Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak berusia 7 tahun, Sofyan Marta sudah berkeliling Jakarta bersama
orkes Tanjidor Nya'at. Kala itu, di era 1980-an, penamaan orkes
tanjidor selalu sesuai nama pemilik atau pemimpinnya. Nya'at adalah kakek Sofyan.
Sofyan menjelaskan kebanyakan pemain tanjidor belajar sejak usia dini, seperti dirinya. Proses dimulai dengan mendengarkan dan menonton penampilan orkes tanjidor. Kemudian tahap berikutnya adalah mempelajari ketukan menggunakan alat yang disebut panil.
"Dulu ada alat namanya panil, potongan besi yang terbuat dari per ayun mobil. Panjangnya sekitar 10-20cm, dipukul pakai batang besi yang bunyinya 'ting ting ting'. Kalau sekarang namanya triangle," kata Sofyan saat ditemui
CNNIndonesia.com di Cijantung, Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila lulus memainkan panil, pelajaran berlanjut ke simbal atau biasa disebut kecrek. Pada prinsipnya panil dan simbal tidak jauh berbeda, keduanya berfungsi untuk mempelajari ketukan dan sama-sama masuk dalam instrumen perkusi.
Masih dalam perkusi, alat musik selanjutnya untuk dipahami adalah snare drum yang biasa disebut tambur dan bas drum yang biasa disebut beduk. Fungsinya untuk mempertajam kemampuan memahami ketukan dan kepekaan terhadap ketukan.
"Setelah itu semua lulus, lanjut belajar ke alat musik tiup. Nah yang paling susah ini alat musik tiup," kata Sofyan lagi.
Ia memaparkan alat musik tiup dalam tanjidor terbagi jadi dua bagian. Pertama adalah bagian melodi yang diisi trompet piston dan klarinet yang biasa disebut suling. Dua pemain alat musik ini harus saling mengisi saat tampil.
Kedua, bagian ritme yang diisi trombon, saksofon tenor, tuba yang biasa disebut bas duduk dan sousaphone yang biasa disebut bas selendang atau bas Atun. Sama seperti bagian melodi, empat pemain alat musik ini harus saling mengisi saat tampil.
 Trompet piston, salah satu instrumen orkes tanjidor. (CNN Indonesia/M Andika Putra) |
"Semua pemain musik tanjidor itu otodidak, tidak ada teori, hanya
feeling pendengaran saja. Suara ini ada di mana, tiupan di mana, karena itu bunyinya tidak presisi," kata Sofyan.
Menurutnya, sejak dulu tidak ada pemain tanjidor yang mempelajari tangga nada. Pun saat tampil, mereka tak pernah melihat partitur yang semestinya menjadi panduan karena tidak bisa membaca not balok.
Pemimpin orkes Tanjidor Pusaka Tiga Saudara, Ma'ah Piye, memberikan penjelasan serupa. Pria berusia 64 tahun ini mengingat ia belajar memainkan alat musik trompet hanya dengan melihat ayahnya. Tidak pernah mempelajari nada, not balok ataupun partitur.
"Dulu belajar pakai otak sama hati, cuma melihat cara pencet begini. Tapi Alhamdulillah ketemu do re mi la si do-nya. Untuk gede kecil tekan di sini, ini tiga (piston yang ada pada trompet) dimainkan," kata Ma'ah saat ditemui
CNNIndonesia.com.
Sofyan berpendapat bahwa proses belajar otodidak seadanya membuat suara alat musik yang dimainkan pemain tanjidor kerap terdengar fals sejak dulu. Sampai akhirnya orkes tanjidor sering dijuluki sebagai grup musik fals.
"Bila ada orang yang paham suara, pasti akan bilang 'kok tanjidor suaranya seperti ini sih?'. Selain belajar tidak pakai not balok, suara yang fals juga disebabkan peralatan yang sudah rusak," ujarnya.
Sebenarnya ada alasan lain mengapa orkes tanjidor menghasilkan suara yang sumbang, yaitu pemaksaan dua tangga nada yang berbeda.
Mengutip situs
Jakarta.go.id, tanjidor berisikan alat musik asal Eropa yang sedianya digunakan untuk memainkan lagu bertangga nada diatonik. Diatonik adalah tangga nada yang memiliki tujuh not dalam satu oktaf.
Sementara orkes tanjidor tak hanya memainkan lagu diatonik, namun juga pentatonik. Pentatonik merupakan istilah untuk tangga nada yang memiliki lima not dalam satu oktaf. Tangga nada pentatonik cenderung digunakan pada alat musik tradisional dan memiliki beberapa ragam.
Di Indonesia, dikenal dua macam nada pentatonik, yaitu slendro dan pelog. Nada slendro digunakan pada gamelan hanya di tanah Jawa, sementara pelog dipakai untuk gamelan di tanah Bali dan Jawa.
Terkadang pula, orkes tanjidor membawakan lagu-lagu bernada slendro dan pelog. Mreka memainkan lagu tersebut dengan alat musik bertangga nada diatonik, sehingga suara yang dihasilkan tidak selaras dan terasa dipaksakan.
"Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempurna lagi memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama kelamaan menerimanya pula," dikutip dari situs Jakarta.go.id.
(adp/rea)