Jakarta, CNN Indonesia -- Pengarang asal Amerika Serikat, George Saunders baru saja didapuk memenangi Man Booker Prize 2017. Itu merupakan ajang penghargaan penulisan kelas dunia dari Inggris yang pernah memasukkan nama Eka Kurniawan, penulis asal Indonesia, dalam daftar panjangnya.
Juri menyebut karya Saunders
Lincoln in the Bardo “sangat orisinal.”
“Bentuk dan gaya novel yang sangat orisinal ini mengungkapkan narasi yang jenaka, cerdas dan sangat menggugah,” Lola Young, ketua panel juri berkomentar saat mengumumkan pemenang Man Booker Prize 2017 di London, Selasa (17/10) waktu setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku itu sendiri bercerita tentang kematian putra 11 Abraham Lincoln, Willie. Namun, kematian bocah 11 tahun itu diceritakan lewat ratusan narator yang berbeda.
Buku itu ditulis dalam waktu empat tahun, namun konsepnya sudah dipikirkan sejak 20 tahun lalu. Awalnya Saunders tak tahu bagaimana harus menceritakan kisah itu, sampai akhirnya ia berakhir dengan ratusan narasi soal kematian Willie. Ia hanya ingin sesuatu yang berbeda.
Saunders mengaku sangat bangga dengan penghargaan yang ia dapatkan. Dalam pidato singkat merayakan kemenangan penghargaan yang ia harap bisa mendukung pekerjaan dan hidupnya itu, Saunders menyinggung masa pemerintahan Donald Trump.
“Kita hidup di masa yang aneh. Di Amerika Serikat sekarang kita mendengar banyak hal soal kebutuhan untuk melindungi budaya. Malam ini adalah budaya,” ia mengawali.
Seperti diberitakan AFP, Saunders adalah penulis Amerika kedua yang memenangi penghargaan itu.
Tahun lalu, Paul Beatty adalah penulis asal Amerika pertama yang memenangi Man Booker Prize lewat novelnya yang berjudul
The Sellout. Pemenang Man Booker Prize mendapat hadiah US$69.300 atau Rp936 juta. Belakangan, penghargaan itu menuai kontroversi.
Kritikus menyebut ada ‘Amerikanisasi’ dalam ajang asal Inggris itu. Di lima besar, tiga penulis Amerika bersaing dengan hanya dua penulis dari Inggris dan satu Pakistan-Inggris.
Man Booker Prize merupakan penghargaan yang dimulai pada 1969. Awalnya penghargaan itu dibuka hanya untuk novelis di daerah persemakmuran Inggris. Namun sejak 2014, penghargaan itu terbuka bagi penulis di luar Inggris, asal punya novel berbahasa Inggris.
Tak heran Eka Kurniawan pernah masuk daftar panjangnya sebagai perwakilan Asia Tenggara.
(rsa)