'Suara-suara Mati,' Pentas Konflik Suami Istri

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Kamis, 01 Des 2016 13:45 WIB
Teater Populer kembali pentas dengan lakon Suara-suara Mati, yang mengisahkan konflik rumah tangga sebagai refleksi permasalahan sosial.
Teater Populer mementaskan Suara-suara Mati. (CNN Indonesia/Denny Aprianto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Konflik dalam lingkungan kehidupan rumah tangga menjadi refleksi kecil dari konflik lainnya yang kerap terjadi di lingkungan sekitar. Dihantui rasa curiga, cemburu, hingga akal sehat, membuat orang tak lagi dapat mencerna apa arti cinta dan benci itu.

Hidup dalam perbedaan usia yang terpaut hampir dua kali lipat, lakon 'Suara-Suara Mati' dipentaskan oleh Teater Populer. Pementasan dibuka dengan latar kehidupan rumah tangga di pagi hari.

Sampah-sampah dari gulungan koran disapu dan dibersihkan, lalu beralih ke latar berikut. Lampu dipadamkan. Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang wanita dari dalam rumah tampak kebingungan, bertanya-tanya. "Kamukah itu?"

Suara semakin keras, lalu berganti dengan suara tangisan bayi.

Ketakutan wanita itu terselamatkan oleh seorang pria tua, suaminya. Pria itu baru pulang berolahraga. Keduanya lantas terlibat perbincangan kehidupan yang mereka jalani.

Tentang sang istri yang kerap ketakutan dengan suara-suara yang mengganggu pikirannya. Tentang hubungan mereka yang tak lagi mesra seperti masa pacaran. Tentang kehidupan rumah tangga yang kemudian dijalani hanya mengacu pada kewajiban-kewajiban tugas suami dan istri.

Hal-hal kecil dianggap menjadi satu masalah besar. Dari perbedaan umur yang terpaut jauh, tubuh suami yang semakin renta hingga tak bisa menjaga istrinya, dan rasa curiga yang semakin menjadi-jadi.

Belum lagi, pembahasan soal potret masa lalu yang memengaruhi bayang-bayang hidup masa kini. Kenangan pahit saat mengingat kematian buah hati mereka di saat-saat baru dilahirkan.

Konflik semakin besar saat sahabat mereka datang berkunjung. Sahabat yang membawa warna dalam hidup, berbagi keceriaan, juga suka dan duka.

Sahabat itu hadir dan berceloteh tak lagi merasakan sambutan hangat saat berkunjung ke rumah kerabatnya itu. Terlebih pasangan itu memang baru beradu argumen.

Sindiran-sindiran seorang sahabat, bahwa hidup dikungkung dengan pikiran-pikiran buruk akan membuat tubuh terasa sakit. Tapi di balik itu, keceriaan sahabatnya justru menyembunyikan sesuatu. Perasaan pada sang istri sahabatnya. Sebuah pengkhianatan.

"Aku berdiri tanpa tahu arti cinta, benci, dan persahabatan," ujar sang suami.

Pada akhirnya, rasa curiga, pengkhianatan, dan dendam menghantui kehidupan mereka. Sebagai orang yang pernah mengalami  pengalaman manis dan pahit dan tumbuh menjadi kenangan.

"Masing-masing kenangan memiliki suara-suaranya sendiri. Kita sangat mengenali dan tidak mungkin keliru."

Sering kali, manusia menjadi musuh bagi dirinya sendiri. Di sisi kanan kebenaran, di sisi kiri dosa. Dalam satu tubuh bersarang kerinduan akan damai, kebersamaan dengan ketakutan yang membawa pada kebinasaan.

Teater Populer mementaskan lakon Suara-suara Mati.Foto: DENNY APRIANTO
Teater Populer mementaskan lakon Suara-suara Mati.
Bersuara Lewat Panggung Teater

Lakon Suara-Suara Mati diceritakan sebagai benturan konflik antara kebenaran dan pembenaran dari pribadi-pribadi yang mempertahankan keyakinan mereka.

Lakon itu disadur dari cerita berjudul Dode Klanken karya Manuel Van Loggem yang menampilkan tragedi cinta antara suami dan istri yang terperangkap oleh rasa curiga. Semua itu bersumber dari rasa cemburu hingga melahirkan khayalan liar tentang kematian.

Dalam pementasan ini, Slamet Rahardjo kembali bersuara di panggung teater sebagai sutradara sekaligus sebagai pemain. Ia didukung oleh beberapa pemain muda Teater Populer.

"Ini sebagai refleksi, seniman tak bisa demo menyumpahserapahkan. Cinta suami istri dan persahabatan itu menjadi warna gelap dari negara kita, berdiri tidak tahu arti benci, cinta, dan persahabatan," ujar Slamet usai mementaskan lakon tersebut di Teater Salihara, Jakarta, Rabu (30/11).

Menurut Slamet, lakon itu hanyalah senjatanya berimajinasi. Untuk menyuarakan apa yang dia rasakan soal kehidupan di Indonesia saat ini yang kerap berbenturan dengan menaruh rasa curiga, hingga tak lagi tahu arti cinta dan benci.

"Yang terjadi di kesenian itu dialog kehidupan. Bukan imitasi tapi refleksi," ujarnya.

Disampaikannya, pementasan lintas generasi itu membawa naskah klasik ke dalam biduk permasalahan kehidupan masa kini yang digambarkan dengan permainan dialog dan irama gerak tubuh sebagai bentuk penggambaran rasa oleh para pemain.

"Saya grogi untuk tampil kembali karena berhadapan dengan pemain yang setengah umur saya. Ibarat kendaraan beda 'persneling-nya.’ Tapi biarkan kami menjadi pahlawan di eranya masing-masing," pungkasnya.

Secara keseluruhan, pentas yang diterjemahkan oleh Sunarto Timur itu memang begitu kental melontarkan sindiran dari dialog-dialog sederhana dengan latar satu hari, dalam satu rumah tangga. Meski demikian, konflik yang hadir cukup kompleks. Sesuatu yang dipercayai ternyata dibaliknya menghkhianati.

Sindiran soal "terang kalau berterus terang", bagaimana mengajak untuk jujur dengan jelas, tanpa menutup-nutupi hal lain. Dan juga seperti ungkapan, "sesuatu yang terpendam dalam pikiran harus diungkapkan agar tidak jadi obsesi."

Suasana yang dibangun pentas ini begitu sederhana, tapi terasa ada kegamangan, ketakutan, dari kondisi itu. Lewat latar rumah yang dibatasi sekat berupa tirai putih, tak begitu banyak gerak dari latar yang dihadirkan, tapi pementasan Teater Populer ini cukup sampai untuk menyuarakan apa yang diinginkannya.

Peran para karakternya pun mendalami dengan baik, keluwesan gerak Artasya Sudirman yang berperan sebagai istri patut diacungi jempol. Dia mampu menularkan apa yang menjadi ketakutannya. Aksi Slamet sebagai suami pun tak perlu diragukan lagi, meski usianya telah lanjut ia tetap mampu mengeluarkan penampilan terbaiknya.

Pentas teater Suara-Suara Mati oleh Teater Populer dapat disaksikan pada 1 dan 2 Desember 2016 pukul 20.00 di Teater Salihara, Jakarta. Tiket dijual dengan kisaran harga Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. (rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER