Senja Kelam Srikandi-srikandi Srimulat

Muhammad Andika Putra | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Sep 2019 16:02 WIB
Pernah dikenal sebagai primadona dan pemain andalan, para srikandi Srimulat menikmati usia senja mereka jauh dari panggung yang dicinta.
Pernah dikenal sebagai primadona dan pemain andalan, para srikandi Srimulat menikmati usia senja mereka jauh dari panggung yang dicinta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rumah bertembok hijau pudar tampak teduh di tengah suatu kompleks perumahan di Surabaya Timur. Rumah itu tak besar dengan lebar berkisar lima meter. Berbagi tembok dengan tetangga di kiri dan kanan.

Tukang becak yang mengantarkan kami ke rumah itu tak mengendorkan genjotannya meski telah menempuh sekitar dua kilometer. Panas matahari cukup menyengat. Kami datang di tengah bulan Agustus, di puncak musim kemarau.

Setelah kami memanggil pemilik rumah, sang empunya pun datang. Seorang wanita berkerudung yang kini berusia lewat dari setengah abad. Ia ramah menyapa tim CNNIndonesia.com yang bertandang ke sana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maaf, rumah saya kecil dan sempit. Ini di ruang tamu enggak ada kursi. Lesehan enggak apa ya?" kata wanita yang bernama Hera Budiwati itu. Logatnya kental, khas Jawa Timur.

Hera adalah pemain Srimulat Surabaya yang masih bertahan sejak bergabung pertama kali pada 1977 silam. Ia pernah dididik langsung oleh Teguh Slamet Rahardjo, meski tak ikut dalam kloter ke Jakarta dan mereguk ketenaran.

Ditemani suara televisi yang dibuat sayup dan angin semilir dari kipas angin di rumah tamu, Hera memanggil ingatannya empat dekade silam, saat dirinya akan bergabung ke Srimulat.

Kala itu Aneka Ria Srimulat Surabaya sudah terkenal. Mereka sudah bermarkas dan memiliki gedung pertunjukan sendiri dengan kapasitas bangku ratusan tengah-tengah di Tamah Hiburan Rakyat (THR).

Srimulat pada era-era tersebut telah tampil reguler. Karena jadwalnya yang setiap hari, maka ada mes yang disiapkan untuk jadi tempat tidur para pemain.
Senja Kelam Srikandi SrimulatBudi 'Vera' Herawati memulai masuk Srimulat Surabaya pada 1977. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Hera yang pernah bergabung dengan rombongan sandiwara keliling bernama Lokaria, kemudian terseleksi masuk Srimulat. Demikian juga dengan suaminya.

Bergabung dengan Srimulat yang menonjolkan peran dan melawak tak jadi tantangan berarti bagi Hera. Ia terbiasa dengan itu di Lokaria. Namun yang jadi masalahnya hanya bahasa Jawa, mengingat ia asli dan berasal dari Bandung.

Hera ingat betul Teguh memahami keterbatasannya kala itu.

"Oh ya sudah enggak apa, enggak bisa bahasa Jawa, pakai bahasa Indonesia saja. Kalau enggak bisa pakai kain, pakai baju biasa saja yang seksi," kata Teguh kala itu kepada Hera.

Berusia 20 tahun dan asli mojang Sunda membuat Hera punya penampilan yang menarik. Hal ini pun disadari oleh Teguh sehingga memberikan Hera peran hostes yang centil nan menggoda.

Agar lebih trendi, Teguh memberi nama panggung "Vera" kepadanya.

"Pak Teguh bilang nama saya enggak usah pake Wati, kemudian Hera diganti Vera. Waktu itu lagi musim pemain bulu tangkis bernama Verawaty Fajrin," kata Vera.

Vera ingat Teguh kerap memberikan arahan agar bisa tampil apik di atas panggung. Selain karena pakaiannya yang 'menarik perhatian', Vera diminta tak perlu melawak melainkan cuma memberikan pancingan kepada lawan main agar bisa melawak.

Teguh bukan tidak percaya atas kemampuan Vera melawak. Namun menurut Teguh, karakter Vera sebagai wanita muda nan seksi, tak cocok untuk guyon berlebihan di atas panggung. Ia harus tetap 'apik'.

Namun umpan dari Vera bukan hanya dalam bentuk verbal, melainkan juga gestur. Seperti ketika ia 'jual mahal' saat digoda lawan mainnya yang lelaki. Karena tak ditanggapi, sang lawan main kerap menyeletuk meledeki Vera dengan kalimat mengundang tawa.
Senja Kelam Srikandi SrimulatSaat di Srimulat, Vera menjadi andalan untuk peran hostes. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Vera ingat ia paling klop saat tampil bersama Tessy atau Bambang Gentolet. Pernah suatu kali, Vera berperan sebagai wanita yang seksi dan aduhai, Tessy dan Bambang jadi pria yang berjuang untuk mendapatkannya dengan cara menggoda.

Memang, kadang candaannya bernuansa dewasa. Namun semuanya mengundang gelak tawa.

"Kalau aku jadi kembang, kamu jadi apa?" goda Tessy kepada Vera.

"Ya aku jadi madu dong" balas Vera, jual mahal.

"Lho kok enak kamu jadi madu?" balas Tessy.

"Kenapa enak?"

"Enak dong, nanti kalau kamu jadi madu kan aku nyedot kamu terus," goda Tessy yang disambut tawa penonton.

Senja Kelam Srikandi-srikandi Srimulat

Aksi Vera di atas panggung membuat Teguh tertarik lebih jauh. Ia menawarkan Vera ke Jakarta saat Srimulat mulai tampil di TVRI. Namun sang suami melarang.

Suami Vera melarang istrinya ke ibu kota karena tak ingin mereka menjalani hubungan jarak jauh. Apalagi kala itu Vera sudah punya satu anak. Vera hanya pernah mecicip mentas di Jakarta selama dua kali.

Vera juga pernah menjajal mentas di Srimulat Solo selama tiga bulan. Lalu kembali lagi ke Surabaya hingga kini. Terakhir kali, ia bermain April lalu dengan para pemain baru Srimulat Surabaya yang dipimpin oleh Eko 'Kucing'.
Aneka Ria Srimulat tetap tampil walau sudah koleps, kala itu mereka kerap mengundang pelawak lain dari luar untuk menarik penonton.Aneka Ria Srimulat tetap tampil walau sudah koleps, kala itu mereka kerap mengundang pelawak lain dari luar untuk menarik penonton. (Dok. Herry Gendut Janarto)


Uang Bukan Kebahagiaan


Tatapan Vera kadang menerawang, teringat kenangan bersama Srimulat puluhan tahun lalu. Namun kadang raut mukanya berubah tegas. Sesekali tangannya menyentuh dada. Ia menahan rindu.

Vera memang kini tak sering tampil. Sejak bergantung pada dana Pemerintah Kota Surabaya, Srimulat hanya bisa pentas setahun tiga kali dengan biaya hibah sebesar Rp13 juta per penampilan.

Biaya itu digunakan untuk produksi, sewa alat, konsumsi latihan, dan membayar belasan hingga puluhan pemain yang ikut mentas. Kasarnya, setiap pemain hanya mendapat Rp200 ribu setiap kali pentas. Itu pun empat bulan sekali.

Meski dipastikan tak akan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Vera tak mempermasalahkan ia tetap dibayar seadanya.

"Kami juga secara finansial enggak terlalu tergantung. Berapa sih? Wong empat bulan sekali.' Cuma, di satu sisi kami senang saja ketemu. Seniman tuh kan beda," kata Vera yang mengaku punya usaha warung makan di sebuah kampus di Surabaya.

Vera memang terbilang tak terlalu membutuhkan uang dari pertunjukan Srimulat. Ketika kami sedang berbincang, sesekali anaknya yang ia sebut lahir di mes Srimulat di THR lewat lantaran sibuk mengurusi pesanan katering acara rumahan.
Selain Teguh, Asmuni terkadang memberikan penuangan kepada pelawak sebelum tampil.Foto: Dok. Srimulat Jakarta
Selain Teguh, Asmuni terkadang memberikan penuangan kepada pelawak sebelum tampil.


Rasa rindu atas kehidupan panggung yang penuh canda dan kekeluargaan serta kekerabatan antar pemain Srimulat lah yang menjadi dahaga Vera di usia senja.

Vera kini telah meninggalkan peran hostes yang pernah memberikan dirinya pujian baik dari lawan main maupun dari penggemar. Ia lebih sering memerankan sosok ibu. Selain karena sudah berumur, ia juga sudah mengenakan hijab.

Vera masih berkomunikasi dengan sesama anggota Srimulat Surabaya yang lawas. Salah satunya adalah Miarsih, yang lebih senior dan dulu dikenal sebagai salah satu Srikandi Srimulat hebat di masanya.

"Jadi kalau di Srimulat seharusnya ada semacam pakem. Tidak seperti sekarang ini. Ada juga perempuan yang diperbolehkan melawak, salah satunya mba Miarsih, dia jago banget melawak," kata Vera.

[Gambas:Video CNN]


Sang Batur Wanita


Miarsih sedang duduk di dalam unit rusun miliknya ketika kami datang mengunjungi usai berbincang dengan Vera.

Dia kini tinggal di sebuah unit rumah susun di Keputih Surabaya yang berukuran kurang dari 25 meter persegi, termasuk di dalamnya kamar tidur dan kamar mandi.

"Monggo duduk saja tidak apa-apa. Itu tempat tidur saya," kata Miarsih merujuk pada sebuah sofa tua dengan panjang sekitar semeter di ruang tengah. Bantal-bantal yang kini telah kempis berjejer di atasnya.

Miarsih biasa menyambut tamu di sana. Pada suatu ruangan yang hanya bisa diisi maksimal tiga orang karena terdapat meja, dua bangku, kulkas, rak untuk jajanan anak-anak, dan televisi yang dipasang di tembok. Pintu kamar yang sengaja dibuka memberikan efek lebih luas.
Senja Kelam Srikandi SrimulatFoto: CNN Indonesia/Safir Makki
"Dulu saya buka warung, namun tak boleh jualan di rusun ini," kata Miarsih menunjuk rak berisi jajanan anak-anak yang menarik perhatian kami.

"Semua ini yang urus anak-anak saya," lanjutnya merujuk anak-anaknya yang hidup terpisah dengannya, sembari melihat sekeliling semua barang yang ada di ruangan itu.

Miarsih adalah batur wanita andalan Srimulat. Ketika peran batur yang bergengsi lebih sering diisi laki-laki, Miarsih sanggup bersaing. Ia juga terbilang senior di kalangan Srimulat

Miarsih masuk Aneka Ria Srimulat Surabaya pada 1972. Ia diajak bergabung oleh pamannya, Totok Hidayat, pelawak senior Srimulat. Sebelumnya ia tergabung dalam Ketoprak Wargo Utomo.

Mia masuk Srimulat di usia 18 tahun. Ia diseleksi sebagai Roro Mendut dan behasil lolos. Setelah itu Mia sering mendapat peran perempuan dewasa yang jahat atau istri galak. Intinya, peran antagonis.

Secara perlahan tapi pasti Mia belajar melawak seiring semakin sering mentas. Arahan dari Teguh juga selalu ia patuhi meski tak pernah diberikan materi lawak secara detail.

Miarsih yang kini sudah berusia lewat dari 60 tahun itu ingat betul Teguh hanya sekadar memberikan garis besar cerita dan cara untuk menanggapi pancingan lawan main.

"Jadi, kami harus tahu lawannya itu bagaimana. Seperti mas Tessy, kalau enggak tahu persis gimana karakter mas Tessy, enggak bisa. Kalau memang sudah tahu rahasianya, enak," kata Mia, sapaan akrab Miarsih.

Mia selalu profesional selama di atas panggung. Ia tak pernah segan satu adegan dengan Jujuk Juwariah yang merupakan istri Teguh. Bagi Mia, Jujuk adalah pemain di atas panggung. Saat turun panggung, barulah Jujuk adalah seorang bos.
Senja Kelam Srikandi SrimulatFoto: CNN Indonesia/Safir Makki
Kepintaran dan keprofesionalan Mia mengantarkan ia mendapat peran pembantu alias batur, peran paling susah karena harus bisa menghidupkan suasana saat pemeran utama kehabisan bahan melawak.

Selain itu, batur juga sering naik panggung pertama kali saat cerita dimulai. Bermonolog sebagai jembatan menuju cerita utama. Momen tersebut terbilang krusial karena berfungsi menarik penonton ke dalam cerita. Bila monolog gagal, pentas pun ambyar.

Mia menjelma jadi salah satu primadona dan srikandi Aneka Ria Srimulat Surabaya. Keberadannya sangat vital semenjak berhasil memerankan batur dengan baik. Tapi ia tetap rendah hati dan menerima kritikan bila penampilannya kurang baik.

"Pak Teguh pasti marah kalau main enggak benar. Dia ngomong 'Kekrek! Kok ora pada karo sing dituangke'. Saya juga enggak tahu kekrek itu apa, tapi itu ciri khas pak Teguh," kata Mia.

Selain jadi batur, Mia juga dikenal andal memerankan orang gila. Sebelum memerankan orang gila ia kerap datang ke rumah sakit jiwa untuk riset. Ia memperhatikan berbagai tindak-tanduk orang gila.

Akan tetapi, masa kejayaan Mia dan Aneka Srimulat berangsur-angsur menurun pada pertengahan dekade 1980-an. Kala itu Teguh sudah tidak sepenuhnya mengelola Srimulat.

Orang yang diberikan tugas menggantikan pun tak piawai. Sampai saat ini pun bisa dibilang Aneka Ria Srimulat Surabaya sedang 'sesak napas'.

Kondisi itu membuat Mia sulit mendapatkan uang. Karena selama hidupnya, ia bergantung pada Aneka Ria Srimulat. Selain untuk makan, ia juga harus mengeluarkan uang Rp7,5 juta pertahun sebagai biaya kontrak mes.

"Saya akhirnya meracang [jualan warung], rame dan enak. Setiap hari, sembari jualan, saya melihat keterpurukan Srimulat. Orang baru masuk gedung Srimulat, enggak lama langsung keluar," kata Mia.

Kini Mia hidup dalam keteduhan Rusunawa Keputih, dikelilingi anak-anak yang ramai bermain saat senja menjelang. Ia pun dikenal luas penghuni rusunawa subsidi Pemkot Surabaya itu sebagai pemain Srimulat yang melegenda.

Sempat nyaris meninggal karena penyakit diabetes, kini Mia hidup sehat meskipun tak sebugar dahulu. Sesekali pun ia masih berbincang dengan teman-teman di Srimulat Surabaya.

Namun yang terpenting, Mia tak penah lupa bagaimana caranya tertawa dan bahagia di hari senjanya.

Tulisan ini merupakan bagian dari Liputan Khusus CNN Indonesia. Ikuti selengkapnya di sini: Srimulat Tak Pernah Tamat.

(end/vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER