Boneka Raksasa Betawi dari 'Bengkel' Sempit di Kemayoran

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Kamis, 23 Jun 2016 18:40 WIB
Membuat ondel-ondel banyak dilakukan perajin di gang-gang sempit Jakarta. Membutuhkan sekitar Rp3 juta untuk membuat sepasang.
Ondel-ondel (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang Amerika yang berkunjung ke Batavia abad ke-19 pernah menulis soal seni Betawi yang disebutnya 'tarian jalanan.' Banyak yang menganggap itu ondel-ondel. Kini, ondel-ondel pun kembali ke 'panggung abadinya.'

Ia tidak lagi hanya ada di pentas-pentas. Ondel-ondel juga dijadikan penarik perhatian saat 'ngamen.' Ondel-ondel dengan orang di dalamnya berjalan ke kampung-kampung, diiringi pemusik dan si pengumpul uang.

Tapi Andri, pemimpin kelompok seni Betawi Group Kelana Betawi (GKB) melihat fenomena makin populernya ondel-ondel itu sebagai sesuatu yang aneh. Tidak semua dari mereka punya 'akar' seni ondel-ondel yang asli.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya kadang bingung, dasarnya apa? Kalau perhitungan bisnis, enggak untung-untung amat kok," katanya kepada CNNIndonesia.com di 'bengkel' ondel-ondelnya di Kemayoran.

Bayangkan saja. Sekali 'ngamen' mereka memang bisa mendapat Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Tapi itu dilakukan seharian. Panjak (pemain ondel-ondel) harus jalan berpuluh-puluh kilometer membawa boneka raksasa seberat lima kilogram sampai 10 kilogram.

"Belum bakal makannya, ngopinya, ngerokoknya," ujar Andri menyebutkan. Uang itu juga harus dibagi-bagi ke seluruh rombongan. Sekali pentas ondel-ondel saja, kata Andri, butuh minimal 12 orang.

Empat untuk bergantian memainkan sepasang ondel-ondel dan delapan untuk memainkan musik. Untuk ngamen mungkin bisa dipangkas lebih sedikit. Dua pemain, empat pemusik, dan satu atau dua pengumpul uang di jalan.

Tapi itu juga belum dikurangi bensin dan sewa mobil. Sebab pengamen ondel-ondel biasanya berpindah-pindah. "Bawa pulang paling Rp50 ribu sampai Rp70 ribu seorang."

Jumlah itu tidak jauh berbeda dengan pentas ondel-ondel saat diundang lembaga tertentu. "Tapi kalau melakukan ini buat bisnis, enggak sesuai sama capeknya. Kalau buat seni sih asyik-asyik saja, bisa dinikmati," kata Andri.

Ia sendiri sudah akrab dengan pentas ondel-ondel sejak masih berusia 10 tahun. Pria kelahiran 1983 itu awalnya menjadi penabuh gendang untuk gambang kromong dan musik yang mengiringi pentas ondel-ondel. Kelamaan, ia belajar membuat ondel-ondel.

Dari teman-teman sesama sanggar dan 'seniornya' Andri tahu syarat-syarat bikin ondel-ondel. Soal warna, misalnya. "Kalau laki-laki kedok [topeng] harus merah, karena gagah. Perempuan putih. Kalau baju sih warnanya bebas sesuai kreasi," ia berkata.

Sekitar dua tahun lalu, setelah belajar lama, ia lantas mendirikan sanggar sendiri. Uang Rp7 juta yang dikumpulkannya selama ini, ia pakai untuk membeli alat musik dan membeli bahan membuat sepasang ondel-ondel.

Membuat sepasang ondel-ondel, katanya, butuh sekitar Rp3 juta. Paling mahal membeli kain untuk baju. "Atasannya saja sudah habis [kain] tujuh meter, bawahannya tiga meter. Jadi satu ondel-ondel 10 meter. Belum ondel-ondel yang satunya," ia menerangkan.

Kain biasanya ia beli di Pasar Tanah Abang. Kalau bambu, yang digunakan sebagai kerangka ondel-ondel, dibeli di dekat 'bengkel'-nya di Jalan Utan Panjang. "Kebetulan ada yang dekat jual," ujarnya.

Butuh satu batang bambu panjang untuk satu ondel-ondel. Itu akan dibelah-belah sesuai ukuran. "Diseset supaya enggak tajam. Dipotong sesuai ukuran," kata Andri. Satu ondel-ondel biasanya berukuran 2,5 meter sampai tiga meter. Bilah bambu untuk 'tulang badan'-nya biasanya dibikin 1,2 meter.

Ia kemudian membentuk lingkaran dari bilah bambu yang sudah dibelah-belah. Satu lingkaran untuk tubuh ondel-ondel berdiameter sekitar 50 sampai 70 centimeter. Baru ditambah kepala, yang dibentuk dari kedok dari cetakan fiber, ijuk, dan tusuk lidi.

Membuat sepasang ondel-ondel butuh sekitar tiga sampai empat orang. "Satu ondel-ondel dua orang saja bisa. Yang penting ada yang pegangi waktu bikin bulatan bambunya. Karena kalau enggak gitu, miring," kata Andri.

Orang-orang itu berkumpul di 'bengkel' Andri yang sempit, hanya berukuran sekitar 3 x 2,5 meter. Ruangan itu dipenuhi dua pasang ondel-ondel milik grup Andri dan peralatan-peralatan membuat boneka raksasa itu. 'Bengkel' sempitnya ada di gang kecil yang hanya muat dua sepeda motor, di kawasan padat penduduk di Kemayoran.

Di ruangan itu, biasanya para perajin berkreasi selama sekitar dua minggu untuk membuat sepasang ondel-ondel. Paling lama membuat kerangka. "Bambunya harus basah, kalau kering enggak bisa dilengkungkan. Setelah bambu basah dilengkungkan, harus dikeringkan lagi, kalau enggak longgar."

Membuat kerangka saja butuh waktu sekitar seminggu. Belum membuat baju dan kepalanya. "Biasanya kita barengin. Ada yang bikin kerangka ada yang bikin baju. Jadi waktu kerangka jadi langsung dipasang baju."

Bambunya harus basah, kalau kering enggak bisa dilengkungkan. Setelah bambu basah dilengkungkan, harus dikeringkan lagi, kalau enggak longgar.Andri, perajin ondel-ondel
Ondel-ondel yang sudah jadi itu bisa tahan biasanya sampai enam bulan. Lebih lama dari itu, kerangka bambunya mulai lapuk. Bisa saja Andri menggantinya dengan kawat yang lebih awet, tapi itu lebih mahal dan menurutnya justru akan menyalahi 'kiblat' tradisi yang ada.

Dari biaya produksi sekitar Rp3 juta itu, Andri menjual ondel-ondelnya sekitar Rp5 juta. Keuntungan harus dibagi-bagi kepada para perajin yang ikut membantu membuatnya.

Uang itu memang sepertinya lumayan. Tapi tidak setiap bulan Andri dapat pesanan. "Bisa sebulan sekali, bisa enggak sama sekali." Pesanan biasanya ramai menjelang ulang tahun Jakarta, yang jatuh setiap 22 Juni.

Naik turunnya pesanan ondel-ondel itu tidak jauh berbeda dengan sepinya pemesan pentas sang boneka Betawi yang dahulu berfungsi sebagai penolak bala itu. Kalau dahulu bisa dipanggil manggung 15 sampai 20 kali per bulan, kini paling hanya lima kali.

Menurut Andri, itu berhubungan dengan pemerintah sekarang. "Sekarang hati-hati kalau mengeluarkan anggaran. Enggak jor-joran seperti dulu," ujarnya, menirukan keluhan seniman-seniman ondel-ondel lain.

Bedanya lagi, lanjut Andri, tidak semua kantor butuh ondel-ondel sebagai 'penjaga' di depan, seperti dahulu. "Kantor camat, kantor-kantor di Sudirman, dulu pas zaman Fauzi Bowo pada pasang ondel-ondel, jadi mereka pesan."

Tapi sekarang ondel-ondel tidak lagi diperlukan 'menjaga' perkantoran. "Dulu dilestariin bener," kata Andri, membandingkan dengan pemerintahan kini.

Mungkinkan itu berhubungan dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang bukan asli Jakarta? Andri menjawab sedikit malu, "Kalau menurut omongan seniman-seniman sih ya begitu."

Bisa jadi itu pula yang membuat ondel-ondel kembali 'menjual diri' di jalanan. (rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER