Jakarta, CNN Indonesia -- Raut wajah
Didi Kempot berubah-ubah saat membahas kenangan dirinya memulai karier di dunia musik Indonesia, 30-an tahun lalu. Kadang tertawa, kadang pula mengernyit bila memori pahit itu muncul.
"Saya mengamen mulai 1984, masih remaja usia 18 tahun. Belajar gitar otodidak, gitar itu saya dapat dengan nekat, menjual sepeda pemberian ayah saya untuk dibelikan gitar," kata Didi saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com di Solo, beberapa waktu lalu.
Asap rokok masih membumbung menemani perbincangan kami dengan Didi. Tak ada air minum, hanya rokok. Sebatang habis, sebatang pula Didi nyalakan. Rokok bak menggambarkan betapa keras perjuangan Didi hingga di titik ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjuangan Didi Kempot memang tak bisa dibilang seutuhnya menyenangkan. Mulai mengamen sejak 1984, hanya bermodal gitar dan keyakinan, Didi memantapkan hati menjalani karier dari bermusik. Baginya, selama ada gitar, ia tak akan kelaparan. Gitar adalah sahabatnya mencari uang.
Modal keyakinan dan kerja keras itu pula yang menggerakkan kakinya ke Jakarta untuk mengadu nasib, sebagai pengamen. "Bawa baju seadanya, di jalanan itu enggak ganti baju tiga sampai empat hari enggak masalah," kata Didi dengan mata yang perlahan sayu.
Di ibu kota, Didi bersama delapan temannya tidur dalam indekos sempit seharga Rp15 ribu per bulan. Mereka kadang hanya bisa tidur miring, yang penting bisa berteduh dan tak kehujanan juga kepanasan.
Jakarta pula jadi lokasi nama "Kempot" yang merupakan akronim dari Kelompok Penyanyi Trotoar lahir. Namun Didi tak bisa mendapatkan untung. Setiap dapat uang, setiap itu pula habis untuk mabuk.
Namun dari momen itu, banyak lagu ia hasilkan. Sayang, musisi 52 tahun ini hanya mengingat sedikit lagu yang ditulis saat mengamen, antara lain
We Cen Yu, Cidro, Moblong-Moblong, Lerteler Meneh dan
Podo Pintere. Perjuangan Didi Kempot meraih mimpi memang tak bisa dibilang seutuhnya menyenangkan. (ANTARA FOTO/Siswowidodo) |
"Lagu-lagu itu dulu
booming di dunia mengamen, tapi belum ada rekamannya. Orang-orang di bis pasti bertanya ini lagu siapa. Dari situ saya punya keyakinan," kata pria kelahiran 1966 ini, membiarkan rokok tetap menyala di antara sela jarinya.
Usai mengamen, Didi Kempot menyebut biasanya menyediakan waktu untuk merekam lagu menggunakan kaset kosong dan tape recorder. Didi tak khawatir disontek, mereka semua saling menghargai karya satu sama lain.
Ketika satu lagu sudah direkam, Didi kemudian menyerahkannya langsung ke berbagai studio rekaman sebagai demo. Seringkali, rekaman itu hanya berakhir di meja satpam. Sejumlah label yang pernah dilamar Didi adalah MSC Plus dan Musica Studios.
Rezeki memang tak ke mana. Musica Studios memanggil Didi karena tertarik dengan demo yang ia berikan. Didi kemudian dibantu oleh Pompi Suradimansyah, anggota band No Koes, dalam mengaransemen musik.
"Saya memiliki keyakinan ketika itu, karena saya berpikir saya ini dari jalanan tapi Musica mau merekam dan mengedarkan lagu. Dulu Musica itu gudangnya penyanyi top semua. Walau belum booming saya punya keyakinan," kata Didi.
[Gambas:Instagram]Perlahan tapi pasti lagu
We Cen Yu yang didapuk jadi single mulai dikenal masyarakat, terutama di Jakarta. Lagu yang bernuansa jenaka itu dipilih karena kala itu tren lagu galau tak laku.
Rezeki kembali datang. Didi ditawari oleh TVRI untuk membuat video klip dan tayang di televisi nasional satu-satunya kala itu. Didi senang bukan kepalang.
Kembali ke 2019, Didi tersenyum mengenang momen itu. Momen yang membuat dirinya teringat akan doa sang ibunda ketika menangis melepasnya pergi merantau ke ibu kota. Didi kala itu, pada 1987, meminta sang ibu untuk berdoa agar ia bisa membahagiakan orang tuanya.
Berhasil menghasilkan uang dari rekaman dan video musik, Didi bangga setengah mati. Ia pun memutuskan kembali ke Ngawi, ke rumah ibunya, dan menyampaikan kabar gembira itu.
"Ibu saya bangga, saya pernah bilang sama ibu kalau mau nangis nanti saja kalau saya pulang dan mimpi saya berhasil. Ya saat itu
ditangisin benar. terlebih saya muncul di TV, zaman dulu kan muncul di TV sudah luar biasa," kata Didi.
[Gambas:Youtube]"[Ibu saya cerita] Video itu lalu ditunggu satu kampung yang menonton pakai aki, dulu belum ada listrik. Saya jadi primadona kampung, di situ saja saya sudah senang. Dari situ karier saya mengalir berjalan." lanjut Didi.
Didi bukan hanya membawa kabar bahagia, tetapi juga uang Rp600 ribu hasil jerih payahnya bernyanyi. Sebagian ia berikan kepada sang ibu yang telah bercerai dengan ayahnya, sisanya dibelikan
krinjing untuk makam nenek yang pernah merawatnya.
Setelah itu, Didi Kempot kembali ke Jakarta. Kali ini, ia langsung ke studio Musica. Namun label legendaris itu tak langsung membuat album untuk Didi, melainkan single demi single. Salah satunya,
Cidro.
Ada pertaruhan besar ketika menggarap
Cidro. Pertama, lagu ini tak sesuai dengan selera pasar kala itu yang menyukai lagu jenaka. Apalagi untuk melawan single 'Kalau Bulan Bisa Ngomong' milik Doel Sumbang.
Kedua, genre campursari yang dibawa Didi belum populer di dekade '80-an. Industri musik kala itu hanya mengenal pop Jawa. Maka, Didi pun dilabeli pop Jawa oleh Musica.
Konser di Eropa dan AmerikaSekali lagi, rezeki memang tak ke mana.
Cidro tak laku di Indonesia, tapi hit di Belanda dan Suriname, dua negara yang memiliki diaspora asal Indonesia termasuk Jawa.
Pengalaman Didi Kempot tur di Belanda dan Suriname berlanjut di halaman selanjutnya...
Lagu
Cidro lah yang kemudian membawa
Didi Kempot masuk pesawat terbang dan konser di benua Eropa dan Amerika di dekade '80-an.
"Ada orang Suriname datang ke Indonesia pada akhir 1993, ia bertemu dengan mas Is Haryanto yang kemudian menjelaskan bahwa Didi Kempot adik dari Mamiek Prakoso yang main di Srimulat," kenang Didi, masih ditemani rokoknya.
"Mas Mamiek dihubungi lewat pager oleh Is kalau saya dicari orang Suriname," lanjutnya.
"Saya sama mas Mamiek diantar ke rumah mas Is. Enggak membayangkan penampilan dan terbang ke Eropa, kemudian ditanya '
opo kowe wani ke Belanda dan Suriname?' [Apa kamu berani ke Belanda dan Suriname] karena lagu
Cidro sukses di sana. Akhirnya tahun 1993 kita berangkat ke Belanda." kata Didi Kempot.
Ketika dirinya sampai di Belanda, Didi kaget banyak yang hafal
Cidro. Belum selesai dicerna oleh nalar, Didi harus menerima fakta bahwa ia konser di salah satu negara Eropa pada 1993 sedangkan ia belum pernah konser di Indonesia.
Momen 'go international' Didi belum selesai. Ia kembali ke Belanda pada 1996 sekaligus melanjutkan ke Suriname. Di negara Amerika Selatan itu, Didi lebih terkenal lagi mengingat banyak orang asli dan keturunan Jawa di sana.
Didi bahkan masih sempat menulis lagu bertajuk
Layang Kangen saat pulang ke Indonesia dari Suriname. Bersamaan dengan itu pula, ia ingin merilis album di Suriname meskipun belum pernah melakukannya di Indonesia.
Didi Kempot pun mewujudkan keinginannya itu. Dari 1996 hingga 1998, ia merilis 10 album yang hanya dirilis di Belanda dan Suriname.
 Didi Kempot (kedua dari kiri) dengan Presiden Suriname, Desi Bouterse (tengah). (Dok. Didi Kempot Official) |
Didi kini berusaha keras mengingat nama album-album itu. Sembari menundukkan kepala dan memejamkan mata, Didi hanya bisa menyebut
Layang Kangen, Trimo Ngalah dan
Suke Teki."Total saya manggung di Suriname sebanyak 11 kali dan Belanda 2 kali," kata Didi sembari bercanda sudah menikmati tiga kali ganti presiden Suriname.
"Beberapa bulan lalu, saya baru balik dari Suriname, setelah tampil saya kasih batik bergambar Didi Kempot ke Presiden Desi Bouterse, dia senang banget," kata Didi merujuk presiden ke-8 Suriname yang dilantik sejak 12 Agustus 2010 itu.
Ada 50 Album, 700 LaguDidi Kempot baru mengicip kesuksesan di tanah kelahiran sendiri ketika berhasil merilis
Stasiun Balapan pada 1999 dan meledak di pasaran. Hal ini membuatnya jadi musisi kenamaan di Indonesia.
Media cetak dan elektronik yang sebelumnya tak acuh pun mulai meliput Didi. Ia mondar-mandir ke berbagai stasiun televisi untuk promo album.
Kesuksesan album
Stasiun Balapan mengantarkan Didi untuk rekaman album kedua bertajuk
Modal Dengkul.
Setelah itu Didi Rutin merilis album bertajuk
Tanjung Mas Ninggal Janji, Seketan Ewu, Plong (2000),
Ketaman Asmoro (2001),
Poko'e Melu (2002),
Cucak Rowo (2003),
Jambu Alas bersama Nunung Alvi (2004) dan
Ono Opo (2005).
"Itu yang album yang diketahui orang, sebenarnya masih banyak lagi album saya. Kurang lebih ada sekitar 50-60 album. Kalau total lagu ada 700-800. Sekarang sedang diopeni (diarsipkan) sama teman-teman," kata Didi.
 Didi Kempot baru mengicip kesuksesan di tanah kelahiran sendiri ketika berhasil merilis Stasiun Balapan pada 1999 dan meledak di pasaran. (dok. Didi Kempot Official) |
Pengarsipan karya menjadi sangat penting bagi musisi karena berkaitan royalti. Masalah royalti diatur melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Setiap pencipta memiliki hak ekonomi yang berarti hak mendapatkan manfaat ekonomi dari karyanya.
Namun untuk mendapat manfaat ekonomi dari karya, seorang musisi harus terdaftar dalam Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Didi menjelaskan ia sudah terdaftar dalam LMK Karya Cipta Indonesia (KCI). Ia lupa sejak kapan, namun ia memastikan sudah terdaftar sejak dulu.
Didi tidak mempermasalahkan hak ekonomi dari KCI karena masih mendapatkan pemasukan dari lahan bernyanyi di atas panggung.
Namun ia mempermasalahkan musisi yang seenaknya mengambil lagu dan mengaransemen tanpa izin. Bahkan ada yang tidak mencantumkan nama Didi Kempot sebagai pencipta.
"Ada juga produser yang resmi bayar ke saya, ada. Tapi sebatas bayar lagu saja, enggak ada saya kecipratan dapet berapa. Awalnya ngomong akan bayar selanjutnya, tapi enggak ada. Mereka cuma bayar hak cipta saja," kata Didi, serius.
"Kita punya tata karma, mau pakai lagu ya ngomong. Kadang enggak, nyelonong dinaikin tanpa ada nama Didi Kempot lagi. Kacau lagi. Kadang kita baru rilis di YouTube, sudah dihajar orang." keluh Didi, mematikan rokoknya yang sudah hampir habis.
[Gambas:Youtube]