaan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada satu hal menarik dari film klasik Tiga Dara yang dipilih panitia peringatan Hari Film Nasional 2016 untuk diputar kembali di acara Malam Film Indonesia serentak di bioskop XXI Metropole dan CGV Blitz Pacific Place, Jakarta, pada Rabu (30/3).

Bukan semata lantaran film ini dibuat oleh pelopor perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Lebih dari itu, film yang dibintangi Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak ini berhasil meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), pada 1960.

Kategori yang dimenangkan, yaitu Tata Musik Terbaik, jatuh ke tangan Sjaiful Bachri. Ia menjadi penata musik pertama yang meraih Citra pada 1960, dan ke-dua setelah G.R.W. Sinsu lewat film Debu Revolusi di FFI pertama pada 1955.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah itu, Piala Citra kategori ini “diborong” oleh Idris Sardi nyaris berturut-turut lewat Petir Sepandjang Malam (1967), Perkawinan (1973), Cinta Pertama (1974), Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), Tjoet Nja' Dhien (1988), dan lain-lain

Tentu saja bukan hanya Idris, komposer yang pernah berjaya di ajang FFI. Sinema Indonesia juga mengenal Eros Djarot serta duo Anto Hoed dan Melly Goeslaw, masing-masing lewat film legendaris Badai Pasti Berlalu (1978) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002).

Sinema Indonesia juga boleh berbangga hati memiliki musisi sekaliber Aksan Sjuman yang menjadi Ilustrator Musik Terbaik di  ajang Hainan International Film Festival, China, pada 2015, lewat karyanya, musik untuk film Sokola Rimba (2013).

Pada tahun-tahun mendatang, sinema Indonesia tentu saja menantikan generasi muda penerus ilustrator musik hebat macam Idris, Eros, Anto dan Melly, juga Aksan. Walau harus diakui pekerjaaan yang satu ini memang sangat tidak mudah.

Hal ini disampaikan music scorer Aghi Narottama kepada CNN Indonesia.com, belum lama ini. Pembuat music score atau musik pengiring adegan film (bukan soundtrack) harus membaca skrip untuk mengetahui latar cerita, tahun, tempat, hingga genre film.

Sebab sebuah film memang memerlukan elemen pendukung agar para penonton dapat mengerti ekspresi dan emosi dari tiap adegan yang ditampilkan. Visual dan audio merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan memperkuat satu sama lain.

"Kita banyak duduk bareng sutradara, yang sudah punya visi ini musik filmnya mau diapain, style-nya mau kayak apa, orkestra atau mau minimalis cuma gitar plus piano,” kata pria yang pernah meraih nominasi Piala Citra kategori Penata Musik Terbaik.

“Arah score-nya,” kata Aghi, “mau ke happy, atau lebih ke dark, harus dibahas dari awal.” Sejauh ini, Aghi terlibat dalam penggarapan film Sang Kyai, Surat untuk Kartini, dan beberapa film besutan sutradara Joko Anwar, termasuk A Copy of My Mind.

Proses penggarapan music score, menurut Aghi, dimulai begitu editing film selesai. Sang music scorer atau ilustrator musik menerjemahkan creative thinking, menyesuaikan musik untuk adegan-adegan, sesuai catatan yang didiskusikan sebelumnya.

Musik untuk film sendiri dibagi menjadi dua kategori, yaitu original song dan original score. Original song adalah musik yang dibuat oleh artis untuk theme song, atau sering disebut soundtrack. Biasanya, original song dibuat untuk ending credit, adegan montage, atau bisa juga berperan sebagai musik yang keluar dari radio atau kafe di beberapa adegan film.

Sedangkan, original score adalah musik yang dibuat khusus mendampingi gambar dengan bentuk formatnya instrumental. Biasanya, original score dibuat setelah proses editing film selesai, dalam pengerjaanya timing merupakan bagian paling krusial. Pengerjaannya pun harus dibuat sambil melihat dan memperhatikan cerita film, karena fungsinya untuk menguatkan adegan film.

"Film ini kan ada batas durasinya, jadi memang selama kurang lebih dua jam itu, selain dihibur dengan cerita, didukung dengan elemen-elemen memperkuat emosi dari ceritanya, yaitu original score," ungkap pria berkacamata, berusia 39 tahun ini.

Aghi mencontohkan adegan orang marah di tengah kemacetan lalu lintas. Adanya tambahan musik di adegan ini, menurut Aghi,  menambah emosi yang ingin dibangun. Adegan bakal terlihat dan terasa berbeda jika tak diimbuhi ilustrasi musik.

Yang menyenangkan, peran sebagai music scorer, menurut Aghi, sekarang sudah lebih diperhatikan dan menjadi bagian dalam ajang-ajang penghargaan film. Namun sayang, kategorinya lebih difokuskan pada penghargaan musik terbaik atau penata musik terbaik saja, belum khusus untuk original song atau score.

"Harusnya ada dua juga, karena ada orang yang bertanggung jawab untuk score dan ada juga yang bertanggung jawab untuk song. Penghargaan selalu ada, hanya saja kategorinya masih rancu," ungkap Aghi yang memulai kiprah sebagai music scorer lewat film Berbagi Suami besutan sutradara Nia Dinata.

Masyarakat kini pun sudah mulai memperhatikan aspek original score untuk film, meski menurutnya, belum cukup banyak. Bagi para penggarap music scoring, kritikan baik atau buruk terhadap karyanya merupakan suatu penghargaan betapa kiprah mereka diperhatikan.

"Awal memang orang-orang 'take it for granted' banget,” kata Aghi. “Tapi ada juga, banyak orang yang menggemari music score. Semakin banyak bahkan orang-orang banyak juga yang mengkritisi musik dari film juga, itu sebagai penghargaan, kritik buruk atau baik tetap saja, akhirnya diperhatikan.”

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER