Kepulan Asap Kreatif Teguh Karya, Pionir Teater Populer

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Minggu, 04 Des 2016 15:12 WIB
Teguh Karya tidak pernah pelit 'mengepulkan' ilmu dan disiplin pada 'anak-anak didiknya,' seperti Slamet Rahardjo dan Nano Riantiarno.
Teguh Karya menjadi pionir teater-teater modern di Indonesia, terutama Teater Populer. (CNN Indonesia/ Denny Aprianto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Foto paling ikonik dari Teguh Karya adalah dirinya yang berkaca mata, tangan bersedekap, wajahnya menoleh ke kiri, dan ada rokok terselip di bibirnya.

Tatapan matanya tajam sekaligus terkesan dingin. Semasa hidup, terkadang ia memang ‘dingin.’ Slamet Rahardjo, yang kini dikenal sebagai aktor gaek yang aktingnya tak perlu diragukan lagi saja, pernah disebutnya ‘aktor tauco.’

Teguh pernah dengan santai meninggalkan Slamet di lokasi syuting, hanya dengan kostum, tanpa dompet. Sementara ia kembali ke sanggar teaternya dan duduk santai, merokok. Ia memang selalu dikelilingi kepul asap rokok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu hanya gara-gara Teguh menganggap Slamet tidak serius berakting.

Kali yang lain lagi, saat Slamet ‘izin’ pada Teguh untuk terjun ke dunia akting. Sementara keduanya mengawali dari teater. Teguh yang mengajak Slamet bergabung dengan Teater Populer, teater pertama di Indonesia pada 1960-an.

“Apa hebatnya?” begitu kata Teguh waktu itu.

Tapi justru dengan sikapnya yang terkadang keras itu, Teguh berhasil melahirkan banyak seniman bernas di Indonesia. Slamet hanya salah satunya, yang prestasinya sudah terbukti lewat berbagai penghargaan dalam dunia film.

Christine Hakim juga ‘dilahirkan’ oleh tangan dingin Teguh. Begitu pula dengan Alex Komang, Henky Solaiman, dan beberapa nama terhormat lain. Semua menganggap pria kelahiran Pandeglang, 22 September 1937 itu guru bahkan suhu.

Teguh bukan hanya genius menciptakan karya. Tidak terhitung jumlah pentas teater dan film yang ia bidani. Dari Teater Populer yang mulanya didirikan untuk mempromosikan kesenian di Hotel Indonesia, ia merambah dunia film.

Ia juga sangat peduli pada regenerasi, yang jarang ditemui di zaman sekarang. Teguh tak ingin rantai seniman terputus. Itu yang dirasakan Slamet. Ia belajar banyak soal kehidupan, seni, dan menghargai orang lain dari Teguh.

Soal kualitas ilmu, tak perlu ditanya lagi.

Tapi bagaimana pemilik nama asli Steve Liem Tjoan Hok itu menularkan ilmunya pada ‘anak-anak didiknya,’ itu perkara lain yang tak semua seniman bisa melakukannya. Dan Teguh punya cara sendiri, yang unik, untuk regenerasi itu.

Slamet pernah bercerita, di sanggar Teater Populer ia disamaratakan seperti orang lain, tak peduli statusnya sebagai aktor. Ia juga disuruh menyapu, mencuci piring, dan ‘pekerjaan domestik’ lainnya. Tapi dari situ, ia jadi tahu bahwa semua harus dimulai dari bawah. Itu membuatnya tak sombong.

Slamet bahkan pernah menerapkan itu pada aktris muda Marcella Zalianty. Menjadi seniman, menurutnya, bukan cuma perkara modal akting. Mereka juga harus bisa menghargai dan membuat senang orang lain. Itu filosofinya.

Hal yang sama dirasakan Nano Riantiarno, yang sampai sekarang masih sukses dengan Teater Koma-nya. Ia juga belajar dari Teguh. Nano mengenang, Teguh dahulu mengajaknya nonton teater, mendiskusikannya siang, malam, bahkan pagi.

“Setiap jam delapan pagi hingga empat sore, saya dan Slamet belajar tentang hal-hal dasar dari seni teater bersama Teguh,” kata Nano beberapa waktu lalu.

Ketika ia mulai mengantuk, Teguh datang menegur dan mengajaknya berdiskusi lagi. Nano juga dipinjami banyak buku untuk dibaca, dari perpustakaan Teguh.

Sosok di balik film seperti Wadjah Seorang Laki-laki, Badai Pasti Berlalu, Ranjang Pengantin, Indonesia Berbisik, Doea Tanda Mata, Secangkir Kopi Pahit, dan banyak judul lain itu, memang tak pernah menyimpan ‘kepulan asap rokoknya’ seorang diri. Ia tak pernah pelit menebarkan ilmu pada rekannya.

Teguh meninggal di Jakarta, 11 Desember 2001 karena stroke. Meski telah tiada, ilmu dan ajarannya abadi. Seperti pesan terakhir yang dibisikkannya ke telinga Slamet menjelang meninggal, “Kreativitas tidak boleh mati.”

Kepulan asap kreatif Teguh pun tak dilupakan hingga kini. (rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER