Jakarta, CNN Indonesia -- Semua ikut bersorak saat akhirnya Leonardo DiCaprio menjemput piala Oscar miliknya sendiri ke atas panggung Dolby Theater Los Angeles, 28 Februari 2016 lalu. Ia akhirnya membawa pulang piala kebanggaan itu, 22 tahun penantian sejak nominasi pertamanya. Ia melewati lima nominasi lain setelah itu, dan baru menang lewat
The Revenant.
Nasib Leo--sapaan akrab Leonardo DiCaprio--akan Oscar disamakan dengan nasib penulis asal Jepang Haruki Murakami dengan Nobel Sastra. Penghargaan asal Swedia itu bisa dibilang sebagai yang tertinggi di bidang sastra dunia. Dua kali penulis
Norwegian Wood itu masuk daftar pendek dan dijagokan, berkat kemahirannya merasuki dunia surrealisme lewat kata.
Tapi dua kali itu pula Murakami gagal. Terakhir tahun lalu, ia 'dikalahkan' oleh penyanyi dan pengarang lagu asal Amerika--yang kemenangannya pun kontroversial--Bob Dylan. Padahal mengutip
The Guardian, ia sempat menjadi yang terfavorit memenangi Nobel. Sementara Dylan bahkan tak masuk lima besar. Tapi Murakami kembali gagal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip
Bustle, kesamaan Murakami dan Leo tak bisa dielakkan. Bukan hanya keduanya pernah lebih dari sekali gagal memenangi penghargaan bergengai di bidangnya padahal sudah masuk nominasi. Metrka juga sama-sama berdedikasi. Leo tak takut dengan peran-peran ekstrem di film. Murakami pun dengan berani menembus batas realisme magis dan nyata.
Sama seperti Leo yang memenangi banyak penghargaan lain--bahkan Golden Globes--sebelum Oscar, Murakami pun bergelimang prestasi. Penghargaan-penghargaan internasional ia raih.
Tapi Murakami sepertinya tidak peduli akan itu. Ia pernah ditanya soal kapan dirinya akan meraih penghargaan paling bergengsi di bidang sastra, Nobel Sastra. Itu ditanyakan saat ia mengasuh kolom di sebuah blog yang disebut
Mr. Murakami's Place.
"Sejujurnya, ini [pertanyaan soal apakah dan kapan ia akan memenangi Nobel Sastra] agak mengganggu. Ini [Nobel Sastra] bukan pacuan kuda," jawabnya tegas. Itu pun tidak pernah ditanyakan lagi padanya. Sikap tak peduli pada penghargaan itulah yang, mengutip
Japan Times, membuatnya justru dikagumi penggemar--yang punya sebutan The Harukists.
Lahir pada 12 Januari 1949, Murakami bisa dibilang jauh dari generasi sekarang. Ia bukan pencari eksistensi, meski novelnya juga berarti bagi millennials. Ia tipe orang tua Jepang yang tidak peduli apa pun selain melakukan yang ia suka. Seperti tokoh narator dalam novel pertamanya,
Hear the Wind Sing. Lagipula, menurut dua penulis Jepang lain yang pernah memenangi Nobel, karya Murakami tidak akan pernah 'disukai' panitia.
Kenzaburo Oe pemenang tahun 1994 dan Yasunari Kawabata pemenang tahun 1968 sepakat, fiksi Murakami kurang aktif bicara soal masyarakat sebagai kesatuan. Novelnya menunjukkan "keinginan pasif untuk dipengaruhi oleh budaya populer." Sebagaimana dalam tumbuh kembangnya Murakami banyak dipengaruhi oleh buku dan budaya Amerika.
Tapi itu tak berarti karyanya jelek. Bagi dunia sastra Jepang, tak ada yang lebih berarti dari Murakami. Ia berhasil memopulerkan sastra Jepang ke berbagai bahasa. Bukunya bahkan jadi acuan di mana-mana. Jadi, tak menang Nobel baginya bukan apa-apa.