Semarang, CNN Indonesia -- Terciptanya kawasan Pecinan di Semarang, Jawa Tengah punya sejarah unik di baliknya. Kawasan itu terletak di Jalan Wot Gandul, Beteng, Gang Pinggir dan Kalikoping.
Pecinan terbentuk berawal dari pembantaian orang-orang keturunan Tionghoa di Batavia (saat ini Jakarta) oleh Belanda pada 1740. Banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke berbagai daerah lewat laut ke arah Timur melalui jalur Pantai Utara. Sampailah mereka di Semarang.
Mengutip buku
Kota Semarang Dalam Kenangan karya Jongkie Tio, warga keturunan Tionghoa dari Jakarta kemudian menghimpun pelatihan silat. Misinya melawan Belanda. Mereka pun dibantu salah satu pesilat asal Semarang yang bernama Sing Seh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Ramai suasana Imlek di Pecinan Semarang. (CNN Indonesia/M Andika Putra) |
Dipimpin Sing Seh, mereka berhasil mengalahkan Belanda pada 1741. Belanda sampai kebakaran jenggot, harus meminta bantuan ke Batavia dari Semarang.
Dua tahun kemudian, Belanda balas menyerang. Warga keturunan Tionghoa pun kembali ditumpas Belanda pada 1743. Mereka yang selamat melarikan diri ke pedalaman, bergabung dengan Pangeran Trunojoyo di Kartausura untuk bersama melawan Belanda. Sebagian lainnya yang menjadi minoritas, didesak tinggal di sebuah kawasan yang kelak disebut Pecinan.
Belanda sampai mendirikan tangsi untuk membatasi Pecinan sekaligus mengamankan areanya.
"Didirikan satu tangsi militer Belanda di Jalan Jurnatan, yang dihuni oleh tentara dari berbagai negara yang direkrut oleh penguasa Belanda. Tangsi itu dinamakan De Werttenbergse Kazerne," kata budayawan Jongkie Tio kepada
CNNIndonesia.com di Semarang, Selasa (13/2).
Kini, bangunan itu menjadi Gedung Pertokoan Semarang Plaza.
Pecinan yang 'disediakan' Belanda untuk warga keturunan Tionghoa itu berlokasi sama dengan yang sekarang. Di kawasan Wot Gandul, Beteng, Gang Pinggir dan Kalikoping.
Ada alasan cerdik mengapa kawasan itu dipilih. Di sebelah Utara, terdapat Kali Wot Gandul yang mengalir ke Kali Semarang yang dekat dengan laut. Penghuni Pecinan seakan didesak sampai ke ujung daratan. Di sebelah Selatannya, ada perbukitan. Bukit dan laut itu, seperti tangsi yang dibandung di sisi lainnya, seakan menjadi pagar yang mengurung mereka.
Namun alih-alih menjadi pagar, Kali Wot Gandul malah memberikan keuntungan bagi warga keturunan Tionghoa. Mereka mengembangkan usaha judi yang berhasil menarik perhatian pendagang dari berbagai daerah ketika singgah di daerah Kali Semarang.
Ekonomi kawasan Pecinan Semarang pun semakin maju. Belanda yang tak mau rugi lalu memungut pajak judi. "Saat itu orang mengenal jenis mata uang keping logam bulat dengan lubang persegi di tengah yang biasa disebut gobok [uang China kuno]," tertulis di buku Jongkie.
Uang yang banyak muncul di film-film Hollywood berlatar sejarah China itu masih bisa ditemukan di Bali hingga kini karena dipakai di upacara-upacara adat. Namun, masih mengutip buku Jongkie, banyak pula yang memalsukan uang itu demi keuntungan pribadi.
Bukan hanya berdampak positif terhadap ekonomi, kali dan gunung yang mengapit Pecinan Semarang memiliki fengsui yang baik. Menurut Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) Harjanto Halim kali dan bukit itu meprepresentasikan rezeki.
"Kawasan Pecinan di daerah lain biasanya [punya] salah satu saja, antara gunung dan laut. Jakarta dan Surabaya hanya laut, Bandung hanya gunung," kata Harjanto kepada
CNNIndonesia.com. Pecinan Semarang unik karena memiliki dan diapit oleh keduanya.
Hingga saat ini, kata Harjanto, rejeki masih datang untuk Pecinan Semarang. Toko tradisional dan pasar yang berada di kawasan itu masih laris di zaman yang sudah modern.
Kawasan itu juga tak pernah sepi dari wisatawan dalam maupun luar negeri. Banyak wisatawan yang memuji Pecinan Semarang lebih terasa dibanding Pecinan di Singapura atau Malaysia.
 Suasana China kental terasa di Pecinan Semarang. (CNN Indonesia/M Andika Putra) |
"Wisatawan itu cari yang natural, seperti Pecinan semarang yang ekosistemnya terbentuk sejak dulu karena peristiwa sejarah. Sedangkan Pecinan Pineng (Singapura) dan Pecinan Melaka (Malaysia) dibuat untuk mendatangkan turis," kata Harjanto.
Kelenteng 'Dewa' Indonesia-TionghoaKawasan Pecinan Semarang tak benar-benar dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Ada setidaknya 10 persen warga yang bukan keturunan Tionghoa. Namun mereka begitu membaur.
Harjanto mengatakan, ada sembilan kelenteng di Pecinan Semarang. "Tapi di sini juga ada masjid. Ini salah satu bukti warga Semarang yang guyub dalam perbedaan," kata Harjanto.
Kelenteng Sinar Samudra adalah salah satu bukti keguyuban itu. Itu merupakan kelenteng buatan Kwik Lak Kwa yang didirikan pada tahun 1754. Pengurus Ritual Kelenteng Sinar Samudra, Danny Lie mengatakan, Kwik Lak Kwa merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.
 Kelenteng Sinar Samudra menjadi wujud peleburan budaya Tionghoa dan Jawa di Pecinan Semarang. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
Ia salah satu warga keturunan yang lari dari Batavia karena ada pembantaian oleh Belanda. Kwik Lak Kwa lari ke arah Timur hingga sampai di Cirebon. Ia bergabung dengan pejuang warga asli Indoesia pada 1741 untuk menyerang pos pasukan Belanda di Tegal.
Setelah itu Kwik Lak Kwa bekerja sama dengan Keraton Kartasura, namun dipecah oleh Belanda menggunakan politik
divide et impera atau politik adu domba.
Sepanjang pelarian, kata Danny, Kwik Lak Kwa memiliki dua ajudan. Satu orang keturunan Tionghoa dan satu lagi orang Jawa asli. Dua ajudan itu menemaninya saat melaut di Tegal sampai dirampok bajak laut. Mereka bertiga meninggalkan kapal dan isinya, lalu ke pantai.
"Kemudian ada badai yang menenggelamkan kapal bajak laut. Sejak itu, banyak warga yang mengaku bertemu Kwik Lak Kwa dan sembuh dari penyakit setelah diobati Kwik Lak Kwa. Cerita itu tersebar dari mulut ke mulut sampai ke Semarang," Danny melanjutkan.
Warga pun percaya bahwa Kwik Lak Kwa menjadi dewa pelindung laut.
Kelenteng Sinar Samudra adalah kelenteng pertama yang didirikannya. "Baru kemudian ada di Tegal yang bernama Kelenteng Tek Hai Kiong dan yang lain. Kelenteng ini satu-satunya kelenteng dengan dewa berdarah Indonesia-Tionghoa di Semarang," ujar Danny menjelaskan.
 Kwik Lak Kwa beserta ajudannya yang Muslim dijadikan patung di salah satu altar persembahan di Kelenteng Sinar Samudra. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
Di kelenteng itu terdapat patung Kwik Lak Kwa yang berdampingan dengan patung ajudannya yang berpakaian adat Jawa dan bergama Islam. "ni kan salah satu bukti persatuan."
Kisah Kwik Lak Kwa terdengar sampai kerajaan Tiongkok Dinasti Qing yang dipimpin Kaisar Qianlong. Kaisar Qianlong pun memberinya gelar Zehai Zhenre. Artinya orang suci pelindung para nelayan di lautan. Ia juga melindungi kerukunan dan perbedaan di Semarang.
(rsa)