Jakarta, CNN Indonesia -- Perubahan era turut mengubah pola perilaku masyarakat. Era digital membuat masyarakat terlena oleh kehidupan media sosial. Anak muda berlomba-lomba menjadi paling hits.
Salah satunya lewat konten seni. Pameran, galeri atau museum jadi sasaran anak muda berfoto lalu mengunggahnya ke media sosial. Tak peduli filosofi di baliknya, yang penting karya itu terlihat menarik.
Kedatangan gelombang 'generasi selfie' itu diakui oleh kurator seni Rizky Effendy. Ditemui CNNIndonesia.com dalam Bazaar Art Jakarta 2016, Rizky mengakui penggemar seni semakin banyak, meski yang mereka lakukan hanya berfoto untuk media sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi ada beberapa dari mereka yang mulai memeerhatikan [seni] meski hanya di bawah 10 persen yang berkelanjutan untuk tertarik," Rizky melanjutkan.
Ia pun memandang kedatangan 'generasi selfie' itu awal yang baik di ajang pameran seni. Penting memunculkan rasa ingin tahu mereka. "Memang awalnya seperti itu, dari hits, ikut-ikutan, tapi ada yang serius ingin tahu dan balik lagi ke pameran," ujarnya lagi.
Vivi Yip, Fair Director Bazaar Art Jakarta 2016 sekaligus pemilik galeri Vivi Yip Art Room pun maklum akan perilaku 'generasi selfie' itu. Asal, katanya, bertanggung jawab dengan karya seni yang ada.
"Saya hanya mengingatkan, seni rupa itu untuk dilihat dengan mata. Kalau selfie hati-hati, jangan merusak karyanya dan saat menikmati lukisan cukup dipandang," Vivi mengatakan.
Fenomena narsis dalam beberapa pertunjukan instalasi memang pernah mengorbankan karya seni yang bersangkutan. Mei lalu misalnya, patung Dom Sebastio di Lisbon, Portugal yang berusia 126 tahun tersenggol dan pecah berkeping-keping.
Gara-garanya, seorang pria ingin selfie di depan patung. Pria itu pun harus menghadapi masalah hukum.
Belakangan perilaku 'generasi selfie' ternyata juga memengaruhi daya kreatif seniman. Rifky yang pernah menguratori karya seni Entang Wiharso mengungkapkan, ada beberapa seniman yang mengikuti permintaan zaman.
Seniman itu sendiri biasanya juga datang dari era merajanya teknologi.
"Ada yang mengubah instalasinya jadi lebih atraktif. Banyak seniman sekarang yang muda dan mereka jadi wakil, regenerasi. Seniman yang muda biasanya lebih tahu spirit pada zamannya. Tapi ada juga yang tetap konsen membuat gaya klasik," ujarnya.
Mengikuti 'generasi selfie' ada untung ruginya bagi seniman. Positifnya, mereka bisa dapat 'promosi' gratis. Tapi biasanya dengan 'melayani' kebutuhan mereka tak sempat merenung.
 Pengunjung menikmati karya seni di Bazaar Art Jakarta 2016. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Itu diakui salah satu seniman, Arifin Neif. Katanya, seiring perkembangan dan permintaan zaman, seniman seperti dirinya tidak bisa lagi egois.
"Saya sendiri harus memahami audiens yang mengapresiasi. Mereka punya problem keinginan dan dunia sendiri. Saya sebagai pelaku seni harus tahu apa yang ada di kepala audiens," kata pemilik Galeri Zolu-Zolu Bandung itu.
Sebelumnya, Arifin mengaku konsen pada lukisan yang bercerita tentang penjelmaan psikologi. Namun belakangan, ia mengikuti perkembangan dan mengubahnya menjadi tema cinta.
"Itu terlalu sulit, lalu saya alihkan ke tema cinta, karena setiap orang pasti merasakan cemburu, kejujuran, dan lainnya," kata Arifin.
Ia menanggapi positif 'generasi selfie' yang membanjiri pameran seni hanya untuk eksistensi diri.
"Saya pikir lewat tindakan itu ada interaksi, meski boleh jadi tidak terjadi transaksi. Itu sah-sah saja. Tapi suatu saat mereka akan terlibat langsung mengoleksi, mungkin sekarang ingin lebih banyak tahu," tuturnya.
(rsa/rsa)