Secara terpisah, Eddy Susanto, salah satu dari tujuh seniman Indonesia yang memamerkan karyanya di Singapore Biennale 2016 mengatakan perupa Indonesia sudah mulai diperhitungkan di kancah Asia. Hal itu terbukti dengan tidak jarangnya hasil karya seniman asal Indonesia di berbagai pameran seni rupa yang setiap tahunnya diadakan di sejumlah negara di Asia.
“Menurut saya, seniman Indonesia sekarang dipandang, walau pun tidak secara global. Namun, saya melihat banyak seniman Indonesia yang mulai diperhitungkan untuk kancah Asia,” ujarnya.
Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini pun berharap karya-karyanya bisa diapresiasi lebih banyak penikmat seni secara universal, terlebih lagi bisa membawa harum nama bangsa Indonesia di negara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eddy juga berharap bahwa ke depan para seniman Indonesia bisa terus membuat karya yang memberikan pengetahuan kepada siapa saja, alih-alih hanya terlihat cantik secara visual dan laku secara ekonomi.
“Kadang masih banyak yang menerapkan budaya agraris kita itu ya, seperti jual kacang. Misalnya yang sekarang sedang tren itu gaya
pop art, lalu para seniman bikin
pop art karena laku. Makanya banyak yang menilai bahwa seni hanya kecantikan, jadi seperti hiasan dinding saja,” katanya.
Ia mengaku senang karena seniman kontemporer masa kini telah berkembang pesat. Hal itu ditunjukkan dengan kelihaian para perupa dalam mengusung wacana yang kuat, sehingga bisa memberikan pengetahuan kepada penikmat seni.
“Dulu kan karyanya bagus, tapi tidak bisa bicara apa-apa, tidak punya kekuatan wacana, hanya cantik saja. Kalau sekarang kan justru wacananya kuat. Kita punya banyak budaya dan kesenian yang masih bisa digali. Mengapa itu tidak dikonsepkan? Kontemporer kan bebas-bebas saja. Kita bisa acak-acak masa lalu untuk dirakit lagi untuk masa depan,” ujarnya.
(res/rah)