Jakarta, CNN Indonesia -- Empat puluh tahun sudah Teater Koma berdiri dan menyuguhkan hiburan bagi dunia seni Indonesia. Di hari jadinya yang jatuh pada Rabu (1/3) lalu, Teater Koma memberi persembahan khusus lewat perilisan buku
Membaca Teater Koma dan pentas
Opera Ikan Asin.
Ratna Riantiarno, salah satu pendiri Teater Koma bercerita soal di balik proses pementasan yang terbilang spesial itu. Meski pentas itu pernah ditampilkan mereka pada 1983 dan 1999, diakuinya masih perlu kerja lebih keras untuk memboyong pengerjaan pentas itu kembali.
Penyebabnya, mereka menggunakan panggung teater yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Opera Ikan Asin digelar di Ciputra Artpreneur, Kuningan, yang terletak di lantai 13 pusat perbelanjaan Lotte Shopping Avenue. Biasanya mereka di gedung kesenian satu lantai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini pertama kali Teater Koma tampil di gedung kesenian dengan kapasitas 1.200 orang dan berada di lantai 13," ujar Ratna mengawali cerita saat ditemui beberapa waktu lalu.
Di awal pemilihan gedung, Ratna mengaku khawatir dengan lokasi yang berada di lantai 13 itu. Bukan perkara nomor lantai yang terbilang ‘sial.’ Menurutnya, untuk bermain di gedung kesenian dibutuhkan kendaraan pengangkut barang yang banyak untuk membawa set pertunjukan.
"Lalu bagaimana naiknya dengan barang yang sebegitu banyak dan besar-besar? Jadi hal pertama yang dilihat Nano [pendiri Teater Koma dan suami Ratna] itu lift barang," katanya.
"Jadi awal itu bukan gedungnya yang dilihat, ketika lihat lift oke, oh ya sudah.”
Meski lift dirasa sudah memadai, tapi diungkapkan Nano Riantiarno di tempat terpisah bahwa yang menjadi kendala lain adalah memasukkan barang ke lokasi. Itu membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak dari biasanya.
"Cara angkut ke atas sini itu satu persatu, dengan sebegitu besarnya set dan hanya bisa dikerjakan setelah mal tutup pukul 10 malam dengan batas hanya sampai pukul 3 pagi," ujar Nano kepada CNNIndonesia.com, usai gladi resik pentas Opera Ikan Asin, Rabu (1/3).
Dia menambahkan, "Biasanya di Graha Bakti Budaya langsung masukin set dari belakang gedung selesai, tapi ini satu persatu turun naik ke lantai 13." Apalagi Nano mengaku, persiapan itu baru dilakukan satu hari sebelum pementasan berlangsung, 2-5 Maret 2017.
“Dan pasang set-nya saat yang lain latihan di panggungnya. Tapi karena ini Oni [Tata Artistik] yang pasang set ya pasti jadi," kata Nano dengan bangga pada kinerja rekannya.
 Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri Teater Koma mementaskan Opera Ikan Asin. |
Tiket Lebih MahalTidak hanya perkara set panggung yang butuh kerja keras dalam pentasnya kali ini. Ratna juga mengaku sempat bingung untuk menentukan harga tiket. Ia menerangkan, biaya sewa di Ciputra Artpreneur dengan kapasitas 50 persen lebih besar dari TIM, tentu lebih mahal.
"Kendala buat saya, saya tidak mau membebani jual mahal, apalagi sampai berjuta-juta untuk nonton seni," katanya.
Tak mau kehilangan penonton setianya, Ratna pun bernegosiasi dengan pihak pemilik gedung.
"Saya bilang kalau kami memupuk audiens selama 40 tahun mulai harga dari Rp500 sampai Rp500 ribu. Mereka akhirnya bisa maklumi itu," ujarnya mengaku lega.
"Tapi itu pun masih membuat saya harus menaikkan dua kali lipat dari harga biasanya, meski tidak menyentuh angka satu juta. Namun saya pikir ada tempat yang lebih baik," imbuhnya.
Sepakat dengan hal itu, Nano menyampaikan bahwa di Jakarta setidaknya ada lima gedung kesenian seperti itu dengan kapasitas besar. Pertunjukan kali ini harus spesial karena berhubungan dengan 40 tahun eksistensi teater yang sudah lama ia perjuangkan.
"Proses dengan darah, keringat, dan airmata saya bangga bisa sampai 40 tahun. Kalau lihat apresiasi masyarakat, masih sulit untuk seni pertunjukan," tutur Ratna. "Menjadi tuan rumah di rumah sendiri itu sulit, jadi ambisi kami tetap menjadi koma [berlanjut], tidak titik [berakhir],” tegasnya.
(rsa)