Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik yang sempat mewarnai
JogjaROCKarta tak bisa dilepaskan dari masalah regulasi. Faktanya, Indonesia memang tidak memiliki aturan jelas terkait pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan publik sekelas konser.
Kepala Subdirektorat Warisan Benda Budaya Dunia Yunus Arby mengakui bila sebuah penyelenggaraan ingin menggunakan kawasan cagar budaya untuk keperluan komersil seperti konser, maka peraturan yang digunakan masih hanya sebatas urusan lingkungan, belum mengatur teknis yang lebih rinci.
"Jadi sebenarnya standar ambang batas suara yang kami pakai itu dari UU Lingkungan Hidup," katanya saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunus menyebut di dalam UU Lingkungan Hidup terdapat poin pemanfaatan sebuah lingkungan tidak boleh merusak. Poin umum itulah yang kemudian digunakan dan dianggap Yunus perlu diterjemahkan lebih dalam terkait pemanfaatan cagar budaya.
"Seperti apa sih yang tidak merusak? Cara melihat yang rusak itu apa? Nah misalnya kebisingan, itukan ada alatnya untuk mendeteksi," kata Yunus.
"Ambang batas suara dan segala macamnya menggunakan apa yang ada di UU Lingkungan. Tapi heritage bentuknya macam-macam, oleh sebab itu untuk warisan budaya perlu melakukan yang disebut dengan Heritage Impact Assessment," tambahnya.
Aturan yang dimaksud Yunus tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, yang mencantumkan kawasan cagar budaya memiliki tingkat kebisingan sebesar 60 desibel.
Yunus membenarkan semua negara, termasuk Indonesia, sudah diminta oleh World Heritage Center UNESCO untuk melakukan Heritage Impact Assessment atau Analisis Dampak terhadap Cagar Budaya. Namun Yunus mengatakan untuk melakukannya, perlu kajian mendalam.
Kajian itu bukannya belum pernah dilakukan, sebelumnya Yunus mengaku sudah mulai melakukan pengamatan setiap perayaan Waisak di Candi Borobudur dan penyelenggaraan Prambanan Jazz yang eksis tiga tahun terakhir.
Ia pun melihat
JogjaROCKarta sebagai momen untuk menambah hasil kajian, namun sayang pihak penyelenggara Rajawali Indonesia Communication memilih mundur dan mengadakan konser di Stadion Kridosono, Yogyakarta.
 Candi Prambanan masih sering dijadikan tempat perayaan. (AFP PHOTO / SURYO WIBOWO) |
Ditolak Tapi DiberiPenyelenggara
JogjaROCKarta, Anas Syahrul Alimi membenarkan acaranya yang kontroversi tersebut hendak dijadikan bahan kajian sebagai pembuatan regulasi yang baru. Ia menyebut acara konser rock di kawasan cagar budaya belum pernah ada sebelumnya.
"Sebenarnya ketika kami mengajukan awal itu saya mau buat (
JogjaROCKarta) di Prambanan. Lalu tiba-tiba dari Direktorat Kebudayaan menghubungi kami enggak boleh karena rock, musiknya dianggap bising sehingga kami pindah ke Stadion Kridosono," tutur Anas mengawali.
"Setelah kami pindah ke Kridosono, izin sudah keluar, tiba-tiba kami diminta oleh Taman Wisata Candi (TWC) untuk memindahkannya ke (kawasan) Candi dengan asumsi perizinan akan dibantu oleh mereka," tambahnya.
Dengan dukungan dari PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko itu, Anas dipertemukan dengan Dirjen Kebudayaan Ilmar Fahrid. Menurut Anas, Ilmar menyampaikan bahwa mereka berharap acara
JogjaROCKarta jadi titik tolak untuk memiliki regulasi.
Anas pun diminta untuk melakukan sejumlah persiapan dan menunjukkannya kepada Kemendikbud. Anas mengaku telah melakukan serangkaian kajian, mulai dari tingkat kebisingan di kawasan cagar budaya, hingga tingkat getaran dan dampaknya. "Intinya kami sudah kasih itu," kata Anas.
Namun sayang, upaya dan izin persiapan yang telah dikantongi dari Dirjen Kebudayaan tak memuluskan jalan Anas membawa Dream Theater ke pelataran Candi Prambanan. Ia tetap kena protes, termasuk dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI).
"Kalau tanpa izin, saya tidak mungkin berani. Ini konser besar, konser dunia. ... Semua izin keramaian, semua izin dari TWC sudah keluar, dari Dirjen Kebudayaan sudah keluar, dari Pak Yunus juga sudah berkomunikasi dengan kami langsung. Tiba-tiba muncul (protes keras IAAI) dan tidak ada langkah konkret dari Direktorat Kebudayaan," kata Anas.
"Akhirnya kami merasa sendiri, ya saya harus mengambil keputusan karena bila tidak, akan memunculkan polemik," lanjutnya.
"Harapan saya, ya Pemerintah segera menerbitkan regulasi yang jelas boleh tidaknya kami melakukan acara di cagar budaya. Kalau memang tidak boleh, ya semua acara tidak boleh dan regulasinya yang mana harus jelas," kata Anas.
Di sisi lain, Yunus menyampaikan bila pemberian serangkaian peraturan dan persiapan dibutuhkan untuk mengurangi risiko terburuk dari penyelenggaraan konser terhadap bangunan Candi Prambanan.
"Kami mencoba mengurangi risiko, jadi diberikan batas. Dengan aturan seperti itu, secara fisik yang bisa diukur, sudah memenuhi. Namun yang belum terpenuhi masalah persepsi publik [atas dampak musik rock ke candi]," kata Yunus.
"Inilah yang di kami masih berbeda pandangan. Jadi, sikap mereka mundur berarti ada hal yang mereka khawatirkan bila tidak terpenuhi," lanjutnya.
Perlu Ada Tim KhususSementara itu, dosen Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, Djohan Salim menyarankan pemberian izin penyelenggaraan di kawasan cagar budaya dilakukan berdasarkan data yang valid.
"Bukan sekedar romantisme menyaksikan (konser di cagar budaya), itu bisa dilakukan dengan data yang cukup valid, kalau tidak ada menjadi masalah," katanya.
"Persoalan pemerintah itu wisata ekonomi kreatif, terjebak dengan ekonomi kreatif. Saya setuju, tapi harus mempertimbangkan aspek antroplogi dan sosiologinya juga," tambahnya.
Djohan pun menyebut bahwa perlu ada tim ahli yang mengkaji lebih dalam soal terkait hal ini, terlebih kawasan Candi Prambanan sendiri baru direhabilitasi pasca kejadian gempa bumi.
"Kita tidak tahu kualitas rehabilitasinya, apakah bisa mengendalikan noise dari sound system, harus ada ahli." katanya.