Hadir dengan konsep berbeda dari bisnis konvensional, karaoke massal menimbulkan tanda tanya soal pembayaran royalti bagi komposer musik yang diputarkan. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kehadiran tren karaoke massal di bar-bar kecil ibu kota sempat menimbulkan tanda tanya di tengah pelaku bisnis karaoke keluarga mengenai aturan pembayaran royalti lagu yang diputarkan.
Bermodal pemutar lagu dan layar bertuliskan lirik, pemandu karaoke sudah bisa memanaskan suasana satu bar hingga para pengunjung meluapkan ekspresi mereka bersama meski tak saling kenal.
Pemandu karaoke seperti Oomleo Berkaraoke sendiri mengaku belum begitu paham mengenai aturan pembayaran royalti dari lagu-lagu yang ia putarkan. Selaku pengelola jaringan karaoke Inul Vizta, pedangdut Inul Daratista pun mempertanyakan hal serupa.
Pemandu karaoke seperti Oomleo mengaku belum begitu paham mengenai aturan pembayaran royalti dari lagu-lagu yang ia putarkan. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Menjawab pertanyaan ini, Chico Hindarto selaku ketua pengurus lembaga manajemen kolektif (LMK) pengelola eksploitasi karya, Wahana Musik Indonesia (WAMI), menjabarkan kepada CNNIndonesia.com pihak mana saja yang seharusnya bertanggung jawab atas pembayaran lisensi penggunaan karya musik dalam kegiatan karaoke.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di awal penjabarannya, Chico menerangkan bahwa karaoke konvensional sendiri terbagi ke dalam beberapa jenis, seperti karaoke hall, karaoke keluarga, karaoke eksekutif, dan karaoke boks.
Untuk karaoke hall, biaya yang dikenakan pertahun Rp20 ribu x 300 hari (dipotong hari libur dan tanggal merah). Karaoke Keluarga pertahun sebesar Rp12 ribu x 300 hari x jumlah kamar yang tersedia. Karaoke eksekutif per tahun dikenakan sebesar Rp50 ribu x 300 hari x jumlah kamar. Karaoke boks dikenakan Rp300 ribu per unit pertahun.
Sama seperti bisnis konvensional, pajak karaoke massal yang kini sedang marak juga menjadi tanggung jawab penyelenggara atau tempat satu acara dihelat sebagai penerima keuntungan.
"Mereka bayar misal ke Oomleo itu sebagai penampil, tapi yang dibayarkan cuma penampilannya, bukan lagunya. Secara aturannya, mereka tidak dibebankan untuk membayar lagunya. Yang membayar adalah pihak bar atau penyelenggara," ujar Chico.
Chico kemudian menjabarkan bahwa hitung-hitungan ini bisa dilihat terlebih dulu dari acara yang diadakan, berbayar atau tidak.
"Kalau jual tiket masuk kategorinya ke konser dan live event. Nah, itu hitungannya berbeda lagi. Untuk acara konser dengan tiket itu kena 2 persen dari harga tiket lalu dikali lagi dengan jumlah penonton," ucap Chico.
Jika acara karaoke yang diadakan tidak memungut biaya tiket dan diadakan di ruang seperti bar atau kelab malam, tarifnya juga berbeda. Biaya tersebut telah masuk ke dalam hitungan angka yang wajib dibayarkan pemilik bar ke pihak LMK.
"Itu hitungannya berdasarkan tarif resmi sebesar Rp250 ribu per meter persegi per tahun untuk diskotek atau kelab malam, dan untuk jenis bar biayanya berbeda lagi yakni dihitung Rp180 ribu per meter persegi. Sedangkan jika diadakan di restoran, tarifnya dihitung Rp60 ribu per kursi per tahun," tutur Chico.
Pembayaran royalti juga bergantung pada lokasi gelaran karaoke. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Namun, Chico menegaskan bahwa penampil memiliki tanggung jawab untuk memberikan daftar lagu yang dimainkan selama tampil kepada pemilik bar, untuk kelak dilaporkan ke pihak LMK. Dengan demikian, distribusi royalti ke komposer atau pemilik lagu lebih mudah.
"Intinya, ada dua kewajiban utama dari si pengguna karya, dalam hal ini adalah si diskotik tadi ya. Pertama, dia bayar sesuai dengan tarif, yang kedua kasih daftar lagu. Karena itu sebagai dasar distribusi royalti bagi kita," katanya.
"Nah, tapi ada kemungkinan si pemilik bar tidak tahu lagunya, mungkin ya. Jadi ini secara flow-nya ya, si penampil bisa membantu dengan memberikan daftar lagu kepada si pihak diskotek, diskotek memberikan daftar lagu kepada WAMI."
Tarif yang dikumpulkan WAMI akan diserahkan dalam beberapa periode. Untuk konser penyerahannya dibagi ke dalam tiga periode, yakni Maret, Juli, dan November.
Prosesnya, untuk konser yang diadakan dari Maret hingga Juli, penyerahan dana akan diberikan pada November. Dari Juli ke November dibayar Maret, sementara November ke Maret dibayar pada Juli.
Untuk penggunaan karya di platform digital, WAMI mendistribusikan royalti setiap April dan Oktober. Terlepas dari kedua kategori itu, WAMI mendistribusikan pada Juni untuk periode yang berakhir pada 31 Desember tahun sebelumnya.
Jika pihak penyelenggara ingin informasi lebih lanjut mengenai pembayaran royalti karaoke semacam ini, Chico mengimbau agar menghubungi WAMI langsung.
"Sebenarnya kita ada beberapa informasi di wami.id ya di website kita, jadi bisa ke website aja. Kemudian bisa juga menghubungi WAMI langsung," katanya.
Berdasarkan informasi di situs tersebut, WAMI hanya mendistribusikan royalti untuk musik yang berada di bawah naungannya, seperti dari Musica Studios, Aquarius PustakaMusik, Trinity Optima Publishing, Jawara Pustaka Musik, Mobimax Multimedia, Penerbit Karya Musik Pertiwi, Mitra Kreasi Prima, ARKA Publishing, Universal Publishing, dan lainnya.
Selain WAMI, ada pula sejumlah lembaga manajemen kolektif lain yang menaungi komposer berbeda, di antaranya Karya Cipta Indonesia (KCI) dan Rumah Musik Indonesia (RMI). (agn/has)