Jakarta, CNN Indonesia -- "Bun, mau
watch movie apa?" ucap Ziya, empat setengah tahun, ketika ia melihat ibunya, Dian, sedang asyik berbincang dengan
CNNIndonesia.com, di suatu siang di bulan Oktober 2018.
Celotehan balita itu terjadi bukan hanya sekali, dalam bahasa Inggris, melainkan kerap kali terjadi. Kadang pula, muncul dalam gumaman yang butuh didengar seksama untuk mengerti maksud si anak perempuan itu.
"Enggak pernah sengaja sih mengajarkan bahasa Inggris," kata Dian menanggapi bahasa Inglish alias Indonesia-English yang sering digunakan Ziya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan enggak kerepotan juga, bahasa Inggrisnya masih dimengerti kok," lanjut Dian sembari tertawa.
Sembari mengawasi Ziya yang asyik mengotak-atik barang dan menyelami imajinasinya sendiri, Dian menyebut bahwa celotehan anaknya yang ada dalam bahasa campur itu terjadi bermula dari penggunaan gawai alias
gadget.
Dian, sebagai orang tua era dari generasi milenial, mengakui bahwa anaknya -dan mungkin anak orang tua milenial lainnya- tak mungkin tak pernah menggunakan gawai kala mengasuh anak.
Gawai dengan beragam kecanggihannya membuka pintu bagi Ziya dan generasi seangkatannya untuk mengakses bahasa selain bahasa ibunya, Indonesia. Dan faktanya, Ziya belajar lebih banyak bahasa Inggris dari gawai tersebut dibandingkan pelajaran di kelas.
Ditambah, Dian menyebut Ziya tak pernah diberikan tayangan televisi dalam bahasa Indonesia. Dian menggunakan televisi kabel dan kerap menayangkan acara anak dari saluran televisi asing saat menemani Ziya.
"Apa sih dari televisi lokal? Isinya banyak yang tidak mendidik." keluhnya.
Dwi, suami Dian, menambahkan bahwa bukan hanya karena faktor tontonan yang membuat putrinya itu bisa berbahasa asing dari usia yang amat dini.
Menurut Dwi, teman-teman Ziya di sekolah pun lebih sering menggunakan bahasa asing atau campur untuk berkomunikasi.
Dwi menyebut sekolah Ziya masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar kegiatan belajar dan mengajar. Namun dalam pergaulan sehari-hari, ternyata teman-teman Ziya banyak yang menggunakan bahasa campur.
Ia mengaku tak masalah bila putrinya lebih sering menggunakan bahasa asing. Toh dirinya juga bangga. Namun ada sedikit kekhawatiran di balik kebanggaannya bahwa kini Ziya tergolong generasi kewarganegaraan global.
"Khawatir kalau bahasa Indonesianya 'ketimpa' bahasa Inggris," kata Dwi. "Ya tapi di rumah, kami masih pakai bahasa Indonesia. Dan neneknya juga masih suka berbicara [kepada Ziya] dengan bahasa Jawa, dan anaknya mengerti,"
'Bahasa Inggris Pembuka Jalan'Kondisi Ziya sedikit berbeda dengan Icha, putri pertama Cahyo dan Dewi yang sudah berusia sekitar sepuluh tahun. Icha juga termasuk anak yang sudah menggunakan dwibahasa dalam kehidupannya sehari-hari.
Apalagi, Icha didaftarkan oleh kedua orang tuanya ke sekolah dengan kurikulum berasal dari Cambridge University. Maka, semua pembelajaran di sekolah yang diikuti Icha menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, kecuali bahasa Indonesia.
"Intinya sih setiap orang tua ingin anaknya lebih baik dari orang tuanya," kata Cahyo kala berbincang dengan
CNNIndonesia.com, dalam kesempatan terpisah. "Saya mengalami sendiri, bahasa Inggris itu membuka jalan baik dari karier dan banyak hal,"
Pernyataan Cahyo disepakati oleh Dewi. Dewi menjelaskan, awalnya Icha memang bersekolah di sekolah dengan kurikulum lokal. Namun keduanya memilih memindahkan Icha ke sekolah dengan kurikulum Cambridge atas pertimbangan masa depan si anak.
"Awalnya susah, Icha bilang mau kembali ke sekolah lama. Dia enggak punya teman. Mungkin karena yang lain berbicara dengan bahasa Inggris dan dia belum berani," kata Dewi mengisahkan pengalamannya mengatasi minder putrinya itu.
"Tapi lama-lama Icha terbiasa. Bahkan sekarang dia selalu pakai bahasa Inggris bila teman-temannya berbicara dengan bahasa Inggris," lanjutnya.
"Kalau lingkungannya pakai bahasa Inggris, ya mau tidak mau akan terbiasa," timpal Cahyo.
Dewi pun menyebut pengalaman dirinya dahulu sempat khawatir bila harus berhadapan dengan orang asing kala rapat menjadi salah satu pendorong ide membuat anaknya lancar berbahasa asing sedari dini.
"Beda lah dengan yang belajar les dengan yang terbiasa. Saya kursus hingga tahap
advance namun ketika dulu harus
meeting dengan orang asing ya khawatir," kata Dewi.
"Dan Saya bersyukur Icha sudah bisa bahasa Inggris. Ketika saya dan dia berlibur ke luar negeri, dia bisa berkomunikasi sendiri dengan orang sana tanpa harus saya ikuti selalu. Mandiri jadinya," lanjut Dewi.
Dewi tak menampik bila ia juga khawatir bila Icha diharuskan menulis dengan bahasa Indonesia sebagai syarat ujian kelulusan suatu saat nanti. "Tapi saya tidak khawatir bahasa Indonesia [Icha] akan hilang," kata Dewi.
"Toh kami masih juga menggunakannya [bahasa Indonesia] di rumah," timpal Cahyo.
Kisah Ziya dan Icha menjadi contoh nyata bahwa sebuah generasi penutur di Indonesia mulai menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Bukan hanya keduanya. Ada banyak anak Indonesia yang kini lebih fasih dan akrab dengan istilah atau kata dalam bahasa asing dibandingkan bahasa ibunya, baik karena sengaja dari perubahan pola didikan orang tuanya, atau pun terpapar teknologi.
Maka bukan hal yang aneh, bila generasi penutur bahasa Indonesia banyak yang gagap berbahasa Indonesia atau pun lebih memilih bahasa campuran. Mereka memilih cara berkomunikasi yang membuat mereka nyaman dan biasa dilakukan.
Mudah tapi SalahDi sisi lain, masyarakat Indonesia menyadari bahwa banyak dari mereka yang abai menggunakan bahasa yang kini sudah berusia 90 tahun tersebut dengan baik dan benar.
Jajak pendapat yang dilakukan
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu menunjukkan hal tersebut.
Masyarakat Indonesia sebenarnya mengakui bahwa menggunakan bahasa Indonesia tidaklah sulit dengan suara dari 52 persen responden, namun di sisi lain, 62 persen responden menyebut belum menggunakannya dengan benar.
Sebagian besar masyarakat juga menilai bahasa Indonesia adalah hal yang mudah. Hal ini dipicu karena sering digunakan, dan tak perlu rumit membaca kata dalam bahasa Indonesia karena kesamaan tulisan dengan ucapan.
Namun ternyata ada banyak alasan yang membuat masyarakat menilai menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu sulit, sebagian besar adalah terkait dengan tata bahasa seperti ejaan dan ada kesan bahwa bahasa Indonesia itu kaku.
Dengan hasil tersebut, sejatinya bahasa Indonesia masih memiliki asa untuk memiliki penutur karena banyak yang terbiasa menggunakannya.
Akan tetapi, ada tugas besar bagi pemerintah untuk membuat perubahan paradigma masyarakat atas bahasa Indonesia. Mulai dari membiasakan kembali, hingga membuka peluang bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa asing demi menjaga penutur tak lari ke bahasa asing.
(end)