Teater Populer, Gagasan Soekarno dan 'Nama Jelek' Teguh Karya

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Minggu, 04 Des 2016 11:11 WIB
Dahulu Teater Populer merupakan salah satu 'departemen' di Hotel Indonesia. Soekarno sendiri yang memintanya dibentuk saat meresmikan hotel itu, tahun 1960-an.
Pementasan terbaru Teater Populer, awal Desember 2016 di Salihara. (CNN Indonesia/Denny Aprianto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejarah seni pertunjukan di Indonesia tak bisa lepas dari Teater Populer. Mendiang Teguh Karya yang membentuknya pada 14 Oktober 1968.

Semula bernama Teater Populer Hotel Indonesia karena berada di bawah naungan manajemen Hotel Indonesia. Ia merupakan kelompok teater pertama di Indonesia.

Itu takkan tercipta tanpa gagasan Presiden Soekarno. Saat meresmikan Hotel Indonesia ia berkata, hotel yang terletak di jantung kota Jakarta itu merupakan pintu gerbang Indonesia. Selain menjual kenyamanan kamar dan kelezatan makanan, yang tak kalah penting ia juga harus mampu memperkenalkan seni budaya Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak saat itu, dibentuklah Art & Culture Department. Seniman teater ternama, Teguh menjadi salah satu asisten manajernya.

Bekerjasama dengan Yuni Amir, Galeb Husein, Ishaq Iskandar dan Tuti Indra Malaon, Teguh mulai menghiasi Hotel Indonesia dengan berbagai pertunjukan kesenian, termasuk teater. Khusus pagelaran teater, Teater Populer Hotel Indonesia secara rutin melakukan pementasan.

Teguh dibantu beberapa anggota aktif seperti Effendy, Salim, Dewi Sawitri, Sylvia Nainggolan, Henky Solaiman, Rahayu Effendy, Dicky Zulkarnaen, Mieke Wijaya, Titi Qadarsih, Roselina Oscar, Bustomi, Dadi Djaya, Bustomi SA, serta para mahasiswa Akademi Teater Nasional Indonesia termasuk Franky Rorimpandey, Nano Riantiarno, Purnama, Boyke Roring, dan Slamet Rahardjo.

"Teater populer merupakan garda depan teater modern Indonesia. Setelahnya memancing untuk hadirnya teater lain seperti Bengkel Teater, Teater Kecil dan juga Teater Koma," kata Slamet Rahardjo kepada CNNIndonesia.com kala ditemui beberapa waktu lalu di Teater Salihara, Jakarta.

Teater Populer Hotel Indonesia memiliki banyak kegiatan pementasan. Pentas pertamanya adalah pertunjukan dua naskah pendek yang berjudul ‘Kammerherre Alving,’ saduran dari ‘Ghos’” karya Henrik Ibsen dan ‘Antara Dua Perempuan’ saduran dari karya Alice Gestenberg.

Keduanya dipentaskan di Bali Room Hotel Indonesia, pada 14 Oktober 1968. Tanggal itu pun dikenang sebagai hari lahirnya Teater Populer.

Setelah itu Teater Populer Hotel Indonesia kerap menampilkan drama realis hasil karya para seniman besar dunia dan Indonesia, untuk memudahkan masyarakat menikmatinya.

Popularitasnya membuat jumlah penonton terus meningkat. Apalagi pengalaman dan kemampuan para pelaku seninya terus berkualitas. Teater itu pun mulai mengembangkan diri di luar lingkup Hotel Indonesia. Namanya berubah menjadi Teater Populer.

Sejak itu, kegiatan mereka beralih menjadi pengisi pementasan secara berkala di Taman Ismail Marzuki yang kala itu baru didirikan Gubernur Ali Sadikin.

Nama Populer sendiri, diungkapkan Slamet, merupakan gagasan Teguh. Artinya ‘umum.’ Slamet mengaku sempat mengejek nama yang pasaran itu.

“Kata saya, ‘Jelek banget, masa populer, kayak merek obat.’ Tapi Teguh tak bereaksi, dia diam saja. Terus bilang kalau populer baginya berarti ‘umum.’ Sesuai yang dia mau, umum saja, yang tidak melebihi kemampuan," ujarnya.

Selain mengembangkan seni pertunjukan teater, pada 1970 Teguh bersama Teater Populer memulai kiprahnya dalam film Indonesia dengan menggarap Wajah Seorang Laki-laki.

Ditinggal Wafat Teguh Karya

Pada 2001, Teguh sebagai pendiri dan penggerak Teater Populer, meninggal dunia. Slamet yang juga menjadi salah satu pendiri pasca namanya berubah, pun melanjutkan kiprah Teater Populer.

Diakui Slamet, setelah ditinggal Teguh Sanggar Kreatif Teater Populer yang berlokasi di Kebon Pala, Tanah Abang Jakarta sempat tak terurus.

"Saya ditemani Jack Rachadian [anggota Teater Populer] membenahi Teater Populer, saat ditinggal Pak Teguh, memprihatinkan seperti rumah hantu," cerita Slamet.

Tapi Slamet memilih melanjutkan perjuangan ‘sang guru.’ Ia pun melepaskan pekerjaannya di luar, termasuk jabatannya sebagai Ketua Dewan Film kala itu, demi mengembangkan Teater Populer.

Saya ditemani Jack Rachadian [anggota Teater Populer] membenahi Teater Populer, saat ditinggal Pak Teguh, memprihatinkan seperti rumah hantu.Slamet Rahardjo
"Saat itu saya masih jadi Ketua Dewan Film, saya keluar dari semua pekerjaan saya termasuk dewan untuk membenahi itu. Tapi di tengah jalan, sadar tidak ada pemasukan tiap bulan. Tapi sekarang semuanya sudah teratasi," katanya.

Salah satunya karena ia merogoh koceknya sendiri. Katanya, itu karena ia paling senior. Harus bertanggung jawab. “Tapi beberapa teman ada yang cari juga untuk membiayai transport mereka, saya hanya awalnya," kata Slamet.

Menurut Slamet, hingga kini Teater Populer masih aktif untuk menghasilkan karya, meski disadari itu tak sebanyak yang diproduksi oleh Teguh.

"Setidaknya setahun sekali kami masih. Memang belum mampu seperti Pak Teguh, bayangkan dia setahun sampai enam kali, gila sekali," kata Slamet.

Baru-baru ini, Teater Populer kembali melakoni sebuah pentas bertajuk ‘Suara-Suara Mati’ yang menggambarkan konflik antara kebenaran dan pembenaran dari pribadi-pribadi yang mempertahankan keyakinan mereka.

Lakon itu disadur dari cerita berjudul ‘Dode Klanken’ karya Manuel Van Loggem dan menampilkan tragedi cinta antara suami dan istri yang terperangkap oleh rasa curiga.

Dalam pementasan itu, Slametkembali bersuara di panggung teater sebagai sutradara sekaligus sebagai pemain, didukung beberapa pemain muda Teater Populer.

Slamet Rahardjo menyelamatkan Teater Populer sepeninggal Teguh Karya.Foto: ANTARAFOTO/ Muhammad Adimaja
Slamet Rahardjo menyelamatkan Teater Populer sepeninggal Teguh Karya.
"Saya melakukan ini untuk menutup pertunjukan tahun ini saja, sebelumnya saya hanya sebagai sutradara. Saya melakukannya agar teman-teman tahu saya tidak lelah mencari. Itu sebagaimotivasi untuk mereka serius," ujarnya.

Meski kini teater tidak seberjaya di zaman Teguh Karya, Slamet optimistis Teater Populer akan terus ada dan dilestarikan, sekali pun kelak dirinya tak lagi dapat memimpin itu.

"Percayalah, Soekarno meninggal Indonesia tetap jalan terus. Percaya bahwa setiap generasi ada pahlawannya sendiri, sekaligus bajingannya," katanya sembari tertawa. (rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER