Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah pernah masuk dalam daftar panjang The Man Booker International Prize 2016 beberapa waktu lalu, kali ini Eka Kurniawan berhasil menjadi pemenang penghargaan Emerging Voices 2016 kategori fiksi.
Dikutip dari
Financial Times, Eka lewat karyanya yang berjudul
Man Tiger (Lelaki Harimau) dan terbit pada 2004, dinobatkan sebagai pemenang pada perhelatan FT/OppenheimerFunds Emerging Voices Awards yang digelar di New York pada Senin, (26/9) waktu setempat.
Selain Eka, di penghargaan kategori film diraih oleh Clarissa Campolina asal Brasil lewat film
Solon, dan di kategori seni diraih seniman asal Zimbabwe Gareth Nyandoro.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga pemenang berhak atas hadiah senilai US$ 40,000 atau sekitar Rp517 juta.
Untuk memenangi penghargaan ini, Eka dikabarkan bersaing dengan sekitar 800 karya yang masuk dalam kompetisi.
Para juri terdiri dari Elif Shafak penulis asal Turki, Iwona Blazwick, dari Gallery Whitechapel London, dan Mira Nair, sutradara dari India, yang membuat film
Salaam Mumbai! dan karya terbarunya
Queen of Katwe.Eka berhasil mengalahkan dua penulis kenamaan asal Tiongkok, yakni Yua Hua dengan novelnya
The Seventh Day, dan Yan Lianke dengan
The Four Books.Penghargaan Emerging Voices 2016 merupakan gelaran kedua yang diusung FT dan OppenheimerFunds, sebuah konsultan strategi pengelolaan aset Global, setelah yang pertama tahun pada lalu.
Lionel Barber, editor
Financial Times mengatakan pemberian penghargaan ini bertujuan untuk menemukan talenta berbakat di negara ekonomi berkembang, dan membuat karya mereka mendapat sorotan publik lebih luas.
Lelaki Harimau, yang mengisahkan tentang seorang anak muda yang dirasuki harimau putih, telah memenangkan sejumlah penghargaan dan masuk berbagai nominasi, dengan alihbahasa ke bahasa Inggris dilakukan oleh Labodalih Sembiring.
Dalam ulasannya, FT menuliskan bahwa, "Eka Kurniawan tak bisa dipungkiri dapat disandingkan dengan Gabriel Garcia Marquez, dan menjadi salah satu penulis fiksi kontemporer Indonesia yang handal."
Dinilai TerbaikLelaki Harimau merupakan novel kedua Eka setelah
Cantik Itu Luka (2002) yang dialihbahasa menjadi
Beauty is a Wound. Eka juga telah menerbitkan novel ketiga dan keempatnya,
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) dan
O (2016).
Karya-karya Eka dinilai sebagai cerita yang ditulis dengan gaya humor yang brutal, dan sepertinya ditujukan bukan buat pembaca yang lemah jantung.
Buku pertama
Beauty is a Wound mengusung protagonis, pekerja seks komersial yang bangkit dari kubur dan melakukan pembalasan dendam. Buku tersebut oleh New Yorker digambarkan sebagai sebuah film seks dengan rating B, yang ditampilkan dengan sangat menyentuh dan penuh empati.
Lelaki Harimau pada 2015 diterbitkan di AS, setelah Benedict Anderson, ilmuwan politik Asia Tenggara, mengenalkan karya Eka pada publik.
Penulis berusia 40 tahun tersebut, dengan nada bercanda, pernah mengatakan bahwa banyak orang yang kini ingin membaca karyanya "karena sudah diterbitkan di AS".
Dalam sebuah wawancara, Eka pernah menyampaikan bahwa ia menulis bukan untuk sukses secara komersil. Setamat kuliah filsafat pada 1999, setahun setelah mundurnya Presiden Soeharto, ia merasakan kebebasan baru.
"Sebagai penulis muda, saya merasa ingin menuliskan apa saja yang saya ingin tulis, hampir tampa hambatan. Jika tidak ada penerbit yang tertarik, tak masalah. Saya pikir saya akan mencetaknya dan membagikan pada teman-teman dekat," kata Eka.
Ketika kuliah di Universitas Gajah Mada, Eka dipengaruhi oleh karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan buku Cervantes dan Fyodor Dostoyevsky, penulis silat dan cerita horor.
Salah satu buku yang paling menginspirasinya dalam menulis, yakni
Hunger, karya penulis Norwegia Knut Hamsun, terbitan tahun 1890. "Setelah baca buku itu, saya ingin jadi penulis," ujarnya.
Karya-karya Eka kerap mengusung tema yang kelam, seperti
Cantik itu Luka dan
Manusia Harimau.Buku ketiganya
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) sedang dalam masa pengalihbahasa menjadi
Love and Vengeance, yang akan diterbitkan tahun depan.
Di Balik Penulisan"Penulis harus menantang dirinya sendiri akan setiap kemungkinan moralitas dan kebajikan," ujar Eka.
Di luar kesuksesannya sebagai penulis, Eka mengaku ingin mengambil waktu rehat sementara
Love and Vengeance dialihbahasa.
"Sekarang saya punya waktu lebih banyak, tidak seperti waktu jadi penulis naskah televisi. Saya juga tidak memaksa diri, menulis sebuah novel setiap dua tahun sekali. Ini saatnya untuk lebih rileks dan mungkin
traveling," ujarnya seperti dilansir laman
Financial Times.Perhatian terhadap dunia internasional kata Eka sama sekali tak terduga dan ia masih berusaha untuk memahaminya.
"Apakah orang luar sana benar-benar ingin membaca segala sesuatu tentang Indonesia?" ujar Eka setengah bertanya.
(rah/ard)