Jakarta, CNN Indonesia -- Format siaran terus berkembang seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi dan kompleksitas kebutuhan manusia. Beberapa tahun belakangan, muncul siaran audio melalui internet yang biasa disebut podcast.
Merujuk artikel
Guardian pada 2004 silam, jurnalis Ben Hammersley menyebut bahwa
pod datang dari pemutar media digital ciptaan Apple, iPod. Sedangkan
cast adalah kependekan dari
broadcast atau siaran. Namun, kini podcast bisa diputar dari pemutar media apapun.
Sepintas podcast terdengar seperti radio. Pendengar akan disuguhi serial audio berisi obrolan penyiar akan suatu topik dan diselingi musik-musik pilihan. Namun, sebenarnya keduanya lumayan berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak seperti radio yang memiliki jadwal untuk program-programnya, pendengar bebas mendengarkan podcast kapan saja mereka mau dan topik apa yang mereka ingin dengarkan. Sederhananya, podcast seperti
vlog di saluran Youtube, namun tanpa visual.
Selain itu, jika enggan streaming, pendengar bisa mengunduh audio podcast terlebih dahulu, menyimpannya, dan memutarnya jika diinginkan layaknya saat mengunduh lagu. Sebagian besar podcast ini bisa diunduh secara gratis.
Beberapa bulan belakangan ini podcast kembali ramai didengarkan, terutama di Amerika Serikat dan Inggris. Konten yang disiarkan semakin unik, kreatif dan mengerucut, sehingga pendengar bisa dengan mudah mencari saluran yang paling sesuai dengan minat dan hobi mereka.
Podcast semakin menjadi pilihan lantaran tingginya intensitas perjalanan orang-orang masa kini. Mereka yang menghabiskan banyak waktu di jalan, baik di mobil maupun transportasi publik, memilih untuk mendengarkan podcast agar tetap mendapat wawasan baru dan, di saat yang sama, terhibur.
Podcast Kembali Jadi PilihanSempat meledak di awal kemunculannya lebih dari satu dekade silam, podcast kini kembali menjadi pilihan, terutama di Amerika dan Inggris. Tren ini tampaknya juga akan mewabah hingga ke regional lain, termasuk negara-negara Asia.
Nic Newman baru-baru ini merilis hasil studi
Journalism, Media, and Technology Trends and Predictions 2018 gagasan Reuters Institute for the Study of Journalism dan University of Oxford.
Di sana tercatat bahwa berdasarkan survei terhadap 194 editor, bos, dan pejabat perusahaan media digital dunia, diperkirakan pada 2018 media dengan format audio akan mengalami peningkatan.
"Sebanyak 58 persen penerbit [media] mengaku akan fokus pada podcast, dengan proporsi yang sama menilik pada konten untuk
speaker [pengeras suara] yang diaktivasi menggunakan suara," tulis Newman dalam hasil risetnya.
Selain itu, Newman juga menyebut konsumen media digital juga mengalami perubahan tingkah laku. Laporan The Smart Audio dari Edison Research menunjukkan bahwa 65 persen pemilik gawai mendengarkan lebih banyak musik, dengan peningkatan signifikan untuk berita, podcast, dan buku audio.
Berdasarkan laporan The Smart Audio dari Edison Research, 65 persen pemilik gawai menggunakan pengeras suara pintar untuk mendengarkan musik, 29 persen untuk berita, 20 persen untuk podcast dan 18 persen untuk buku audio.
"Ini semua akan menambah ganggan jadwal radio dan mendorong lebih banyak penggunaan audio
on-demand," tulis Newman.
"Merespons tren ini, perusahaan media yang masuk survei kami mengatakan bahwa mereka akan berinvestasi lebih banyak tahun ini untuk media berbasis audio seperti podcast [58 persen] dan eksperimen konten pendek [58 persen] yang asli bagi platform baru. Inisiatif ini dianggap lebih penting bagi penerbit dibanding bentuk video [47 persen] dan dua kali lebih penting dari realita virtual [25 persen]."
Bukan Ancaman Bagi RadioKembalinya podcast sebagai salah satu pilihan ternyata tidak dianggap sebagai ancaman bagi para praktisi siaran radio. Alih-alih, platform ini disebut bisa menjadi pelengkap yang bagus.
Eks penyiar 96,7 Hitz FM Adit 'Insomnia' berpandangan bahwa kemunculan format digital apapun sebenarnya sudah menjadi ancaman bagu radio. Namun, podcast sendiri, menurutnya, dibuat oleh orang-orang yang mungkin tidak punya keahlian dasar penyiaran, sehingga para praktisi radio tidak usah khawatir 'lapaknya' direbut oleh penyiar podcast.
"Selagi kita masih bisa memberikan siaran yang lebih variatif dan informatif, sepertinya podcast bukan menjadi ancaman. Justru kita bisa saling membagi informasi dan saling melengkapi. Misalnya, 'Oh si podcast itu sudah ngomong ini lho.' Jadi bukan menjadi ancaman," ujarnya kala menyambangi kantor
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Senada dengan Adit, penyiar OZ Radio Rizky Danto menganggap podcast sebagai pelengkap. Karenanya, stasiun radio tempatnya bekerja kini mulai akan membuat acara-acara spesial yang memuat genre musik khusus dengan format podcast.
"Menurut saya [podcast] itu bisa menjadi komplementer untuk siaran," katanya.
 Penyiar radio di Jakarta: (Kiri ke kanan) Rizky Danto, Davy Andry dan Adit 'Insomnia.' (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
Sementara, penyiar Trax FM Jakarta Davy Andry menilai podcast masih belum terlalu menjadi pilihan di kalangan masyarakat Indonesia. Ia menduga konten podcast selama ini masih belum ada konten yang cocok dengan keinginan pendengar.
"Sepertinya masih kesulitan untuk kontennya ya. Dan apakah orang-orang Indonesia sama dengan orang luar yang suka mendengar podcast? Bisa jadi tidak suka, karena berbeda," ujarnya.
Ia menambahkan, "Di luar sana itu kontennya gila sekali. Ketika saya melihat judulnya itu bisa semangat 45, sambil berpikir, 'Ini orang kok bisa begini ya? Dia mikir apa ya?' Lalu mendengarkan mereka. Tantangannya justru bisa tidak saya
catch up dengan dia? Dan apakah pendengar di Indonesia juga senang? Bisa jadi tidak senang."
Sedikit berbeda dengan Davy, Adit dan Danto menganggap bahwa orang Indonesia masih belum memiliki kebiasaan mendengarkan podcast.
Adit menyebut selama ini orang Indonesia lebih senang visual. Karenanya,
vlog lebih populer daripada media berbasis audio seperti radio atau podcast.
"Mungkin orang sini lebih suka visual, seperti Youtube kan, orang lebih suka
vlog. Kalau audio ya orang lebih suka radio karena sudah menjadi kebiasaan," ujar Adit.
Sepakat dengan Adit, Danto menuturkan, "Itu sepertinya karena kebiasaan. Jadi harus dibentuk kebiasaan orang Indonesia untuk mendengarkan podcast yang berbobot, jangan yang santai-santai saja."
(res)