Selama bertahun-tahun, Korea Selatan telah mencoba berbagai cara untuk membuat sebuah film zombi yang sukses di pasar domestik mereka. Semuanya gagal hingga Train to Busan hadir pada 2016.
Film yang dibintangi Gong Yoo itu meledak, membius belasan juta penonton, dan menjadikan genre zombi bangkit dari kuburnya. Train to Busan menjadi titik balik film zombi dari Semenanjung Korea.
Namun sejatinya, Train to Busan adalah kulminasi dari berbagai drama dan perjuangan banyak film zombi Korea Selatan sebelumnya, yang berdarah-darah berusaha dianggap ada oleh para penonton Korea.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dewan Perfilman Korea, kisah zombi tidaklah asing bagi masyarakat Negeri Gingseng. Semua berkat film-film dan televisi Hollywood soal zombi yang juga menginvasi Korea Selatan.
Hingga pada 1980, sutradara Gang Beom-gu membuat film A Monstrous Corpse yang disebut sebagai film zombi Korea yang pertama. Namun film ini terbilang gagal di pasaran karena tak mampu menarik banyak penonton.
"Setelah itu, film zombi telah lama dianggap sebagai genre yang sulit untuk masuk ke dalam film Korea," tulis Dewan Perfilman Korea, pada 2018 lalu.
"Baik karena anggapan yang telah terbentuk sebelumnya bahwa zombi tidak ada hubungannya dengan cerita horor tradisional Korea, atau karena budaya Barat sudah terlalu banyak hadir di Korea, film-film ini gagal menemukan penontonnya,"
Kegagalan itu terlihat dari banyaknya upaya produser untuk membuat penonton tertarik dengan zombi, sebut saja Dark Forest (2006), Doomsday Book (2012), The Neighbor Zombie (2010), hingga Horror Stories (2012) dan Zombie School (2014).
Semua film itu pun telah berusaha meracik cerita yang unik dan berbeda dibandingkan yang lain. Seperti yang dilakukan oleh Dark Forest yang mengikuti teror horor zombi pada kelompok lima gadis di tengah hutan, hingga Doomsday Book yang mengisahkan virus zombi di tengah ancaman kiamat dan penguasaan robot atas manusia.
![]() |
Mereka semua gagal menarik minat penonton. Dark Forest hanya mampu menjual 3.241 tiket, The Neighbor Zombie sebesar 2.807 tiket, hingga mentok-mentok ada Doomsday Book dengan 97.916 tiket.
Padahal, usaha para film itu untuk menciptakan sendiri zombi khas Korea tidaklah main-main.
Saga Doomsday Book yang digarap sutradara Kim Jee-woon berusaha mendapatkan 'sela' yang pas agar cerita absurd zombi bisa menarik perhatian, dan pilihannya jatuh pada virus yang 'mendadak muncul' dari sisa makanan dan membuat ayam yang sudah basi bangkit menjadi zombi.
Atau The Neighbor Zombie yang menyalahkan wabah sebagai penyebab kemunculan makhluk horor tersebut dan mengombinasikannya dengan genre komedi.
Hampir semua film zombi menggoreng ulang formula film yang pernah diciptakan oleh George A Romero, bapak film zombi, yang mengisahkan zombi tercipta akibat penyakit atau sesuatu yang berusaha dilogiskan.
![]() |
Maka wajar adanya ketika sutradara Yeon Sang-ho datang dengan ide Train to Busan pada 2016, pihak studio berusaha mati-matian untuk menutupi identitas film tersebut sebagai film zombi. Kata "zombi" itu pamali bagi industri film Korea.
"Kami dilarang menggunakan kata zombi saat promosi Train to Busan. Film-film zombi merupakan genre yang tak begitu digemari kala itu. Kata zombi sendiri bisa membuat orang malas untuk menonton bahkan sebelum film itu dirilis," kata Yeon Sang-ho.
Namun siapa sangka Train to Busan berhasil menarik perhatian masyarakat Korea. Padahal, kisahnya tak jauh berbeda dibanding para pendahulunya.
Train to Busan mengisahkan perjuangan segerombol manusia yang terjebak di kereta perjalanan menuju Busan dari Seoul di tengah pandemi virus yang menyerang dan melumpuhkan Korea Selatan hanya dalam beberapa jam.
Virus itu, mengubah manusia menjadi zombi ganas yang kemudian berhasrat untuk menyerang manusia lainnya yang masih hidup. Mereka buta namun peka atas pergerakan serta suara.
![]() |
Meski kisahnya juga sama-sama absurd, Train to Busan tertolong berkat mengombinasikan banyak hal, mulai dari taburan bintang yang sudah akrab di mata penonton, kisah cinta ala drama Korea, masalah sosial, hingga filosofi budaya Korea Selatan.
Taburan bintang di Train to Busan terbilang luar biasa, dengan pusat perhatian tertuju pada aktor Gong Yoo yang sebelumnya sudah memikat para pencinta drama Korea sejak Coffee Prince pada 2007. Kemudian ada Ahn So-hee yang sebelumnya dikenal sebagai anggota girlband Wonder Girls.
Ragam racikan tersebut kemudian menghasilkan 11 juta penonton untuk Train to Busan dan menciptakan basis penggemar baru untuk "zombi ala Korea".
Ramuan Train to Busan kemudian coba diikuti oleh Rampant yang mengisahkan wabah virus pengubah manusia jadi zombi menyerang Joseon. Bila Train to Busan mengangkat Gong Yoo, Rampant ada Hyun Bin sebagai magnet penonton.
Hasilnya, Rampant berhasil menjual lebih dari 1,5 juta tiket kala dirilis pada Oktober 2018.
Jejak yang serupa juga diikuti oleh serial Kingdom di bawah naungan Netflix. Menggabungkan kisah kerajaan era Joseon dengan zombi 'modern', Kingdom lebih sukses dibanding Rampant dan menjadi salah satu serial original terlaris di Netflix.
![]() |
Kritikus budaya Kim Heon-shik berpendapat zombi Korea kini begitu digemari karena memiliki karakternya sendiri yang berbeda dengan zombi negara lain.
"Zombi Korea berbeda dari Hollywood karena memiliki cerita yang lebih kuat dan menyentuh emosi akibat orang terdekat kita yang berubah menjadi zombi," kata Kim Heon-shik.
Salah satu faktor lainnya yang kemudian membuat film zombi mulai menuai minat masyarakat Korea Selatan dan internasional adalah soal momen perilisan yang pas, berkaca pada pengalaman Train to Busan.
Kala Train to Busan dirilis pada Mei 2016, Korea Selatan baru bangkit usai menghadapi wabah Middle East Respiratory Syndrome alias MERS yang disebabkan oleh virus corona.
Kasus MERS di Korsel tercatat terjadi pada Mei hingga Juli 2015 dan menginfeksi sebanyak 186 kasus dengan korban jiwa sebanyak 36 orang yang tersebar di sejumlah lokasi.
"Dengan pandemi MERS menyapu Korea Selatan pada 2015 dan melonjaknya ketidakpuasan atas kasus korupsi dan kesenjangan ekonomi, kiamat zombi [dalam Train to Busan] berfungsi sebagai alegori yang kuat atas dunia yang semakin kanibal," tulis kritikus film Maggie Lee dalam ulasannya terkait Train to Busan, dikutip dari Variety.
![]() |
Jejak itulah yang kemudian coba ditiru oleh #ALIVE dan Peninsula, sekuel dari Train to Busan. Kedua film dirilis tahun ini, bertepatan dengan kemunculan pandemi Covid-19 akibat virus corona yang menyerang seluruh negara di dunia, termasuk Korea Selatan.
#ALIVE dan Peninsula diketahui tercatat berhasil menarik lebih dari 1 juta penonton begitu dirilis di bioskop. Train to Busan 2: Peninsula bahkan berhasil membawa lebih dari 2 juta penonton hanya dalam satu pekan.
Capaian tersebut memberikan angin segar bagi industri bioskop di tengah penerimaan box office anjlok hingga 70,3 persen (32,4 juta penonton) dalam periode Januari-Juni 2020. Berdasarkan data Dewan Perfilman Korea, angka itu menjadi yang terendah dalam 15 tahun terakhir.
Kritikus budaya Kim Heon-shik mengatakan keberhasilan #ALIVE dan Peninsula bisa terjadi karena bertepatan dengan pandemi virus corona.
"Orang-orang yang ingin terhindar dari gigitan zombi dalam film merupakan protagonis dan sama seperti semua orang yang takut terinfeksi virus corona. Film itu menunjukkan rasa takut lewat kiasan," tutur Kim Heon-shik seperti dilansir Yonhap.
Terlepas dari berbagai faktor, film zombi Korea Selatan kini tak lagi takut menghadapi penonton karena telah menemukan racikan yang tepat, berkat Train to Busan dan berbagai film-film sebelumnya.