Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah film yang menggambarkan kehidupan seks tabu di Iran tayang di Festival Film Cannes, Perancis. Film karya sineas Ali Soozandeh tersebut berjudul ‘Tehran Taboo’.
“Saya ingin memecah kesunyian di Iran,” kata Soozandeh seperti diberitakan
AFP. “Dengan diam, itu tidak akan membantu masyarakat menyelesaikan masalah,”
Soozandeh mengaku ia paham bahwa film yang dibandingkan dengan karya fenomenal Marjane Satrapi,
Persepolis, tersebut tidak akan tayang di negaranya sendiri.
Apalagi berharap dia dapat diterima baik setelah menggambarkan skandal kehidupan seksual bernuansa sadomasokis dari seorang hakim dengan gundiknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ia tidak menyesali membuat film yang ia sajikan dalam bentuk animasi tersebut. Menurut sineas 47 tahun yang tinggal di Jerman itu, berbagai aturan dengan dalil agama di negaranya membuat masyarakat menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri.
“Orang-orang Iran adalah masyarakat yang kreatif dan pembelajar cepat menghadapi semua larangan, untuk mengimbangi norma yang dipaksakan oleh publik, orang-orang melampiaskannya pada seks, narkoba, dan alkohol,” kata Soozandeh.
“Kurangnya kebebasan mendorong orang untuk hidup ‘ganda’,” lanjutnya.
’Tehran Taboo’ mengisahkan Pari, seorang pekerja seks komersial yang terpaksa mengajak anaknya yang bisu untuk ikut bekerja di jalanan. Menurut Soozandeh, kondisi ini awam terjadi di Iran.
Pari terpaksa menjadi pekerja seks karena suaminya yang pencandu narkoba dan dipenjara menolak menceraikannya. Sementara itu, hakim yang menolak menandatangani surat perceraian menjadikan dia seorang simpanan.
Film ini dibuat berdasarkan sudut pandang dari anak Pari, Elias, dan menunjukkan gambaran tersembunyi kehidupan di Teheran.
Soozandeh juga menggambarkan fakta kehidupan lain di Tehran, seperti seorang pria tua yang menonton acara keagamaan bersamaan dengan film porno, dokter tak bermoral yang ‘menipu’ para pasien wanitanya, hingga pengekangan bagi perempuan di kota tersebut.
Soozandeh mengatakan ia ingin melawan ketidakadilan secara halus dan kekejaman yang terjadi di kota tersebut. Ia mengaku mendapatkan ide tersebut dari seorang pemuda di Tehran yang menyombongkan kisah petualangan seksual mereka usai berlibur.
“Film ini bukan tentang prostitusi, atau bahkan wanita,” kata Soozandeh. “Pelarangan seksual juga berlaku untuk pria, namun wanita menderita lebih parah. Wanita membawa sebuah tanggung jawab besar untuk kehormatan keluarga di Iran,”
“Wanita menangggung beban dari pembatasan ini, namun sebagai ibu, mereka terus memaksakan diri mereka dan meneruskannya kepada anak-anak,”
Soozandeh mengatakan meski ia yakin film tersebut akan dilarang beredar di negaranya, namun ia tidak menampik peluang akan ditonton secara daring oleh publik Iran.
“Ketika Anda menabrak batasan tabu, beberapa akan membenci apa yang mereka lihat. Film ini ibarat cermin, Orang tidak akan suka citra Tehran dan Iran di dalam ini. Namun bila mereka jujur, inilah yang mereka sapa setiap paginya.”