Jakarta, CNN Indonesia -- Perjalanan
Inggris keluar dari
Uni Eropa atau yang dikenal dengan istilah
Britania Exit (Brexit) rupanya telah menginspirasi sebagian penulis fiksi untuk menulis kisah Brexit yang bernuansa kenegaraan menjadi sebuah aliran satir futuristik. Hal ini diungkap Daniel Hiscocks, seorang pendiri rumah penerbitan independen kepada AFP.
Salah satunya karya bertajuk Brex-lit oleh
Financial Times, yang mengisahkan kecemasan kubu pro Uni Eropa atau europhiles akan masa depan Inggris. Kaum europhiles melihat Inggris akan memiliki gambaran masa depan yang lebih buruk dari masa kini (dystopian)
Sebelumnya, menurut Hiscocks, pengaruh Brexit juga telah menyebar ke karya-karya penulis terkenal, seperti Ali Smith dan Jonathan Coe. Pengaruh Brexit, katanya, telah mendorong mereka untuk melihat fenomena sosial yang sering terabaikan.
"Saya memperhatikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak yang memiliki kecenderungan gambaran dystopian atau nostalgia (atas perjalanan Brexit)," ujarnya kepada AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Board, seorang mantan pegawai negeri yang kini menjadi penulis, mengatakan bahwa pengaruh Brexit juga sudah membuatnya menulis tentang ketidaktahuan dan penghinaan antar kelas berkuasa dan yang memerintah.
"Saya pikir ini menjadi sebuah peluang bagi novel untuk benar-benar bermain di gelombang yang berbeda dari pemberitaan di media," katanya.
James Silvester, penulis fiksi bertajuk "Blood, White and Blue" yang mengklaim karyanya merupakan novel pertama pasca-Brexit, mengungkapkan fenomena Brexit menginspirasi untuk menunjukkan sisi lain dari hal ini.
"Brexit sangat mempengaruhi saya dan buku itu adalah reaksi terhadapnya. Saya ingin mendorong orang berpikir tentang realitas Brexit, mengenai apa yang terjadi pada orang-orang, tentang rasa sakit yang ditimbulkan dan akan berlanjut," ungkapnya.
Amanda Craig, penulis lain memandang fenomena Brexit berhasil menginspirasi para penulis fiksi di Inggris karena penulis ingin membuat karya fiksi tak hanya menghibur pikiran pembaca, namun juga memperhatikan fenomena sosial yang ada.
"Fiksi ada untuk menghibur, bergerak, dan kesenangan, tapi juga untuk membuat Anda berpikir," katanya.
(uli/afp/age)