Jakarta, CNN Indonesia -- Jelang tahun 2011 tak akan pernah dilupakan Titiek Puspa. Kala itu, ia divonis terkena kanker saat ia sudah menginjak usia senja, 73 tahun.
Dengan tatapan menerawang di kediamannya yang tenang di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, seniman multi talenta ini mengisahkan kepada
CNNIndonesia.com hari demi hari perjuangannya melawan kanker.
Di suatu hari di penghujung 2010, Titiek merasa perutnya kaku. Ia yang tengah bersama dengan anaknya, Petty, mengeluhkan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kenapa ya perut terasa kaku," kata Titiek sambil mengusap-usap perut bagian bawah.
"Ma, coba sekali-kali periksa pap smear," jawab Petty dengan khawatir. Ia mulai khawatir akan kondisi ibunya mengingat keluarga Titiek memiliki riwayat penyakit kanker.
"
Wong ngapain sih? Aku kan enggak pernah apa-apa, bersih. Aku kan orang rumahan," lanjut Titiek.
Tapi Titiek mengikuti saran anaknya itu menjalani tes yang mampu mendeteksi adanya human papilomavirus penyebab kanker serviks tersebut.
Usai tes, Petty justu yang tampak gelisah, mondar-mandir di depan pintu kamar. Titiek heran.
"Kamu tuh ngapain?" tanya Titiek.
"Enggak apa-apa Ma, enggak apa-apa," jawab Petty.
"Ada apa sih?" tanya Titiek lagi, penasaran.
"Ndak, ini nanti saudara-saudara mau datang," balas Petty datar.
Saudara Titiek pun datang tak lama kemudian. Mereka datang dengan raut yang cemas, seolah ada berita buruk yang harus mereka sampaikan ke sosok lansia yang selalu riang gembira itu. Petty pun membuka suara memecah suasana ganjil tersebut.
"Ma, mama kena kanker, sudah [stadium] satu," kata Petty perlahan, khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada ibu tercinta.
 Titiek Puspa yang kerap melatih anak-anak dalam seni pernah kena kanker pada 2011. (CNN Indonesia / Vega Probo) |
Titiek mencerna ucapan anaknya itu. Menyadari apa yang dibahas oleh Petty, ia mengerti takdir yang harus ia terima di usianya yang melewati kepala tujuh.
Ia teringat ayahnya, Tugeno Puspowidjojo, juga pernah terkena kanker. Pun dengan kakaknya. Sedangkan sang ibunda, Siti Mariam, punya riwayat penyakit jantung.
"Oh, kena juga toh. Ya sudah," kata Titiek santai dan tersenyum.
Jawaban Titiek membuat saudara dan keponakan-keponakannya terbengong-bengong. "Aku kira Eyang bakal histeris," komentar salah seorang keponakannya.
Titiek hanya tersenyum. Ia menenangkan saudara-saudara lainnya bahwa ia masih merasa sehat. Meski masih merasa khawatir, keluarga besar Puspowidjojo kala itu menerima hasil medis dengan tabah.
Di kala malam tiba, justru Titiek yang tak bisa tidur. Ia teringat hasil laboratorium yang membawa keluarga besarnya ke masalah yang sama. Ia gelisah dan memutuskan beranjak dari ranjang.
Kemudian dicarinya sejumlah kontak di buku telepon dan ponselnya. Sendirian di kamar tidurnya, Titiek menelepon beberapa orang yang ia kenal.
"Di Indonesia ada dokter ahli kanker wanita enggak?" tanya Titiek dalam telepon.
"Aduh, ibunya baru ke Amerika,
Mbakyu. Mungkin kalau tidak seminggu, dua minggu lagi pulangnya," jawab suara dari telepon.
"Yah keburu menyebar," batin Titiek. "Ya sudah, terima kasih ya," balas Titiek. Ia pun memutuskan tidur malam itu.
Subuh menjelang. Suasana masih sunyi dan masjid mulai menyiapkan azan. Titiek Puspa terbangun dari tidurnya. Ia kembali termenung mengingat kanker.
Seiring dengan suara azan, melintas bayangan Singapura dalam benaknya. "
Singapura," batin Titiek.
Ia lalu beranjak dari ranjang dan mulai membangunkan asistennya dan menyuruhnya berkemas.
 Singapura menjadi tujuan Titiek Puspa untuk menyembuhkan kanker. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Titiek pun mengambil lima kartu kredit dan menjejalkannya ke dalam dompetnya. Merasa ada yang terlupa, ia mengambil ponsel dan mulai memencet nomor tujuan telepon.
"Petty, kamu dan Ella tolong siapkan tiket Mama ke Singapura. Kalian ayo ikut," kata Titiek sembari membereskan alat riasannya ke dalam tas.
"Kapan Ma?" balas Petty.
"Sekarang. Ini sekarang
on the way," kata Titiek menutup koper.
"Mamaaaa!" suara Petty seolah protes atas tindakan 'sewenang-wenang' ibunya itu.
"Sudah, cepat. Mama tunggu," kata Titiek tak peduli akan protes anaknya dan menutup telepon.
Titiek, kedua anaknya, dan asistennya pun tiba di Bandara Soekarno-Hatta di pagi hari itu. Tak lama, mereka bertolak ke Singapura.
Kisah Titiek Puspa di Singapura dan kepasrahannya untuk diambil Tuhan berlanjut ke halaman selanjutnya...
Di Singapura, Titiek kemudian mendaftarkan diri ke sebuah rumah sakit. Ia menjalani serangkaian proses perawatan kanker serviks. Mulai dari pemeriksaan, hingga kemoterapi selama 2,5 bulan, bolak-balik Jakarta-Singapura.
Proses kemoterapi ia jalani. Titiek tak menyangka prosesnya akan amat menyakitkan. Seluruh tubuhnya sakit luar biasa. Apalagi Titiek tak lagi muda.
"Sakit, aduh Tuhan. Saya sudah tidak kuat," batin Titiek sembari menahan sakit saat proses kemoterapi, di suatu hari.
Titiek Puspa, sosok yang tangguh dan telah menghadapi berbagai ujian hidup sejak ia masih anak-anak, tak kuasa menahan sakit proses kemoterapi demi melawan kanker. Ia merasa sudah berada di titik terendah dalam hidupnya.
"Tuhan, ambil saja aku. Terserah Engkau tempatkan aku di mana, pokoknya aku sudah tak kuat. Surga atau neraka, terserah," rintih Titiek dalam batin. Kalau pun ia harus mengakhiri 70 tahun lebih hidupnya akibat kanker, ia pasrah.
"Namun bila saya memang masih harus ada di dunia, tolong beri saya isyarat Tuhan," ujar Titiek memelas, berlinang air mata.
 Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura, tempat Titiek Puspa dirawat untuk penyakit kanker. (AFP PHOTO / ROSLAN RAHMAN) |
Tak terasa satu jam lebih Titiek menangis memasrahkan hidupnya untuk diambil Yang Maha Kuasa. Namun, seperti ketika akan ke Singapura, ia merasa tak perlu memperpanjang proses menyakitkan itu lagi.
"Petty, ambil tiket. Mama mau pulang besok,
early morning, Jakarta," kata Titiek.
"Ma! Dokternya tiga lho," jawab Petty menyinggung syarat persetujuan yang mesti dibawa untuk keluar dari rumah sakit.
"Mau seratus, beli tiket!" tegas Titiek.
Ia pun tiba di Jakarta. Disambut dengan sejumlah saudara dan wartawan yang memberitakan kabar penyakit yang ia derita, Titiek tetap tersenyum. Dalam hatinya, ia tak tahu apa yang akan ia lakukan usai 'kabur' dari Singapura.
Hari demi hari berlalu. Titiek masih berusaha mengobati kankernya dengan berbagai cara. Hingga suatu kali, anaknya bercerita tentang temannya yang sembuh dari stroke melalui meditasi. "
Mungkin ini bisa," batin Titiek.
Ia mencari nomor telepon tempat meditasi tersebut dan mendapatkannya. Tak pikir panjang, Titiek menelepon tempat tersebut. "Permisi Pak, saya ingin ikut meditasi," kata Titiek membuka percakapan telepon.
"Mesti daftar dulu Bu," balas suara dari seberang telepon.
"Ya ini makanya saya mau daftar," balas Titiek.
"Tapi Bu..." sela suara di seberang.
"Pokoknya tidak tapi-tapi, pokoknya besok saya datang," tegas Titiek.
Titiek pun datang ke tempat meditasi itu keesokan harinya. Dengan dandanan khasnya yang sederhana, ia datang dengan niat untuk sembuh. Ia bertekad mengikuti semua arahan untuk melawan kanker yang terus menggerogoti tubuhnya.
"Tuhan maafkan saya. Saya merusak sesuatu yang dahulu Kau berikan dengan indah, sehat, dan sempurna. Sekarang saya merusaknya. Saya ingin memperbaiki itu semua, tolong tuntun saya, tolong izinkan dan berkahi saya," batin Titiek setiap sebelum memulai meditasi.
Beragam gerakan ia lakukan sesuai arahan. Mulai dari duduk tanpa sandaran, melipat lidah, merapatkan bibir, dan bernafas lewat hidung sembari memejamkan mata. Titiek lakukan meditasi itu selama lima jam dalam sehari, selama 13 hari. Ia tak berani melanggar satu pantangan pun dan amat disiplin.
Usai 13 hari bermeditasi, Titiek merasakan tubuhnya mulai terasa lebih baik. Ia bisa merasa lebih nyaman. Ia pun menanyakan perihal itu ke guru meditasinya.
"Itu namanya sembuh. Kalau tak percaya, ya nanti lihat saja," kata gurunya.
Tak lantas percaya dan penasaran bagaimana kondisi kanker dalam tubuhnya. Ia pun memeriksakan diri ke dokter. Singapura adalah pilihan pertama Titiek.
Bak mukjizat, semua uji laboratorium dan medis menunjukkan ia sembuh dari kanker. Dokter di Singapura tak percaya, begitu pun Titiek. Namun, itulah yang terjadi.
"Begitu dicek, bagian kemoterapi bilang
clean, bagian radioterapi bilang
clean, bagian kebidanan juga
clean. Dokter minta tiga bulan lagi cek, tambah lagi setengah tahun,
clean clean," ungkap Titiek menebarkan raut bahagia, kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Dengan doa, isyarat itu tadi. Tahu-tahu minta tiket, tahu-tahu telepon. Nah itu lah, selalu lah komunikasi. Kebetulan dari kelas tiga SD sahabat saya Tuhan," kata Titiek.
Titiek Puspa kini sudah sembuh dan menginjak usia 80 tahun, ia pun membagikan pengalamannya dalam artikel Titiek Puspa Empat Dekade Menjaga Wasiat Ayah...