Didi Kempot: Terlunta di Trotoar Ibu Kota, Dipuja di Belanda

CNN Indonesia
Sabtu, 27 Jul 2019 11:10 WIB
Didi Kempot memiliki capaian di luar kebiasaan. Ketika namanya belum berkibar lepas di Indonesia, ia sudah memiliki fans di Suriname dan Belanda.
Didi Kempot memiliki capaian di luar kebiasaan. Ketika namanya belum berkibar lepas di Indonesia, ia sudah memiliki fans di Suriname dan Belanda. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Jakarta, CNN Indonesia -- Raut wajah Didi Kempot berubah-ubah saat membahas kenangan dirinya memulai karier di dunia musik Indonesia, 30-an tahun lalu. Kadang tertawa, kadang pula mengernyit bila memori pahit itu muncul.

"Saya mengamen mulai 1984, masih remaja usia 18 tahun. Belajar gitar otodidak, gitar itu saya dapat dengan nekat, menjual sepeda pemberian ayah saya untuk dibelikan gitar," kata Didi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di Solo, beberapa waktu lalu.

Asap rokok masih membumbung menemani perbincangan kami dengan Didi. Tak ada air minum, hanya rokok. Sebatang habis, sebatang pula Didi nyalakan. Rokok bak menggambarkan betapa keras perjuangan Didi hingga di titik ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjuangan Didi Kempot memang tak bisa dibilang seutuhnya menyenangkan. Mulai mengamen sejak 1984, hanya bermodal gitar dan keyakinan, Didi memantapkan hati menjalani karier dari bermusik. Baginya, selama ada gitar, ia tak akan kelaparan. Gitar adalah sahabatnya mencari uang.

Modal keyakinan dan kerja keras itu pula yang menggerakkan kakinya ke Jakarta untuk mengadu nasib, sebagai pengamen. "Bawa baju seadanya, di jalanan itu enggak ganti baju tiga sampai empat hari enggak masalah," kata Didi dengan mata yang perlahan sayu.

Di ibu kota, Didi bersama delapan temannya tidur dalam indekos sempit seharga Rp15 ribu per bulan. Mereka kadang hanya bisa tidur miring, yang penting bisa berteduh dan tak kehujanan juga kepanasan.

Jakarta pula jadi lokasi nama "Kempot" yang merupakan akronim dari Kelompok Penyanyi Trotoar lahir. Namun Didi tak bisa mendapatkan untung. Setiap dapat uang, setiap itu pula habis untuk mabuk.

Namun dari momen itu, banyak lagu ia hasilkan. Sayang, musisi 52 tahun ini hanya mengingat sedikit lagu yang ditulis saat mengamen, antara lain We Cen Yu, Cidro, Moblong-Moblong, Lerteler Meneh dan Podo Pintere.
Didi Kempot, dari Trotoar Slipi Sampai Panggung BelandaPerjuangan Didi Kempot meraih mimpi memang tak bisa dibilang seutuhnya menyenangkan. (ANTARA FOTO/Siswowidodo)
"Lagu-lagu itu dulu booming di dunia mengamen, tapi belum ada rekamannya. Orang-orang di bis pasti bertanya ini lagu siapa. Dari situ saya punya keyakinan," kata pria kelahiran 1966 ini, membiarkan rokok tetap menyala di antara sela jarinya.

Usai mengamen, Didi Kempot menyebut biasanya menyediakan waktu untuk merekam lagu menggunakan kaset kosong dan tape recorder. Didi tak khawatir disontek, mereka semua saling menghargai karya satu sama lain.

Ketika satu lagu sudah direkam, Didi kemudian menyerahkannya langsung ke berbagai studio rekaman sebagai demo. Seringkali, rekaman itu hanya berakhir di meja satpam. Sejumlah label yang pernah dilamar Didi adalah MSC Plus dan Musica Studios.

Rezeki memang tak ke mana. Musica Studios memanggil Didi karena tertarik dengan demo yang ia berikan. Didi kemudian dibantu oleh Pompi Suradimansyah, anggota band No Koes, dalam mengaransemen musik.

"Saya memiliki keyakinan ketika itu, karena saya berpikir saya ini dari jalanan tapi Musica mau merekam dan mengedarkan lagu. Dulu Musica itu gudangnya penyanyi top semua. Walau belum booming saya punya keyakinan," kata Didi.

[Gambas:Instagram]

Perlahan tapi pasti lagu We Cen Yu yang didapuk jadi single mulai dikenal masyarakat, terutama di Jakarta. Lagu yang bernuansa jenaka itu dipilih karena kala itu tren lagu galau tak laku.

Rezeki kembali datang. Didi ditawari oleh TVRI untuk membuat video klip dan tayang di televisi nasional satu-satunya kala itu. Didi senang bukan kepalang.

Kembali ke 2019, Didi tersenyum mengenang momen itu. Momen yang membuat dirinya teringat akan doa sang ibunda ketika menangis melepasnya pergi merantau ke ibu kota. Didi kala itu, pada 1987, meminta sang ibu untuk berdoa agar ia bisa membahagiakan orang tuanya.

Berhasil menghasilkan uang dari rekaman dan video musik, Didi bangga setengah mati. Ia pun memutuskan kembali ke Ngawi, ke rumah ibunya, dan menyampaikan kabar gembira itu.

"Ibu saya bangga, saya pernah bilang sama ibu kalau mau nangis nanti saja kalau saya pulang dan mimpi saya berhasil. Ya saat itu ditangisin benar. terlebih saya muncul di TV, zaman dulu kan muncul di TV sudah luar biasa," kata Didi.

[Gambas:Youtube]

"[Ibu saya cerita] Video itu lalu ditunggu satu kampung yang menonton pakai aki, dulu belum ada listrik. Saya jadi primadona kampung, di situ saja saya sudah senang. Dari situ karier saya mengalir berjalan." lanjut Didi.

Didi bukan hanya membawa kabar bahagia, tetapi juga uang Rp600 ribu hasil jerih payahnya bernyanyi. Sebagian ia berikan kepada sang ibu yang telah bercerai dengan ayahnya, sisanya dibelikan krinjing untuk makam nenek yang pernah merawatnya.

Setelah itu, Didi Kempot kembali ke Jakarta. Kali ini, ia langsung ke studio Musica. Namun label legendaris itu tak langsung membuat album untuk Didi, melainkan single demi single. Salah satunya, Cidro.

Ada pertaruhan besar ketika menggarap Cidro. Pertama, lagu ini tak sesuai dengan selera pasar kala itu yang menyukai lagu jenaka. Apalagi untuk melawan single 'Kalau Bulan Bisa Ngomong' milik Doel Sumbang.

Kedua, genre campursari yang dibawa Didi belum populer di dekade '80-an. Industri musik kala itu hanya mengenal pop Jawa. Maka, Didi pun dilabeli pop Jawa oleh Musica.

Konser di Eropa dan Amerika

Sekali lagi, rezeki memang tak ke mana. Cidro tak laku di Indonesia, tapi hit di Belanda dan Suriname, dua negara yang memiliki diaspora asal Indonesia termasuk Jawa.

Pengalaman Didi Kempot tur di Belanda dan Suriname berlanjut di halaman selanjutnya...

Konser di Eropa dan Amerika

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER