
Fantasi Tenar Mendadak di Balik Ajang Pencarian Bakat
CNN Indonesia | Minggu, 17/11/2019 15:36 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir dua dekade, ajang pencarian bakat menjadi salah satu acara televisi yang menarik minat penonton. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lainnya.
Konsistensi minat masyarakat terhadap ajang membuat idola secara instan ini terlihat dari acara yang berlangsung setiap tahun.
Di Indonesia, ajang pencarian bakat dengan segala jualan drama di dalamnya sudah dimulai dari awal milenium lalu, seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indonesia, hingga The X Factor.
Para kontestan yang terpilih, biasanya telah melalui proses audisi dan kemudian bersaing di atas panggung selama berminggu-minggu untuk memperebutkan posisi pertama.
Beberapa ajang juga melibatkan penonton sebagai penentu nasib dan kemenangan para kontestan di acara tersebut. Bentuk dukungan yang diberikan, umumnya lewat 'voting' atau pemungutan suara via SMS ataupun panggilan telepon.
Masyarakat, baik yang mengenal maupun tidak para kontestan, bersedia merogoh kocek untuk membeli pulsa dan sukarela mengirimkan dukungan asal jagoannya tidak tereliminasi.
Sosiolog Universitas Ewha Womans, Lee Joo-hee mengungkapkan bahwa kemampuan ajang pencarian bakat instan ini untuk bertahan menggambarkan cita-cita masyarakat yang berharap atas kompetisi yang adil.
"Pemirsa cenderung memiliki fantasi bahwa audisi seperti itu adil dan kemampuan seseorang akan diakui melalui kompetisi yang adil karena, pada kenyataannya, tidak begitu," kata Lee Joo-hee kepada Korean Herald.
"Mereka mendapatkan kesenangan, seolah mendapat perwakilan dari melihat orang biasa menjadi bintang," tambahnya.
Anggapan mendapatkan keterwakilan ini juga muncul dari psikolog sekaligus akademisi Universitas Atma Jaya, Vierra Adella. Ragam karakter kontestan yang muncul menarik minat penonton, terutama remaja, yang merasa memiliki 'wakil' di ajang tersebut.
"Ada sih kalau anak-anak muda saya lihat ada ketertarikan karena secara mental, secara kepribadian, ada selera pribadi dia yang masuk di idola itu," kata Vierra kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Karakternya ajang-ajang ini mengambil beberapa sosok yang mewakili [penonton]. Ada yang tipe pribadinya lebih, katakan lebih yang umum, entah cantik, suara bagus. Tapi ada juga yang nanti mewakili anak-anak anti-mainstream. Unik," lanjutnya.
Lee Joo-hee bahkan berpendapat lebih jauh, bahwa semakin maju kapitalisme suatu kawasan maka program audisi macam tersebut makin populer. Hal ini disebutnya karena masyarakat yang lebih kapitalistik akan terbuka dengan persaingan yang sehat.
"Ketika orang-orang muda melamar pekerjaan, mereka harus menghadapi 'audisi.' Format itu diterapkan pada program TV dan pemirsa terbiasa dengan format semacam itu," kata Lee Joo-hee.
Di sisi lain, Vierra juga berpendapat bahwa ajang pencarian bakat ini bertahan karena kebutuhan manusia atas pengakuan dan popularitas.
"Popularitas itu bisa dibilang sesuatu yang hari gini orang kejar. Kalau dibandingkan, kebutuhan manusia itu kan ada tingkatannya, ada prioritasnya," kata Vierra Adella.
"Nah kalau saat ini mencari popularitas dan kemudian dikenal, atau menampilkan keunggulan diri di depan orang itu sesuatu yang memang jadi prioritas buat orang sekarang," lanjutnya.
Pernyataan serupa turut disampaikan oleh Steven Reiss dan James Wiltz, akademisi psikologi Ohio State University dalam Psychology Today.
Lewat sebuah riset, mereka mengatakan bahwa ajang pencarian bakat memungkinkan orang berfantasi mendapatkan status sosial melalui ketenaran secara instan.
"Orang-orang biasa dapat menonton pertunjukan, melihat orang-orang seperti diri mereka sendiri dan membayangkan bahwa mereka juga bisa menjadi selebriti dengan tampil di televisi," demikian tertulis dalam risetnya.
Mereka menambahkan, "orang biasa bisa menjadi sangat penting sehingga jutaan orang akan menontonnya. Dan sensasi rahasia dari banyak pemirsa itu adalah pemikiran bahwa mungkin lain kali, para selebriti baru mungkin adalah mereka [sendiri]." (agn, kir/end)
Konsistensi minat masyarakat terhadap ajang membuat idola secara instan ini terlihat dari acara yang berlangsung setiap tahun.
Di Indonesia, ajang pencarian bakat dengan segala jualan drama di dalamnya sudah dimulai dari awal milenium lalu, seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indonesia, hingga The X Factor.
Para kontestan yang terpilih, biasanya telah melalui proses audisi dan kemudian bersaing di atas panggung selama berminggu-minggu untuk memperebutkan posisi pertama.
Beberapa ajang juga melibatkan penonton sebagai penentu nasib dan kemenangan para kontestan di acara tersebut. Bentuk dukungan yang diberikan, umumnya lewat 'voting' atau pemungutan suara via SMS ataupun panggilan telepon.
Masyarakat, baik yang mengenal maupun tidak para kontestan, bersedia merogoh kocek untuk membeli pulsa dan sukarela mengirimkan dukungan asal jagoannya tidak tereliminasi.
![]() |
Sosiolog Universitas Ewha Womans, Lee Joo-hee mengungkapkan bahwa kemampuan ajang pencarian bakat instan ini untuk bertahan menggambarkan cita-cita masyarakat yang berharap atas kompetisi yang adil.
"Pemirsa cenderung memiliki fantasi bahwa audisi seperti itu adil dan kemampuan seseorang akan diakui melalui kompetisi yang adil karena, pada kenyataannya, tidak begitu," kata Lee Joo-hee kepada Korean Herald.
"Mereka mendapatkan kesenangan, seolah mendapat perwakilan dari melihat orang biasa menjadi bintang," tambahnya.
Anggapan mendapatkan keterwakilan ini juga muncul dari psikolog sekaligus akademisi Universitas Atma Jaya, Vierra Adella. Ragam karakter kontestan yang muncul menarik minat penonton, terutama remaja, yang merasa memiliki 'wakil' di ajang tersebut.
"Ada sih kalau anak-anak muda saya lihat ada ketertarikan karena secara mental, secara kepribadian, ada selera pribadi dia yang masuk di idola itu," kata Vierra kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Karakternya ajang-ajang ini mengambil beberapa sosok yang mewakili [penonton]. Ada yang tipe pribadinya lebih, katakan lebih yang umum, entah cantik, suara bagus. Tapi ada juga yang nanti mewakili anak-anak anti-mainstream. Unik," lanjutnya.
Lee Joo-hee bahkan berpendapat lebih jauh, bahwa semakin maju kapitalisme suatu kawasan maka program audisi macam tersebut makin populer. Hal ini disebutnya karena masyarakat yang lebih kapitalistik akan terbuka dengan persaingan yang sehat.
"Ketika orang-orang muda melamar pekerjaan, mereka harus menghadapi 'audisi.' Format itu diterapkan pada program TV dan pemirsa terbiasa dengan format semacam itu," kata Lee Joo-hee.
![]() |
Di sisi lain, Vierra juga berpendapat bahwa ajang pencarian bakat ini bertahan karena kebutuhan manusia atas pengakuan dan popularitas.
"Popularitas itu bisa dibilang sesuatu yang hari gini orang kejar. Kalau dibandingkan, kebutuhan manusia itu kan ada tingkatannya, ada prioritasnya," kata Vierra Adella.
"Nah kalau saat ini mencari popularitas dan kemudian dikenal, atau menampilkan keunggulan diri di depan orang itu sesuatu yang memang jadi prioritas buat orang sekarang," lanjutnya.
Pernyataan serupa turut disampaikan oleh Steven Reiss dan James Wiltz, akademisi psikologi Ohio State University dalam Psychology Today.
Lewat sebuah riset, mereka mengatakan bahwa ajang pencarian bakat memungkinkan orang berfantasi mendapatkan status sosial melalui ketenaran secara instan.
"Orang-orang biasa dapat menonton pertunjukan, melihat orang-orang seperti diri mereka sendiri dan membayangkan bahwa mereka juga bisa menjadi selebriti dengan tampil di televisi," demikian tertulis dalam risetnya.
Mereka menambahkan, "orang biasa bisa menjadi sangat penting sehingga jutaan orang akan menontonnya. Dan sensasi rahasia dari banyak pemirsa itu adalah pemikiran bahwa mungkin lain kali, para selebriti baru mungkin adalah mereka [sendiri]." (agn, kir/end)
FOKUS
Sibak Tirai Idola Instan |
ARTIKEL TERKAIT

Mengeruk Uang dari Mimpi di Ajang Pencarian Bakat Korea
Hiburan 3 minggu yang lalu
Voting dan Pertaruhan Kredibilitas Ajang Pencarian Bakat
Hiburan 3 minggu yang lalu
Voting Ajang Pencarian Bakat, Uji Pasar Sang Calon Bintang
Hiburan 3 minggu yang lalu
Ajang Pencarian Bakat Modern, Bukan Jasa Simon Cowell Semata
Hiburan 3 minggu yang lalu
Indonesia Sudah Mulai Mencari Bakat Sejak Era '60-an
Hiburan 3 minggu yang lalu
INFOGRAFIS: Mencari Bakat dari Masa ke Masa
Hiburan 3 minggu yang lalu
BACA JUGA

11 Agenda Akhir Pekan Minggu Ini
Gaya Hidup • 22 November 2019 16:26
Disaingi Layanan Musik Gratis Amazon, Saham Spotify Turun
Teknologi • 19 November 2019 17:15
Indonesia Kebagian Uji Coba Fitur Lirik Lagu Spotify
Teknologi • 15 November 2019 18:27
Alasan Ilmiah Mengapa Orang Tua Tidak Suka Musik Kekinian
Gaya Hidup • 14 October 2019 10:03
TERPOPULER