Instrumen Usang Kunci 'Kemerduan' Orkes Tanjidor Betawi

CNN Indonesia
Sabtu, 22 Jun 2019 13:43 WIB
Orkes tanjidor Betawi sama sekali tidak berhubungan dengan musik jazz. Orkes tanjidor memiliki sejumlah keunikan tersendiri, misalnya penggunaan instrumen tua.
Beberapa instrumen tua yang dipakai orkes tanjidor Betawi. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kerap memainkan lagu-lagu mars, orkes tanjidor Betawi secara konsep terbilang mirip seperti drumben. Terdiri dari banyak orang, memainkan alat-alat musik dan kebanyakan berseragam. Namun pada kenyataannya, keduanya berbeda. Orkes tanjidor seolah memiliki karakter tersendiri. Atau lebih tepatnya, unik.

Keunikan itu terjadi bukan disengaja, lebih seperti dibentuk oleh alam. Para pemainnya menggunakan instrumen yang sudah berumur dan kerap terdengar fals. Mereka tak bisa membaca partitur, tangga nada atau not balok. Mereka juga begitu terbiasa dengan suara fals hingga malah canggung memainkan instrumen baru.

Memiliki instrumen tiup seperti saksofon dan trombon, masyarakat awam mudah memberikan cap jazz kepada orkes tanjidor. Hal ini ditanggapi dengan tawa oleh profesor musik Tjut Nyak Deviana dan budayawan Betawi Ridwan Saidi. Dalam kesempatan berbeda, keduanya sepakat pernyataan itu salah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ridwan menjelaskan, musik orkes tanjidor lebih ke arah marcia tempo. Tempo adalah istilah ukuran kecepatan dalam birama lagu yang biasanya diukur dalam ketukan per menit. Marcia merupakan salah satu jenis tempo yang berkarakter seperti baris-berbaris, yakni antara 83-85 bpm [beats per minute, atau ketukan per menit].


Deviana menegaskan, jazz dan orkes tanjidor tak saling berhubungan sekalipun memainkan instrumen tiup. Sebutan semacam itu, katanya, malah menyesatkan.

"Sama sekali tidak ada hubungan sama jazz. Alat tiupnya itu sebenarnya lebih ke marching band," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com seraya menambahkan, dari sisi harmonisasi dan bentuk komposisi lagu, orkes tanjidor pun jauh dari jazz.

Dalam situs Jakarta.go.id, dipaparkan bahwa bahwa orkes tanjidor berisikan alat musik bertangga nada diatonik, namun mereka juga memainkan lagu bertangga nada pentatonik. Tangga nada pentatonik adalah skala dalam musik dengan lima not per oktaf, sementara skala diatonik memiliki tujuh not berbeda dalam satu oktaf.

Deviana tidak menilai pernyataan itu salah, meski juga tidak tepat sasaran karena menggunakan istilah yang hanya dipahami oleh musisi yang pernah mengecap pendidikan formal. Akibatnya, masyarakat awam sukar memahami.

Instrumen Usang Kunci 'Kemerduan' Orkes Tanjidor BetawiTjut Nyak Deviana. (CNN Indonesia/M Andika Putra)

"Maksudnya begini kalau nada pentatonik dan diatonik... Karena berkembangnya di Betawi, kayak lagu Ondel-ondel, itu [skala] pentatonik tapi sudah gabung dengan diatonik. Jadi kita bisa bilang, nada dari Ondel-ondel itu bisa jadi contoh gaya [musik] tanjidor dari sisi melodinya," kata Deviana.

Ia sempat melontarkan kritik terkait istilah buta nada yang kerap disematkan pada pemain tanjidor. Konotasi kata 'buta' sendiri, ujar Deviana, cenderung kasar sehingga lebih tepat dikatakan mereka tidak bisa membaca not balok. Terlebih, para pemain tanjidor mempelajari musik lewat pendengaran.

Deviana mengingatkan kondisi kelahiran orkes tanjidor yang diperkenalkan oleh bangsa luar membuat para pemusiknya tidak memiliki banyak pilihan selain belajar secara otodidak. Sekalipun mayoritas musisi Indonesia mempelajari musik dengan cara yang sama, pemusik tanjidor era lama harus melakukannya menggunakan instrumen yang sudah usang. Cara ini pun terus berlanjut ke generasi berikut.

Tidak jarang pula instrumen tersebut dirakit ulang untuk perbaikan, sehingga bunyi yang keluar jadi berbeda. Pernyataan tersebut diiyakan oleh Sofyan Marta, koordinator Sanggar Putra Mayang Sari Cijantung. Para pemain tanjidor mempelajari instrumen tanpa teori, serta hanya mengandalkan rasa dan pendengaran.


"Bila ada orang yang paham suara, pasti akan bilang 'kok tanjidor suaranya seperti ini sih?'. Selain belajar tidak pakai not balok, suara yang fals juga disebabkan peralatan yang sudah rusak," ujar Sofyan.

Mengubah Warna Musik

Ridwan Saidi berpendapat penggunaan alat musik baru justru akan mengubah warna musik orkes tanjidor. Ia yang mengaku amat gemar menonton orkes kala kecil merasa ada yang salah bila instrumen yang dipakai belum usang.

"Kalau sekarang sih alat-alat baru, kalau di telinga saya sudah enggak pas dengar tanjidor sekarang, jadi alat-alatnya mesti pas," ujarnya.

Ridwan menuturkan beberapa tahun silam pernah terkejut mendengar sebuah kelompok orkes tanjidor di kawasan Tangerang memainkan salah satu lagu Latin di pinggir jalan. Para pemain orkes tersebut sudah lansia, namun masih memainkan lagu dengan benar. Mereka juga mengatakan pada Ridwan, zaman dulu banyak perkebunan di Tangerang.

"Jadi pemusik ini sudah terbiasa menggunakan alat-alat lama ini. Alat-alat ini sudah fals, tetapi ketika suruh bermain dengan alat baru enggak bisa. Karena sudah terbiasa mendengar suara-suara dari alat tiup [yang fals] itu," kata Ridwan. (rea)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER