Jakarta, CNN Indonesia -- Suara medok Reza Rahadian terdengar di kegelapan. Seiring ia membacakan surat pertama dari Panji Darma dengan tempo cepat, lampu panggung pun mulai menyala. Kekuningan.
Di kursi rotan yang diatur berhadapan, baru terlihat Reza duduk dengan pakaian khas Jawa. Jas, sarung batik dan blangkon. Di hadapannya, ada Happy Salma dengan pose bak wanita kehormatan.
Reza tengah menjelma menjadi Minke, tokoh dalam Tetralogi Pulau Buru karya sastrawan besar Indonesia, Pramodeya Ananta Toer. Sementara Happy memerankan Nyai Ontosoroh, atau sering juga disebut dengan panggilan Mama oleh Minke.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surat yang menginformasikan perjalanan Panji Darman ke selesai dibacakan. Minke dan Nyai kemudian berdialog tentang bagaimana mereka bosan harus dikurung di rumah besar itu.
Minke tak sabar segera menyusul ke Belanda. Tempat istri yang dicintainya, Annelies dibawa. Annelies lah yang dijagai Panji Darman sepanjang perjalanan dengan kapal ke Belanda itu. Annelies pula sebab Panji Darman rajin berkirim surat.
Minke dan Nyai pun mengenang kali pertama mereka bertemu. Minke, siswa HBS diajak kawannya Robert Suurhof berkunjung ke
Boerderij Buitenzorg di Wonokromo, Surabaya.
 Reza Rahadian memerankan Minke dan Happy Salma sebagai Nyai Ontosoroh. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
Sementara kawannya itu bercengkerama dengan Robert Mallema kakak Annelies, Minke bertemu gadis indo cantik yang langsung memukau hatinya. Berkenalanlah ia dengan Annelies. Sikap santun, pujian, sampai ciuman Minke membuat Annelies melayang. Ia mengajak Minke tinggal di rumahnya.
Lambat laun keduanya saling jatuh cinta. Mereka pun menikah. Gunjingan sempat datang, terutama karena Minke pribumi, meskipun dari kalangan bangsawan dan terpelajar, dan Annelies campuran Belanda. Tapi Minke banyak dibela karena tulisan-tulisannya membuat hati masyarakat tergerak.
Apa yang salah dari perkawinan campur itu?
Masalah memuncak ketika Nyai dan Tuan, seorang Belanda bernama Herman Mallema, ternyata tak pernah punya ikatan perkawinan. Herman punya istri sah di Belanda sana, juga anak kandung bernama Maurits Mallema. Mereka menuntut hak.
Seluruh harta Herman menjadi milik mereka setelah sang Tuan ditemukan meninggal di rumah pelacuran. Ada bagian untuk Annelies, tapi karena ia belum dewasa maka walinya jatuh ke tangan Maurits. Artinya Annelies harus pulang ke Belanda.
Ia tak boleh ditemani Minke maupun Nyai. Hanya ada Panji Darman di sampingnya. Panji Darman menemani Annelies, merawatnya, sampai ke Belanda. Sampai Annelies meregang nyawa.
Cerita dari
Bumi Manusia dan
Anak Semua Bangsa itu dirangkum dalam pertunjukan sepanjang sekitar 2,5 jam oleh sutradara Wawan Sofwan. Ia juga yang mengadaptasi novel kebanggaan karya Pram itu menjadi naskah pertunjukan teater.
Annelies diperankan Chelsea Islan, aktris muda yang sedang naik daun dan memang berwajah indo. Secara fisik, kecantikan Chelsea mungkin sesuai bayangan pembaca Pram soal Annelies.
Tapi Chelsea gagal menggali karakter Annelies. Ia memang digambarkan masih kekanakan. Ada beberapa set di mana Chelsea menjelma seperti remaja di bawah 17 tahun. Pipinya memerah saat dicium Minke, dan betapa ia dekat dengan ibunya.
Chelsea bahkan menyanyi dan menari lepas bersama May Marais, anak Jean Marais yang diperankan Sabia Arifin. Jean sendiri, mantan serdadu asal Perancis berkaki buntung yang beralih profesi jadi pelukis, dimainkan Lukman Sardi.
Tapi Chelsea jadi terlalu kekanak-kanakan. Ia lupa bahwa Pram juga menggambarkan Annelies dengan keanggunan dan karakter yang agak pendiam. Cara Chelsea lari ke belakang panggung memanggil ibunya setelah dicium Minke, justru mengesankan ia terlalu kekanakan dan agak centil.
Setiap ia memanggil 'Mama' dengan suara dan nada memanja, semakin terasa kekanakannya. Mungkin Chelsea punya terjemahan yang berbeda antara remaja masa kini dan masa itu. Masanya Pram.
Di beberapa adegan, dialog Chelsea juga terasa sangat kaku. Saat ia meminta koper tua yang pernah dipakai ibunya meninggalkan rumah misalnya, intonasi yang ia ucapkan lebih terdengar seperti robot ketimbang dialog yang natural.
Kondisinya memang sedang terpukul. Mimiknya memang gamang. Tapi ini bukan film yang hanya mementingkan mimik karena wajah bakal disorot dekat oleh kamera. Chelsea juga harus 'kerasukan' Annelies dari gerak tubuh dan lontaran dialog.
Dilihat dari deret ke-dua bangku Gedung Kesenian Jakarta, Chelsea belum mewujud jadi Annelies.
 Chelsea Islan belum 'kerasukan' Annelies. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
Yang terasa paling menonjol adalah Happy Salma. Ia bisa memerankan Sanikem yang ketakutan dan kebingung saat dijual ayahnya senilai 25 gulden ke seorang Tuan Belanda, sampai Nyai yang terpelajar.
Sesekali Happy memang terselip lidah. Ia salah ucap satu atau dua kata. Tapi karakter Nyai yang begitu anggun, agung, dan terhormat tetap melingkupinya sepanjang pentas di atas panggung.
Ia mampu mentransfer kekuatan kata-kata Pram dalam beberapa dialog yang jelas diambil dari bukunya. Salah satunya kata-kata magis milik Pram: "Tahukah kau mengapa aku menyayangimu lebih dari siapa pun? Karena kau menulis."
Happy mengucapkannya pada Reza, persis seperti bayangan bagaimana Nyai melontarkannya pada Minke dalam buku Anak Semua Bangsa.
Ia semakin menonjol saat bermonolog menceritakan bagaimana Maurits datang dengan penuh kesombongan, menganggapnya hanya gundik atau teman tidur semata. Happy memerankan dirinya, Herman, dan Maurits dalam satu tarikan napas dan satu set adegan.
Akting klimaks Happy ada di akhir pertunjukan. Setelah mendapati putrinya meninggal di Belanda, sementara Minke meraung, Nyai berteriak-teriak memaki orang kulit putih yang dianggapnya 'membunuh' Annelies. Makiannya itu membuat merinding. Tiap katanya seakan berlumur dendam.
Reza, yang sama seperti Chelsea baru pertama kali mementaskan teater, terasa gugup di awal-awal pertunjukan. Suaranya terdengar bergetar. Intonasinya datar. Tempo pengucapan dialognya terlalu cepat. Kurang penekanan di sana-sini.
Tapi kelamaan, ia mulai bisa mengikuti ritme pementasan. Bahkan dengan dialog dan geraknya Reza bisa membuat penonton tertawa meski jelas ia tak sedang melontarkan humor yang kentara.
Sayangnya, karakter Minke yang dimainkan Reza kurang digali secara mendalam oleh Wawan. Minke merupakan tokoh paling ikonik dan kuat dalam buku Pram. Disebut-sebut itu merupakan 'jelmaan' dari Bapak Pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo.
Kekuatan Minke adalah menulis. Ia menyuarakan kata hati pribumi yang terinjak-injak oleh ketidakpedulian kaum Eropa. Minke adalah pemuda penuh intelektualitas. Ia sampai rela hidup bersama rakyat kecil, petani semacam Trunodongso demi mendalami kehidupan mereka.
Tapi itu kurang tergambarkan dalam teater. Minke hanya terkesan sebagai pemuda berdarah biru yang terpukau oleh kecantikan seorang gadis indo. Ketajaman pikirannya kurang tereksplorasi.
 Reza Rahadian meraung meratapi kepergian Annelies istrinya. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
Itu hanya terasa sekilas, dalam satu babak, saat Minke berdialog dengan Jean. Sang pelukis mencoba menyadarkan Minke bahwa tulisannya seharusnya berbahasa Melayu agar bisa menggerakkan rakyat, bukan berbahasa Belanda.
Jean sendiri, yang diperankan Lukman, berakting dengan cukup meyakinkan. Topi pet-nya khas orang Perancis. Gerak tangannya juga sangat 'Perancis,' yang identik dengan ekspresif.
Tapi lidah Lukman sepertinya belum terbiasa dengan dialek Perancis yang seharusnya khas. Ia mengucapkan huruf 'R' dengan pangkal lidah seperti orang Perancis, tetapi ada beberapa huruf yang ia ucapkan seperti Inggris atau Indonesia.
Ia pun terkadang lepas dari intonasi Perancis yang coba dibawakan. Dialognya jadi 'lari' ke logat Belanda, bahkan kadang terdengar seperti Batak.
Di luar akting, pertunjukan yang judulnya mengutip salah satu frase dalam tulisan Pram,
Bunga Penutup Abad itu terasa 'wah' secara set, musik, serta tata lampu dan cahaya. Set-nya sederhana, hanya kursi-kursi rotan dan meja. Kasur di dalam.
Tapi itu cukup mewadahi seluruh cerita. Saat adegan Jean, latar berganti dinding penuh lukisan.
Panggung terlihat indah dengan sorot lampu yang berganti-ganti ke setiap tokho yang sedang berdialog. Hanya saja, foto-foto Annelies yang disorotkan ke dinding setiap kali tokoh itu muncul di atas panggung, terasa terlalu berlebihan.
Bunga Penutup Abad dibuat Wawan dengan menggabungkan
Bumi Manusia dan
Anak Semua Bangsa. Jelas tidak semua kisah bisa terangkum. Tapi alur maju mundur yang digunakan Wawan bisa dipahami dan utuh menjadi sebuah cerita.
Pertemuan Minke dengan Annelies sampai aturan semena-mena Belanda yang memisahkan mereka.
Transisi satu babak ke babak lain cukup halus. Saat Minke mengenang salah satu ciumannya dengan Annelies, misalnya. Wawan menempatkan itu dalam dua adegan berbeda, waktu berbeda, tapi tersambung dengan sempurna.
Kata-kata Chelsea 'dan lari kamar Mama tanpa mengetuk pintu' dibikin berbarengan dengan dialog yang sama dari Reza, sebagai penanda adegan bertransisi dari masa lalu ke sekarang.
Pentas
Bunga Penutup Abad ditutup dengan adu dialog penuh kemarahan antara Minke dan Nyai. Kata-kata Pram yang magis kembali terasa, kali ini ditambah ungkapan emosi dari dua pemainnya.
Bunga Penutup Abad akan dipentaskan di Galeri Kesenian Jakarta mulai hari ini, Kamis (25/8) sampai Sabtu (27/8). Menurut Yayasan Titibangsa yang bekerja sama dengan Djarum Bhakti Budaya, tiket langsung terjual habis sehari setelah dibuka.