Kertas Semen Bekas Tentara, Awal Karya 'Bumi Manusia' Pram

CNN Indonesia
Kamis, 15 Agu 2019 10:12 WIB
Dibatasi saat diasingkan di Pulau Buru tak membuat Pram kehabisan akal untuk terus hasilkan karya, ia pernah memakai kertas bekas semen tentara untuk menulis.
Pramoedya Ananta Toer. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sastrawan Indonesia yang mendunia salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Penulis novel Bumi Manusia yang telah diadaptasi ke layar lebar film Indonesia ini dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru.

Karya Pram dikenal berhasil menggambarkan persoalan yang terjadi pada masa pra kemerdekaan Indonesia. Pram memberi ilustrasi dengan nyata soal penindasan, perbudakan yang dilakukan oleh para penjajah kolonial kepada pribumi. Melalui tulisannya, Pram menunjukkan tindak perlawanannya terhadap pemerintah kolonial.

Selama 10 tahun Pram harus mendekam dan terasingkan bersama ribuan orang di Pulau Buru, Maluku, karena dianggap sebagai simpatisan dan tergabung dalam anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Pulau Buru, Pram menempati Unit III yang dibangun tentara untuk para tahanan politik (tapol) yang dituduh terlibat Gerakan 30 September PKI. Pram bersama kedua teman dekatnya yaitu Oey Hay Djoen dan Lucas Tumiso harus berada di unit yang diketahui sebagai unit terpencil.

Mereka bekerja sebagai kuli untuk pembangunan jalan penghubung antarunit. Namun, menurut penuturan Tumiso, Pram jarang bekerja fisik karena lebih banyak menulis naskah di barak.


Di awal-awal masa pengasingan, Pram tidak memiliki peralatan yang mendukung dalam kegiatannya. Ia tak memiliki kertas bahkan pulpen untuk menulis naskah. Tapi keadaan seperti itu tidak membuat Pram putus asa untuk terus menghasilkan karya.

"Pram menggunakan kertas semen bekas tentara membangun rumah komandan," kata Tumiso kepada CNNINdonesia.com, tahun 2015 silam.

Selain kertas semen bekas itu, Pram mendapat pulpen dari petugas rohaniawan Katolik yang secara berkala berkunjung ke Pulau Buru dengan tujuan untuk memberikan bimbingan. 

Lukas Tumiso (kanan) bertemu dengan sahabatnya Dasipin Mantan Tapol yang kini tinggal di sekitar Mako. Pulau Buru, Ambon. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Saat itu, dunia sudah mengetahui bahwa ada sastrawan yang ditahan pemerintah di Pulau Buru. Untuk menepis isu negatif, pemerintah memberikan mesin tik lengkap beserta kertas dan tinta pita sebagai dalih bahwa tak ada penahanan terhadap Pram.

Bagi Tumiso, pencitraan pemerintah itu masih saja disebut penahanan jika naskah yang dibuat oleh Pram tidak boleh disebarluaskan. Kertas yang diberikan juga sangat terbatas adanya.

Hal ini membuat Pram harus mengakali dengan cara membeli kertas dari luar Buru. Uang yang ia gunakan berasal dari hasil menjual kerajinan yang dibuatnya.


Berkat hasil penyelundupan Tumiso, naskah-naskah Pram berhasil dibawa keluar dari Pulau Buru. Tumiso juga adalah sosok yang berperan pada pembuatan naskah-naskah Pram.

Sebagai teman dekat Pram, Tumiso adalah mantan guru yang kerap memberikan pembelaan pada buruh tani di Surabaya. Tumiso mengaku paham betul soal agraria dan aksi kaum tani. Akhirnya, Pram bersama Tumiso dan Oey dibebaskan pada Desember 1979 dari Pulau Buru.

Namun, nasib tidak berujung manis. Mereka bertiga harus kembali ditahan selama sebulan di Magelang dan Semarang. Tanggal 30 April 2006, Pram meninggal dunia di usia 81 tahun. Sementara Oey Hay Djoen meninggal dua tahun sesudah kepergian Pram.


Sedangkan Tumiso, masih aktif mengurusi panti jompo yang dikelola oleh Ribka Tjiptaning Proletariati, anggota DPR yang juga anak seorang anggota PKI di daerah Kramat, Jakarta Pusat.

Pram dikenal dengan karya Tetralogi Pulau Buru dalam empat edisi bukunya yakni Bumi Manusia, Semua Anak Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Bumi Manusia sendiri menceritakan kehidupan Minke, pemuda pribumi Jawa saat zaman Hidia Belanda itu kini telah diadaptasi ke film layar lebar. Bumi Manusia bercerita soal kisah cinta Minke dengan putri campuran Belanda-Jawa, Annelies, buah pasangan Herman Mellema (Belanda) dan Sanikem alias Nyai Ontosoroh (Jawa).

Minke juga mengkritik soal kondisi pribumi yang saat itu tetap akan menjadi masyarakat kelas kedua meski terdidik. Selain empat edisi Tetralogi Pulau Buru, Pram juga menulis karya buku lainnya yang berjudul Mangir, Arus Balik, dan Arok Dedes. 

[Gambas:Video CNN] (dal)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER