Jakarta, CNN Indonesia -- Tak banyak yang mengetahui album debut pertama Nike Ardilla sempat tersimpan di arsip dan menunggu 25 tahun untuk dirilis. Diproduksi pada 1988 silam, album bertajuk
Hanya Satu Nama itu baru dikenalkan ke publik pada 2013, atau 25 tahun setelah sang penyanyi meninggal dunia.
Cerita album debut Nike bermula pada Juli 1988, ketika seorang anak perempuan berusia 12 tahun datang dari Bandung ke Jakarta bersama ayahnya. Anak perempuan itu, yang dipanggil Neneng atau Amoy oleh keluarganya, datang dengan malu-malu namun bertekad baja: ia ingin menjadi penyanyi tenar.
Ditemani seorang wartawan senior bernama Denny Sabri, anak perempuan bernama lengkap
Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi itu dibawa ke sebuah kantor label rekaman di sudut Jakarta. Label itu dimiliki oleh seorang produser yang saat itu masih terbilang baru terjun berbisnis musik, Judi Kristianto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Judi, dengan label rekamannya yang bernama JK Records, pun menyambut Denny. Ia sudah lama kenal dengan wartawan senior itu. Denny dikenal luas oleh produser musik di Jakarta. Maklum, ia kerap mengenalkan orang-orang yang ingin menjadi penyanyi dan tak jarang, memiliki bakat mumpuni. Meriam Bellina adalah salah satu besutan Denny yang juga mendapatkan ketenaran di bawah label JK Records.
Kali ini, Denny datang dengan anak perempuan berparas ayu khas Sunda dan pemalu. Kata Denny kepada Judi kala itu, anak perempuan yang masih cadel dan baru lulus Sekolah Dasar itu ingin jadi penyanyi.
Meski terbilang baru, bukan berarti Judi amatiran menilai potensi calon artis baru. Bak radar, insting bisnisnya berbunyi kencang kala melihat Neneng. Judi yakin anak itu kelak akan menjadi bintang besar. Namun untuk membuktikan insting tersebut, ia ingin anak perempuan tersebut diuji vokalnya terlebih dahulu.
"Saya bilang ke Denny, wah cakep nih anak, masa depannya bagus nih," kata Judi mengenang pertemuan dirinya dengan anak perempuan itu, yang kini lebih dikenal dengan Nike Ardilla, pertama kali saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, kala ditemui beberapa waktu lalu di kantor JK Records.
"Denny bilang 'ya sudah
jadiin penyanyi saja'. Saya sih mau saja, cuma bagaimana? Ini suaranya masih anak-anak, mesti menunggu berapa tahun [untuk matang]?. Denny bilang 'tapi ini bagus'. Dan ya memang saya tahu dia bakal jadi bintang besar," kata Judi menirukan percakapannya dengan Denny kala itu.
 Judi Kristianto, pendiri JK Records, label pertama Nike Ardilla (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Judi pun menguji kualitas vokal Nike. Dimintanya Nike bernyanyi sejumlah lagu, apa pun, sembari diiringi music director JK Records, Hengky Firmansyah. Saat itulah, Judi kepincut suara Nike yang bertenaga dan khas, meski masih cadel.
"Saya bilang, 'Gue ambil! Gue rekam! Gue suka ini, ini ciri khasnya [cadel]'. Saya bilang 'ini [Nike] bisa jadi bintang besar. Itu sudah dites vokal, banyak kan artis cuma modal cantik pas dites, vokalnya saya tolak," kata Judi bersemangat meski suaranya serak di usia yang tak lagi muda. Nike tampak amat berkesan baginya.
Judi memang menyatakan ketertarikannya untuk mengorbitkan Nike menjadi seorang penyanyi. Namun ia ingin melihat kapasitas Nike lebih jauh sebagai seorang penyanyi, walaupun masih tergolong anak-anak. Judi pun merekrut Nike untuk ikut tampil di tur ke sejumlah kota di Jawa Timur bernama
Surya Pop Star pada Agustus 1988.
Judi membawa Nike yang ditemani ayahnya ke sejumlah kota, bernyanyi di atas panggung, di depan orang banyak, dan bersama sejumlah penyanyi dan seniman yang sudah tenar sebelumnya seperti Benyamin Sueb, Miing 'Bagito', dan Meriam Bellina.
Meski baru berusia 12 tahun, Nike sudah biasa tampil bernyanyi di atas panggung dan di depan orang banyak. Pengalaman itu terlatih dari Nike yang sering mengikuti dan memenangkan berbagai festival musik, sekaligus mempertemukan ia dengan Denny Sabri.
Usai berkeliling dalam tur Surya Pop Star tersebut, Judi semakin yakin membawa Nike masuk ke dapur rekaman. Kepalang juga sudah berjanji dengan Denny, maka Judi pun meminta Nike menyanyikan sejumlah lagu baru yang khusus dipilihkan untuk mojang itu. Karena masih belum menemukan genre yang cocok untuk Nike, maka semua lagu dari berbagai genre pun disodorkan.
Nike nyatanya melahap itu semua, dengan lancar, tanpa cela. Judi dan timnya pun keheranan melihat Nike yang secara alami memiliki rentang vokal luas dan fleksibel sehingga mampu membawakan berbagai jenis lagu dari berbagai genre pop kala itu.
"Belum ada kontrak waktu itu pas rekam album. Dua album itu sebenarnya, tapi
dijadiin satu saja. Itu lagu-lagu baru semua, dipilih untuk Nike," kata Judi.
[Gambas:Youtube]Total, ada 11 lagu yang dijajal oleh Nike dan dikumpulkan menjadi satu album bertajuk,
Hanya Satu Nama. Album itu lah album resmi debut Nike sebagai penyanyi di industri musik Indonesia di bawah nama Nike Astrina.
Nama Nike Astrina sendiri dipilih karena kala itu, penyanyi Niki Astria tengah tenar dan kehadiran Nike dianggap menjadi 'pesaing' sekaligus penerus sang Lady Rocker Indonesia.
"Proses rekaman lancar. Oh Nike tidak malu-malu sama sekali. Nike itu profesional sekali. Dia ingin sekali maju," kata Judi. "Kami sebenarnya [kala itu] lagi mencari apa warna yang cocok buat suara musiknya dia. Suaranya lentur, tapi masih ada suara anak-anaknya,"
Judi benar adanya. Album tersebut memiliki 11 lagu dengan rentang genre yang beragam, mulai dari balada, rock, hingga bossa nova. Nike membuktikan dirinya -di usia 12 tahun- memiliki kualitas vokal melebihi penyanyi seumuran.
Meski memiliki kualitas vokal yang kuat dan khas, ada sejumlah lagu yang masih mencerminkan suara remaja. Seperti di lagu
Tak Ingin Membencimu, Terpaku Dalam Khayal, dan
Suasana Cerita. Hal ini lah yang kemudian diakui Judi menjadi hambatan album itu batal rilis.
"Denny Sabri yang ngomong jangan
dikeluarin dulu, demi Nike [tunggu berkembang]. Ya silakan saja," kata Judi mengenang percakapannya dengan mendiang Denny yang meninggal pada 2003 silam.
"Album ini kalau mau dikeluarkan ya hak kita," kata Judi.
Kisah album tersebut tersimpan selama 25 tahun dan dirilis pada 2013 ada di halaman selanjutnya...
Judi kemudian memutuskan tak merilis album tersebut dengan alasan membiarkan Nike tumbuh berkembang. Namun yang terjadi, Nike justru rekaman di bawah label lain, yaitu Ariesta Records dan menghasilkan album
Seberkas Sinar (1989) yang digagas oleh Deddy Dores. Pada masa inilah, nama 'Astrina' berganti menjadi 'Ardilla'.
Namun, alasan pembatalan merilis album
Hanya Satu Nama ini sedikit berbeda dari pengakuan pihak keluarga. Raden Alan Yudi, kakak Nike Ardilla menyebut bahwa alasan utama pembatalan album itu karena suara anak-anak Nike tak cocok dengan lagu-lagu cinta yang dibawakan.
"Iya, itu [anggapan tak cocok] betul," kata Alan kala berbincang dengan
CNNIndonesia.com, dalam kesempatan terpisah, baru-baru ini.
Akan tetapi, anggapan usia anak-anak tak cocok dengan lagu cinta itu sedikit janggal mengingat album
Seberkas Sinar yang digarap Deddy Dores dirilis ketika Nike berusia 14 tahun, lalu album
Bintang Kehidupan (1990) di bawah label Blackboard dirilis saat Nike berusia 15 tahun. Baru pada album
Matahariku (1992), Nike sudah berusia 17 tahun.
Tersimpan 25 TahunApapun alasan yang melatarbelakangi album tersebut batal rilis, rekaman suara Nike Ardilla saat masih berusia 12 tahun itu tersimpan di arsip JK Records hingga 25 tahun kemudian. Pada 2013, putra Judi, Leonard Kristianto menemukan album itu.
Leonard pun bukan tanpa sengaja mengobrak-abrik arsip perusahaan ayahnya untuk menemukan album itu. Ia 'terpaksa' mencarinya setelah seorang penggemar Nike di media sosial menyebut soal album itu dan meminta kepada Leonard untuk dirilis. Ia sendiri tidak mengetahui keberadaan album itu karena Judi tak pernah mengisahkannya.
Leonard kemudian meminta kepada penggemar tersebut untuk mengumpulkan dukungan atas album itu. Bila mencapai angka 1.000 dukungan, ia akan mencari master album. Tak sampai sepekan, terkumpul 1.100 dukungan dari fan. Maka, Leonard pun mulai menemukan pencarian dengan bertanya kepada ayahnya terlebih dahulu.
"Saya tanya ke Papa saya, dia bilang ada. Saya tanya di mana, dia bilang di ruang master. Ya saya cari sendiri. Sama sekali dia [Judi] tidak cerita," kata Leonard.
"Saat sudah ketemu, saya tanya [kepada fans] ini mau diapakan. Mereka minta dirilis. Wah saya mikir, ini laku atau tidak?," lanjutnya mengenang momen pada 2013 tersebut, kala album dan rekaman sudah beralih ke digital.
 Leonard Kristianto, produser JK Records, label pertama Nike Ardilla. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Setelah putar otak, Leonard memutuskan membuka pra-pesan untuk album tersebut, dengan syarat ia baru akan merilis dalam bentuk kepingan cakram padat atau CD bila dipesan minimal 1.000 unit. Nyatanya, terkumpul 1.700 pesanan CD tersebut. Maka, kembali ia pun 'terpaksa' untuk merilis album itu secara resmi.
Permintaan ternyata membeludak. Leonard terus mendapatkan permintaan dari para agen toko musik. Namun ia kukuh tak ingin mencetak ulang bila kurang dari 1.000 keping. Lagi-lagi, permintaan bertumpuk hingga 1.200 pesanan dan membuatnya mencetak ulang. Total, setidaknya sudah 2.900 keping CD album 'Hanya Satu Nama' yang sudah beredar, pada 2013.
"Kalau untuk sekarang, bisa menjual 1.000-2.000 keping itu sudah bangus banget," kata Leonard yang juga menampilkan single 'Hanya Satu Nama' di YouTube.
Kini, sejumlah fisik album tersebut masih tersisa di sebuah rak di sudut kantor JK Records, Jakarta. Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, album itu juga dijual di sejumlah laman penjualan daring dengan harga kisaran Rp50 ribu per keping.
Leonard mengakui mungkin album debut Nike Ardilla tersebut hanya akan menjadi arsip dan sejarah bila penggemar mojang Bandung itu tak 'mencolek' dirinya.
"Kalau saya tidak diminta ya saya tidak akan rilis. Saya tidak kepikiran. Saya juga tidak tahu ada album itu. Kalau pun tahu, kalau mau dirilis bagaimana caranya? Nike juga sudah meninggal," kata Leonard.