Jakarta, CNN Indonesia -- Tujuh seniman rupa Indonesia menampilkan karya seni yang cukup mencolok di ajang pameran seni rupa kontemporer dua tahunan Singapore Biennale 2016. Tidak hanya dari tampilan, tapi juga dari gagasan yang lekat dengan tradisi dan sejarah Indonesia yang kaya.
Ungkapan itu disampaikan Tan Siuli, pimpinan tim kurator Singapore Art Museum yang juga pengamat seni rupa Indonesia saat ditemui disela-sela pameran di Singapura beberapa waktu lalu.
Ia menilai seniman rupa Indonesia, lewat karyanya, memiliki kepercayaan diri atas tradisi bangsanya sendiri dalam merespons tema yang diberikan panitia penyelenggara Singapore Biennale 2016,
An Atlas of Mirrors. Pada perhelatannya yang ke-lima, ajang dua tahunan itu kali ini diikuti sejumlah negara dari kawasan Asia antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, India, Vietnam, Taiwan, China, Brunei, Kamboja, Myanmar, dan Pakistan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seniman rupa Indonesia itu diantaranya Ade Darmawan, Agan Harahap, Made Djirna, Made Wianta, Melati Suryodarmo, Eddy Susanto, dan Titarubi.
“Lewat karya-karyanya, mereka menelaah narasi sejarah, dan menurut saya itu sangat penting, untuk melihat bagaimana seni kita berkembang saat ini," ujar Siuli menambahkan.
Sebelumnya, kata dia, para seniman lebih berkaca kepada dunia Barat, yakni Amerika dan Eropa, dalam membuat karya seni dan bahasa visual. Namun, kini seniman asal Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, lebih berani dalam mengekspresikan tradisi bangsanya dalam karya seni yang dibuat masing-masing.
“Seniman Indonesia tidak takut, dalam artian mereka lebih percaya diri untuk menggambarkan tradisi mereka sendiri, baik tradisi budaya maupun tradisi seni, dan kita melihat itu di Biennale kali ini,” katanya.
Singapore Biennale 2016 berlangsung dari 27 Oktober lalu hingga 26 Februari 2017. Pameran tersebut tersebar di tujuh lokasi, antara lain Singapore Art Museum dan SAM di 8Q, Asian Civilisations Museum, de Suantio Gallery di SMU, National Museum of Singapore, Stamford Green, Old Parliament House dan Peranakan Museum.
 'The Journey of Panji', karya seniman asal Yogyakarta, Eddy Susanto yang dipamerkan dalam Singapore Biennale 2016. (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Menyambung pendapatnya itu, Siuli lalu merujuk pada salah satu karya milik Eddy Susanto berjudul
The Journey of Panji. Karya perupa asal Yogyakarta ini disebutnya sebagai salah satu contoh kreasi yang sukses menggambarkan tradisi khas Indonesia.
"Eddy mampu menggunakan sebuah epik Jawa legendaris untuk memaparkan soal bagaimana ia melihat dunia yang berputar di Asia Tenggara," kata dia.
Selain karya Eddy, ia juga menyebut nama Titarubi sebagai seniman yang berani mengangkat tradisi dan sejarah bangsa Indonesia dalam karya buatannya, yang diberi judul
History Repeats Itself. Ia menganggap karya itu mampu mendeskripsikan masa kelam sejarah Indonesia yang pernah tersohor sebagai negeri kaya rempah dan kekuatan maritim, namun sekarang telah dilupakan karena modernisasi dan koloninisasi.
“Sangat penting bagi saya bahwa seniman dari Asia Tenggara percaya diri untuk menceritakan kisahnya masing-masing,” katanya.
baca berikutnya...
Secara terpisah, Eddy Susanto, salah satu dari tujuh seniman Indonesia yang memamerkan karyanya di Singapore Biennale 2016 mengatakan perupa Indonesia sudah mulai diperhitungkan di kancah Asia. Hal itu terbukti dengan tidak jarangnya hasil karya seniman asal Indonesia di berbagai pameran seni rupa yang setiap tahunnya diadakan di sejumlah negara di Asia.
“Menurut saya, seniman Indonesia sekarang dipandang, walau pun tidak secara global. Namun, saya melihat banyak seniman Indonesia yang mulai diperhitungkan untuk kancah Asia,” ujarnya.
Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini pun berharap karya-karyanya bisa diapresiasi lebih banyak penikmat seni secara universal, terlebih lagi bisa membawa harum nama bangsa Indonesia di negara lain.
Eddy juga berharap bahwa ke depan para seniman Indonesia bisa terus membuat karya yang memberikan pengetahuan kepada siapa saja, alih-alih hanya terlihat cantik secara visual dan laku secara ekonomi.
“Kadang masih banyak yang menerapkan budaya agraris kita itu ya, seperti jual kacang. Misalnya yang sekarang sedang tren itu gaya
pop art, lalu para seniman bikin
pop art karena laku. Makanya banyak yang menilai bahwa seni hanya kecantikan, jadi seperti hiasan dinding saja,” katanya.
Ia mengaku senang karena seniman kontemporer masa kini telah berkembang pesat. Hal itu ditunjukkan dengan kelihaian para perupa dalam mengusung wacana yang kuat, sehingga bisa memberikan pengetahuan kepada penikmat seni.
“Dulu kan karyanya bagus, tapi tidak bisa bicara apa-apa, tidak punya kekuatan wacana, hanya cantik saja. Kalau sekarang kan justru wacananya kuat. Kita punya banyak budaya dan kesenian yang masih bisa digali. Mengapa itu tidak dikonsepkan? Kontemporer kan bebas-bebas saja. Kita bisa acak-acak masa lalu untuk dirakit lagi untuk masa depan,” ujarnya.