Jakarta, CNN Indonesia -- Film
Ave Maryam akhirnya tayang di bioskop Indonesia setelah berlaga di sejumlah festival film internasional. Gaung film garapan sutradara Ertanto Robby ini sebenarnya sudah terdengar sejak November silam dan cukup ramai jadi perbincangan. Apalagi kalau bukan perkara film tentang agama.
Ave Maryam memang bercerita tentang kehidupan para biarawati Katolik di biara di Semarang. Tak dimungkiri kalau film yang berbau agama memang sedikit sensitif di Indonesia.
Selain soal itu, komentar miring soal agama di film ini makin santer dengan kehadiran bintang utama
Maudy Koesnaedi yang berperan sebagai bintang utamanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu karena agama yang dipeluk Maudy Koesnaedi bertolakbelakang dengan peran yang ia mainkan, yakni sebagai seorang suster (biarawati) bernama Maryam.
Namun, Robby sang sutradara dan para pemainnya telah menyatakan bahwa semua ini hanya demi kebutuhan film semata. Film diproduksi sebatas karya dan demi memberikan keragaman pada industri film Indonesia.
Terlepas dari isu yang jadi perdebatan tersebut, film ini sendiri sebenarnya memberikan warna baru di dunia film. Cerita ini berlatar belakang dengan cerita yang jarang atau bahkan belum pernah diangkat di Indonesia yang memadukan cinta terlarang dengan agama.
Cinta terlarang ini makin pelik karena terjadi di antara dua sosok terhormat di agama Katolik, cinta antara seorang suster dan pastor (romo). Keduanya memang tak boleh jatuh cinta ataupun saling mencinta.
Di agama Katolik, suster dan pastor adalah sosok pengucap kaul kekal dan berjanji untuk hidup selibat (tidak menikah) di hadapan Tuhan Yesus. Oleh karenanya, cerita cinta yang terjadi di antara keduanya adalah hal terlarang.
 'Ave Maryam' mengangkat isu percintaan dengan sentuhan yang belum pernah ada sebelumnya. (Screenshot via YouTube/@ Ave Maryam Movie) |
Cinta dan pergulatan batin
Garis besar cerita film ini sebenarnya cukup umum dan sederhana.
Namun yang menarik, ini menggali tentang cinta dan pergulatan batin seorang manusia lewat hidup karakter Maryam, seorang biarawati yang mengabdikan sebagian besar waktunya untuk mengurus para biarawati sepuh di susteran.
Latar cerita yang digunakan yakni kota Semarang pada tahun 1998. Dengan alur lambat, kisah Maryam dibuka lewat gambaran rutinitas tokoh tersebut kala melayani para suster sepuh. Memandikan, menggantikan baju, menyiapkan makanan, membersihkan asrama hingga memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan.
Sampai pada suatu ketika, Maryam dipertemukan dengan Romo Yosef (
Chicco Jerikho), sosok yang kemudian membuat dia jatuh hati dan terpaksa menentukan pilihan besar dalam hidup. Berpegang pada janji, atau mengejar sesuatu yang menjadi kebahagiaan dirinya.
Suguhan cerita sederhana tapi mendalam itu dibalut dengan dengan hangat dan indahnya sinematografi kota Semarang. Penonton benar-benar dimanjakan dengan tangkapan mata sinematografer pemenang Piala Citra Ical Tanjung.
Sayangnya, pergulatan emosi yang dihadapi karakter Maryam agaknya kurang tereksplorasi secara maksimal. Bagaimana ia menanggung beban antara memenuhi janji yang dipegang seorang suster dengan keinginannya sendiri. Kemudian, latar belakang kehidupannya yang mungkin bisa jadi pendukung untuk pergulatan hati dia pun kurang tergali.
Padahal narasi ceritanya sudah cukup menarik, membawa pesan tentang keinginan seorang manusia menemukan kebahagiaan tetapi kemudian berbenturan dengan prinsip serta keyakinan yang dijalaninya.
Pesan moral pun diberikan tanpa adanya nada menceramahi atau menggurui.
Dan satu yang cukup berkesan dalam film ini juga hadir lewat pemeran pendukung Suster Monik, dimainkan Tutie Kirana. Itu tergambar dalam sebuah dialog saat ia mengetahui apa yang terjadi pada Maryam. Bukan memberi nasehat atau menyalahkan, ia memilih untuk menyerahkan itu sebagai pilihan dan tanggung jawab Maryam sendiri. Dan dialog tersebut rasanya relevan dengan situasi saat ini.
"Jika surga saja belum pasti untukku, buat apa nerakamu menjadi urusanku," katanya.
Secara keseluruhan,
Ave Maryam setidaknya cukup sukses memberikan suguhan warna baru bagi perfilman Indonesia.
Hanya saja, butuh pemahaman yang cukup mendalam untuk bisa menikmati cerita ini. Film
Ave Maryam tak secara gamblang dan ringan menggambarkan pesan moral atau inti cerita yang ada di dalamnya. Ada kebebasan persepsi antara setiap orang untuk bisa menikmati ceritanya.
Hal ini terlihat ketika di akhir film, suster Maryam pergi membawa kopernya. Tak diceritakan apa yang terjadi padanya dan apa keputusan akhirnya. Robby seolah ingin membuat penonton memberikan kisah akhir tersendiri untuk Maryam.
[Gambas:Video CNN] (agn/chs)