Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa yang tak kenal sastrawan terbaik Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer? Lewat karyanya yang fenomenal yakni
Tetralogi Pulau Buru, ia menghasilkan empat novel yang membahas roman sejarah Indonesia pra kemerdekaan, salah satunya Bumi Manusia yang kini diadaptasi menjadi film oleh sutradara Hanung Bramantyo.
Selama 81 tahun Pram hidup, ia telah menghasilkan banyak sekali karya sastra. Sudah terdapat 50 karya sastra berupa novel dan terbit dalam 41 bahasa di dunia. Selain itu, novel-novel Pram menjadi bahan ajar wajib beberapa sekolah dan universitas luar negeri.
Karya-karya Pram didasari atas persoalan-persoalan yang terjadi pada masa pra kemerdekaan, terutama penindasan dan perbudakan kepada pribumi. Walaupun sempat ditahan di Pulau Buru, Pram tidak menghentikan kegiatan menulisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini juga mendapat dukungan dari teman-temannya semasa dalam pembuangan di Pulau Buru. Melalui tulisan, Pram menunjukkan perlawanannya terhadap pemerintah kolonial. Tulisan Pram juga telah banyak diulas di
website review buku,
Goodreads. Berikut karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang paling legendaris.
Bumi Manusia
Jilid pertama dari
Tetralogi Pulau Buru adalah
Bumi Manusia. Buku yang berlatar awal abad ke-19 dan abad ke-20 ini menceritakan seorang pemuda Jawa keturunan ningrat bernama Minke.
Minke bukanlah nama yang sebenarnya, tapi berasal dari kata
monkey (monyet) yang digunakan untuk panggilan si tokoh utama yang diberikan oleh gurunya. Tokoh Minke merupakan anak seorang bupati yang bersekolah di Hogere Burger School (H.B.S) Surabaya. Konon Surabaya memiliki anggapan bahwa kegiatan menulis menjadi suatu hal yang penting.
Minke dikenal sebagai putra pribumi yang cerdas dan pandai menulis, yang kemudian karyanya dipublikasikan di koran.
Bumi Manusia menggambarkan karakter Minke sebagai pemuda yang revolusioner kerap menantang ketidakadilan terhadap bangsanya. Bumi Manusia juga menjadi roman pertama yang akan difilmkan di layar lebar Indonesia yang disutradarai Hanung Bramantyo.
Pram dalam tetralogi pertamanya, menggambarkan betapa terpuruknya kondisi pribumi dalam hegemoni kolonial. Adanya penindasan semena-mena, pergundikan, dan munculnya strata sosial menempatkan pribumi di kelas paling rendah. Kondisi seperti itu membuat Minke melakukan perlawanan dengan membuat tulisan-tulisan di surat kabar.
Gadis Pantai
Dalam novel ini, Pram menceritakan seorang perempuan berusia 14 tahun yang disebut Gadis Pantai 'GP'. Gadis Pantai berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Jawa Tengah, Kabupaten Rembang.
Novel ini mengisahkan tentang feodalisme dalam masyarakat Jawa yang dilakukan oleh golongan priyayi. Gadis Pantai ditokohkan sebagai gadis yang memiliki paras manis dengan warna kulit kuning langsat, tubuhnya mungil, serta bermata agak sipit.
Suatu hari, seorang utusan dari kota Jawa mendatangi Gadis Pantai dan berniat untuk menikahinya. Namanya Bendoro, seorang lelaki yang menyuruh utusannya untuk mewakilkan pernikahannya dengan Gadis Pantai hanya dengan sebuah keris. Setelah menjadi istri Bendoro, Gadis Pantai menyandang gelar Mas Nganten.
Mas Nganten merupakan sebutan untuk seorang perempuan yang menjadi budak seks para priyayi sebelum para priyayi itu menikah dengan orang yang sederajat dengannya. Namun, kisah Gadis Pantai berujung tragis karena ia diusir oleh Bendoro setelah melahirkan anak perempuannya.
Arus Balik
Arus Balik sebuah novel karya Pram yang menceritakan Nusantara di masa kejayaannya. Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1478 M) membuat Nusantara harus menghadapi kenyataan yang terbalik. Pada zaman Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di dunia.
Namun, arus berbalik, utara menguasai selatan dan menguasai kehidupan Nusantara dan menimbulkan perpecahan. Hingga pada akhirnya Indonesia dan sekitarnya harus menerima kenyataan sekian abad lamanya telah dijajah.
Jejak Langkah
Jejak Langkah adalah novel lanjutan dari
Tetralogi Pulau Buru setelah
Anak Semua Bangsa. Di buku ini diceritakan Minke melawan pemerintah kolonial dengan membentuk organisasi serta membangun pers. Itu digunakannya sebagai alat untuk memobilisasi massa agar terlibat melawan kolonial.
Pada 1901, Minke melanjutkan sekolahnya di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi. Siswa yang sekolah di sini akan dipekerjakan oleh gubermen (pemerintah kolonial Belanda). Semenjak sekolah, Minke tidak pernah berhenti untuk menulis. Tulisannya banyak yang berkaitan dan mengkritik pemerintah dan diterbitkan di koran.
(dib/fef)