Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak orang bingung saat Dewi Lestari banting setir dari penyanyi menjadi penulis, 16 tahun lalu. Konon, Dee—sapaan akrab Dewi Lestari—pun mengakui, penghasilan penyanyi lebih tinggi ketimbang honor penulis. Penyayi banyak tampil, penulis di balik layar.
Tapi Dee bersikukuh menerbitkan
Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh pada 2001. Dan ia sukses. Ia bahkan kemudian menjadikan penulis sebagai profesi utamanya. Dee tak lagi menyanyi, tak pula menulis artikel pesanan atau ghost writer seperti penulis lain.
“Saya bisa hidup berkecukupan,” tuturnya mengakui, seperti yang ia tulis dalam akun Facebook-nya, Kamis (7/9) malam. Namun Dee sendiri menyadari, tak semua penulis bernasib sepertinya. Ada pula yang harus sibuk cari kerjaan sampingan dan dikadali penerbit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
[Gambas:Facebook]Belum lagi, mereka harus berurusan dengan masalah pajak. Masalah itu sempat mencuat belakangan, setelah penulis Tere Liye menyuarakan keluhannya soal tinggi pajak penulis.
Tere sampai memutuskan menyetop penerbitan 28 bukunya di penerbit mana pun, lantaran royalti penulis dianggap penghasilan netto dan dikenai pajak progresif nan tinggi.
Dee pun ternyata merasakan itu. Dari satu buku fisik, menurut keterangan Dee, sebenarnya hanya 10 persen uang yang diterima penulis. Sisanya untuk membayar biaya cetak. Dari 10 persen yang sudah sedikit itu, masih harus dipotong 15 persen untuk negara.
“Tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga,” tulis Dee mengungkapkan. Royalti, tegasnya, tak pernah diterima 100 persen oleh penulis. Itu langsung dipotong pajak.
Pajak royalti, yang berbeda lagi hitungannya dengan pajak penghasilan.
“Lalu, sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang,” tulisnya lagi.
Kalau mau ‘main-main,’ bisa saja. Tapi harus sewa jasa akuntan untuk melakukan pembukuan. Dalam obrolan Dee dengan seorang pejabat pajak, di pembukuan itu ia bisa menyebut sewa kantor, riset, kopi, dan lain-lain sebagai ‘modal menulis.’ Itu menjadikan penulis setara seperti profesi lain, praktisi kesehatan misalnya, yang modalnya yang dikenai pajak.
Pajak untuk mereka diterapkan berdasarkan rumus norma, yang fungsinya memudahkan. Praktisi kesehatan seperti suami Dee, dipotong 30 persen saja. Sisanya dianggap ‘modal usaha.’
Penulis yang sudah menggunakan konsultan khusus untuk mengurus keuangan termasuk pajak dan royaltinya, salah satunya Andrea Hirata. Ia pernah mengatakan, “Saya taat membayar pajak, saya ada sertifikat panutan pajak lho, saya bangga membayar pajak di Indonesia.”
Lanjutnya, “Saya punya konsultan pajak di Jakarta, saya serius sekali soal ini.”
 Salah satu buku Dee, Supernova telah difilmkan. (Dok. Supernova) |
Tapi Dee mengatakan, repot sekali jika penulis harus ‘mengada-ada’ untuk mendapat keringanan semacam itu. “Menulis buku saja sudah repot,” tulisnya. Lagipula, ia juga melihat pembukuan bukan solusi untuk penulis, karena royalti dianggap pendapatan pasif.
Artinya, perlakuannya seperti bunga deposito. Padahal di luar negeri, Dee melanjutkan, royalti dianggap pendapatan aktif, meski penulis itu hanya bekerja lepas.
“Di mata perpajakan kita, semua yang saya lakukan adalah upaya pasif. Pemasukan saya kelak juga akan menjadi pendapatan pasif. Sama seperti kalau saya mendepositokan uang, mendiamkannya, dan menunggu ia tumbuh. Masalahnya, buku saya tidak menulis dirinya sendiri. Saya yang aktif bekerja melakukannya. Bisa setahun penuh,” ia menulis.
“Hasil dari kerja itulah yang menjadi modal saya untuk pergi ke penerbit dan bernegosiasi. Dan, apakah berhenti di sana? Tentu tidak. Kami masih harus menjalani program promosi berupa launching, booksigning, jumpa pembaca, dst,” lanjutnya menjabarkan.
Dee sendiri mengaku sudah berulang kali curhat masalah royalti, ke pejabat pajak bahkan sampai Presiden Joko Widodo. Sampai ia mendengar akhirnya ada rumus norma untuk penulis, seperti untuk profesi lain. Angkanya lebih tinggi memang, 50 persen.
Tapi, ia melanjutkan bercerita, kantor pajak tetap saja tidak bisa menerima itu. Penggunaan norma ditolak dengan alasan itu hanya bisa dipakai untuk pendapatan nonroyalti.
“Ketika penulis dianggap memperoleh penghasilan pasif, maka ia tidak dianggap layak untuk memanfaatkan rumus norma. Penulis dianggap tidak keluar modal. Biaya kertas, percetakan, distribusi, dsb adalah modal penerbit,” tulis Dee. Kalau diterbitkan indi, beda cerita.
Pendapatan penulis yang bisa dikenai rumus norma hanya jika ia berlaku sebagai pembicara, pemateri, pengiklan, atau apa pun di luar menerbitkan buku. Namun, Dee sendiri tidak sempat melakukannya jika sudah berkutat dengan buku. Ia harus merelakan semua itu.
Namun di sisi lain, Dee melihat ada standar ganda. Kalau penulis tak bisa memakai rumus norma karena penghasilannya dianggap pasif, justru pajak yang dikenakan tidak final. Setelah royalti, ada lagi pajak penghasilan yang harus dibayar. Jadi, kena dua kali.
Melalui unggahan panjang lebarnya, Dee pun hanya bisa berharap akan ada ruang diskusi soal royalti penulis, pajak dan keadilan bagi semua profesi. Mungkin dengan begitu akan semakin banyak orang bergairah menjadi penulis, dan tercerahkanlah literasi bangsa Indonesia.
Dee sendiri sudah menulis enam buku seri
Supernova, tiga kumpulan cerita dan satu novel panjang
Perahu Kertas. Beberapa bukunya, termasuk
Supernova, Madre, Rectoverso, Filosofi Kopi dan
Perahu Kertas sudah difilmkan.
 Curhat Dee di Facebook soal penulis dan pajak. (Screenshot via facebook.com (Dee Lestari)) |