Jakarta, CNN Indonesia -- Ada setangkup rindu membuncah kala mendengar detak nada dan melodi dari lagu-lagu
KLa Project yang legendaris, di tengah deru nada lagu modern saat ini. Seolah pulang ke memori nostalgia.
Keberadaan KLa Project, bagi generasi yang lahir dan besar sebelum pergantian milenium, seolah medium penyampaian roman tanpa drama berlebihan.
Nostalgia itulah yang masih membuat KLa Project bisa bertahan di tengah perkembangan musik modern. Tiga dekade bukan waktu yang singkat untuk dijalani sebuah grup musik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KLa Project terbentuk dari persahabatan Katon Bagaskara, Adi Adrian, Romulo Radjadin alias Lilo, dan Ari Nurhani yang tinggal di kawasan yang sama, Tebet, Jakarta Selatan, tiga dekade lalu.
Bermula dari aksi Katon yang menyanyikan lagu buatannya sendiri sembari akustik, Lilo kemudian menyarankan Katon untuk merekam lagu tersebut.
Katon menjawab, ia hanya mau merekam lagu itu dengan format band agar menjadi lagu dengan aransemen yang baik.
"Saya sudah berteman dengan Ari sebelumnya. Dari situ Lilo memperkenalkan saya dengan Adi yang sudah main bareng sama Fariz RM. Adi punya pengalaman rekaman yang bagus," kata Katon, kepada
CNNIndonesia.com.
Pengorbanan demi idealisme bermusik pun dilakukan KLa Project. Hingga kemudian, mereka merilis debut dan seiring berjalannya waktu mengantarkan mereka menuju puncak kejayaan.
 KLa Project dalam format awal. (Dok. KLa Project) |
Kekuatan melodi dan lirik bersajak yang unik menjadi ciri khas KLa Project, sejak dulu hingga kini. Apalagi, dulu grup ini tergolong amat produktif menghasilkan lagu tanpa mengurangi resep kualitas.
"Ketika mendengar, pertama orang akan memahami lagu, setelah itu lebih menjiwai dengan memahami musik, yang terakhir adalah benar-benar membaca lirik. Jadi kekuatan lagu ada di setiap lapis," kata Katon.
Selama 30 tahun tahun berkarier musik, KLa Project telah melahirkan 11 album dan satu album
tribut bertajuk
A Tribute To KLa Project (2011) yang dinyanyikan berbagai musisi. Terakhir kali, mereka merilis album bertajuk
Exellentia pada 2010.
Sedangkan pada dekade '90-an, KLa Project telah melahirkan album
Pasir Putih (1991),
Ungu (1994),
V (1995),
KLakustik 1 (1996),
KLakustik II (1996),
Sintesa (1998) dan
KLasik (1999).
Konsitensi bermusik dan menghasilkan karya yang unik satu dengan yang lainnya pun diakui oleh banyak musisi dan pencinta musik.
"Mereka membawa pembaharuan di akhir dekade '80-an. Saat itu masih kuat pop cengeng, tapi karya mereka dari segi musik dan lirik berbeda. Banyak yang menaruh harapan pada KLa saat itu," kata pengamat musik Wendi Putranto kepada
CNNIndonesia.com.
Di sisi lain, musisi Pongki Barata menilai kesuksesan KLa Project juga dipengaruhi kemampuan mereka yang mampu memadukan idealisme dengan selera pasar.
"KLa tidak terpaku pada satu aransemen. Misal pada 'Yogyakarta' mereka memasukkan unsur etnis, kemudian di lagu 'Gerimis' [ada] akustik. Lagu Sudi Turun ke Bumi [adalah] elektronik," kata Pongki.
[Gambas:Youtube]Kemampuan KLa Project mengemas lagu yang menggugah selera pasar tapi masih menjaga kualitas musik terlihat dari peminat lagu-lagunya yang tak pernah surut hingga saat ini.
Hal itu terlihat dari japat atau jajak pendapat yang dilakukan
CNNIndonesia.com kepada pembaca, beberapa waktu lalu. Dari empat pilihan lagu populer KLa Project, lagu
Yogyakarta masih dianggap sebagai karya terfavorit dari band tersebut.
Kini, merayakan tiga dekade bermusik trio Katon, Lilo, dan Adi tersebut,
CNNIndonesia.com 'pulang' ke lagu-lagu KLa Project dan menuangkan palung filosofi bermusik mereka dalam seri Legend edisi November 2018.
Ada banyak kisah dari perjalanan tiga dekade bersajak melodi KLa Project. Sedikit kisah dari perjalanan mereka dalam seri Legend ini semoga setidaknya menjawab permohonan Katon dalam lagu
Yogyakarta.
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagiBila hati mulai sepi tanpa terobati (end)