Jakarta, CNN Indonesia -- Ada yang janggal dari majunya
Surat dari Praha, film tentang kisah cinta yang tersisa dari tragedi 1965, ke ajang Oscar. Film itu dipilih komite seleksi yang terdiri atas 13 sineas profesional, mewakili Indonesia untuk Film Berbahasa Asing Terbaik.
Garapan Angga Dwimas Sasongko itu akan bersaing dengan puluhan bahkan ratusan negara di dunia untuk menjadi lima besar nominasi Oscar, apalagi memenangi ajang penghargaan bergengsi di bidang perfilman bagi Hollywood itu.
Tapi film yang dibintangi Tyo Pakusadewo dan Julie Estelle itu justru tidak didukung negara. Adalah Perusahaan Persatuan Film Indonesia (PPFI) yang membentuk Komite Seleksi untuk memilih film itu dengan berbagai pertimbangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PPFI merupakan perwakilan dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS), penyelenggara Oscar. Tapi itu bukan bagian dari alat negara. Seluruh biaya pembentukan, pemilihan, maupun pemberangkatan film ditanggung swasta.
Padahal pemerintah punya Badan Ekonomi Kreatif yang dibentuk Presiden Joko Widodo dan dianggap setara menteri. Tapi bahkan kepalanya, Triawan Munaf, baru tahu bahwa Indonesia punya perwakilan film di Oscar, pada hari H pengumuman.
Ayah dari penyanyi Sherina Munaf itu pun berjanji akan mendukung tahun depan.
"Sekarang belum, karena kami baru tahu. Kali ini belum dianggarkan, tapi nanti saya carikan [dana], tidak janji. Kalau tidak tercapai saya usahakan minimal ada suaranya dan kami harap ke depannya keikutsertaan pemerintah lebih struktural dan jadi proyek nasional yang sudah direncanakan lebih awal," ujar Triawan.
Produser Zairin Zain yang juga salah satu anggota Komite Seleksi mengatakan, ketidakhadiran negara di perfilman adalah salah satu kelemahan Indonesia.
“Buat saya kelemahan bernegara, ajang sebesar ini cuma sebatas sebesar semangat pembuat film saja. Mestinya negara yang hadir,” ujar Zairin, yang mengaku memilih Surat dari Praha karena isu universal yang diusungnya.
Ia mengusulkan, perlunya dibentuk lembaga khusus memuluskan jalannya film Indonesia ke ajang-ajang festival dunia. Bukan hanya yang paling bergengsi, Oscar.
"Saya mengusulkan dibikin Board of Indonesian Commitee Science, yang akan memilih anggota komite. Board ini akan bekerja tiga tahun dan bisa mengundang ahli film studi, yang bilang ‘Ini lho karakteristik film festival Biennale,’ misalnya.”
Lembaga itu bukan hanya mendukung film dari segi ‘teori,’ tetapi juga mencarikan dana. Sebab percuma film lolos ke Oscar, tapi tak ada untuk promosi. Juri yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan yang tergabung di AMPAS, tidak akan melirik jika tidak diberi media kit atau kopi film untuk ditonton, diresapi, dan dinilai.
Zairin menyarankan Indonesia punya sistem seperti Iran atau Korea. Di Iran, industri perfilman dipegang negara. “Kalau browsing, 99.9 persen industri perfilman Iran itu negara, jadi kreator tidak lagi mencari siapa yang bikinin filmnya,” katanya.
Produser
Alangkah Lucunya Negeri Ini itu melanjutkan, "Untuk Oscar mestinya ada dana berapa, cari seluruh pembuat film top, penulis top, suruh rapat bikin film untuk festival. Jangan pusing dengan penonton Indonesia. Iran melakukan itu."
Sementara di Korea, orang-orang yang bercokol di pemerintah paham perfilman.
“Harusnya sekolah film jadi perhatian utama. Karena itu intelektual, tidak mungkin SDM tidak dibentuk. Korea melakukan itu. Menterinya sutradara film, kayak Gangnam Style, K-Pop, itu by design, bukan lahir dengan coba-coba," tuturnya.
(rsa)