Jejalan Tan Malaka sampai Shakespeare di Pulau Dewata

CNN Indonesia
Senin, 13 Mar 2017 17:03 WIB
Pasangan Agung Alit dan Hani Duarsa mencoba membangkitkan minat baca masyarakat Bali dengan menyediakan perpustakaan yang jauh dari kesan kaku dan serius.
Buku-buku William Shakespeare bahkan ikut dipajang di perpustakaan sederhana di Denpasar Bali. (Ilustrasi/morgueFile/rosevita)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik pantai nan indah dan pesta yang meriah, Bali menyimpan minat baca yang rendah. Survei Perpustakaan Nasional pada 2015 menunjukkan, hanya 25 persen masyarakat Bali yang berminat membaca. Tak heran jika keseluruhan, minat baca Indonesia ke-dua terbawah.

Namun itu tak mematahkan semangat pasangan ‘fair trader’ untuk mencekoki masyarakat Bali dengan buku-buku Indonesia nan berkualitas. Mereka menjejalkan buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Tan Malaka, sampai Jean Paul Sartre, Charles Dickens, dan Shakespeare di antara ingar-bingar pariwisata atau kesunyian tempat ibadah.

Agung Alit dan Hani Duarsa, pasangan itu, membuat Taman Baca Kesiman atau lebih dikenal dengan nama TBK. Semacam perpustakaan berisi 2.500 koleksi buku yang dilengkapi kebun tanaman organik, dapur, maupun tempat berkumpul berbagai macam komunitas. Buku bertema sosial, politik, filsafat, agama, perempuan, sampai sastra pun bisa ditemukan di sana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disebut-sebut, konsep semacam itu belum ada di Pulau Dewata.


Perpustakaan itu sendiri terasa nyaman, berpendingin ruangan. Bangku dan meja disediakan. Itu membuat betah orang-orang yang berkunjung membaca buku langka seperti seri Di Bawah Bendera Revolusi. Di samping ruang membaca, ada dapur di mana kopi dan makanan ringan tersedia. Beberapa makanan bahkan dibuat dari hasil panen kebun organik milik TBK sendiri.

Jika ingin berkumpul bersama komunitas, silakan melangkah ke halaman belakang, di mana terdapat lapangan yang biasa digunakan sebagai panggung film maupun musik.

Tak hanya bikin kerasan, bangunan itu juga didesain penuh semangat. Ada wajah sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan tokoh pergerakan RA Kartini di dinding sebelah luarnya.

"Fokus kami memang untuk pengembangan kebudayaan literasi, tetapi tidak terbatas pada itu. Kami ingin ruang ini dimanfaatkan seluas-luasnya oleh berbagai kalangan dan latar belakang," ujar Manajer Program TBK Gede Indra Pramana, saat diwawancara Antara.


TBK dioperasikan sejak 2014. Semakin hari, TBK makin digrandrungi berbagai kalangan, mulai anak sekolah, mahasiswa, sampai orang dewasa. Selama 2016 saja, sudah ada hampir 50 kegiatan terselenggara di taman baca yang kapasitasnya mencapai 400 orang itu.

Jika tidak ada komunitas yang menggunakan ruangan, TBK punya acara yang digelar sendiri. Aktivis peduli lingkungan Saras Dewi misalnya, pernah diskusi buku di sana. Demikian pula novelis terkenal, Okky Madasari. TBK juga terbuka bagi penulis-penulis lokal yang baru.

Berbagai film dan diskusi pernah digelar pula di sana. Soal Munir misalnya, yang September lalu memeringati 12 tahun meninggalnya. Lokakarya penulisan esai budaya, fotografi, maupun pelatihan jurnalisme warga pun terselenggara. Warga jadi melek literasi dan suka baca.

Seperti yang tertulis di situs resminya, TBK memang berusaha menjadi ‘kawan perubahan’ yang nyata. Mereka memilih jalan menyediakan tempat baca yang tak terlalu serius dan kaku.


Dengan demikian, budaya literasi pun telah meluas: dari membaca bundelan buku-buku menjadi pertukaran ide melalui diskusi, pemutaran film bahkan pertunjukan musik.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER