Ujung jempol dan telunjuk tangan tak lagi kusam saat atau setelah membaca komik. Belakangan, kedua jari pembaca komik tersebut beralih fungsi menjadi scroll atas-bawah, kiri-kanan, untuk menikmati webtoon alias komik daring.
Kebiasaan tersebut mulai banyak terlihat di Indonesia sejak lima tahun belakangan, tepatnya setelah perusahaan webtoon asal Korea Selatan, LINE WEBTOON, merambah pasar dalam negeri pada 2015.
Saat pertama kali masuk Indonesia, LINE WEBTOON masih berisi konten yang dibuat para kreator asal Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga akhirnya, mereka merekrut Faza Ibnu Ubaydillah alias Faza Meonk. Ia merupakan kreator komik Si Juki yang sejak 2011 dirilis secara digital dan fisik.
"Jadi saya orang lokal pertama yang dikontrak oleh LINE Webtoon Indonesia. Saat itu, staf masih orang Korea Selatan semua. Mereka datang ke Indonesia dan mengajak saya meeting," kata Faza kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Faza kemudian diminta membuat satu judul komik Si Juki. Mulanya, ia dikontrak selama tiga bulan untuk membuat dua episode.
Setelah proses penggarapan selesai, komik bertajuk Si Juki: Lika Liku Anak Kos rilis pada April 2015. Komik itu mendapat respons positif sampai saat ini.
![]() |
LINE WEBTOON lantas terus mencari webtunis asal Indonesia dengan mengadakan kompetisi pada 2015. Lewat kompetisi itu, mereka menemukan penulis potensial, yaitu pencipta My Pre-Wedding, Annisa Nisfihani, dan Archie The RedCat yang menulis Eggnoid.
Webtun karya seniman Indonesia itu sukses, terbukti dengan popularitas My Pre Wedding dan Eggnoid di negara lain. Pun begitu dengan komik Tahilalats karya Nurfadli Mursyid, Flawless karya Shinshinhye, dan 304th karya Felicia Huang.
LINE WEBTOON di Indonesia pun berkembang pesat, apalagi dengan kemudahan mengakses komik di platform tersebut. Hanya dengan mengunduh aplikasi gratis, pembaca bisa menikmati beragam komik.
Sampai 2016, LINE WEBTOON memiliki 88 komik, 36 judul di antaranya karya lokal. Dari keseluruhan webtun lokal itu, 11 judul tamat dan 36 lainnya masih berlanjut.
Hanya dalam satu tahun, LINE WEBTOON berhasil menjaring 6 juta pengguna aktif di Indonesia. Pencapaian itu menjadikan Indonesia sebagai pasar tertinggi LINE WEBTOON pada 2016.
Salah satu pencetus LINE WEBTOON, Kim Jun Koo, sendiri mengakui bahwa Indonesia akan menjadi fokus pasar mereka.
Pengamat komik dari Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, Bambang Tri Rahadian, tidak heran dengan begitu banyak pengguna aktif komik digital di Indonesia. Ia menilai, Indonesia adalah pasar besar apa pun yang bersifat daring.
"Pengguna internet yang sifatnya hiburan dan media massa di Indonesia pasarnya memang besar. Webtun ini masuk ke dalam situ, masih dalam 'kue' yang besar ini," kata pria yang karib di sapa Beng ini.
Ia menilai salah satu yang membuat banyak orang Indonesia membaca LINE WEBTOON adalah komik dengan cerita ringan dan cepat.
Model komik ini sesuai dengan mayoritas karakter pembaca masa kini, terutama remaja, meski sebenarnya masih ada penikmat komik dengan cerita panjang.
Di sisi lain, Faza menilai LINE WEBTOON begitu digemari di Indonesia juga karena mudah diakses, gratis dan konten yang beragam. Dengan begitu, pembaca tidak perlu repot membaca komik sebagai salah satu opsi hiburan.
"Selain itu, belakangan K-Pop digemari di Indonesia, termasuk webtun. Itu yang bikin ekosistem Korea yang menarik bagi penggemarnya. Komik digital ini masuk dalam Korean Wave dan sangat didukung pemerintahnya," kata Faza.
Jika dilihat secara keseluruhan, LINE WEBTOON masih menjadi platform komik digital yang dianggap paling populer di Indonesia.
Beng tak melihat ada yang salah dengan kondisi saat ini. Namun menurutnya, keadaan industri webtun di Indonesia saat ini tak sepenuhnya ideal.
Ia berharap LINE WEBTOON tidak menjadi satu-satunya platform komik digital yang dianggap paling baik untuk mendapatkan dan menerbitkan komik.
Sebenarnya, sebelum LINE WEBTOON masuk, Indonesia sudah punya platform komik digital bernama Ngomik.com. Versi beta situs tersebut sudah ada sejak 2010 dengan 500 komikus dan 2.700 pengguna. Namun, situs itu kini sudah tidak aktif.
Setelah LINE WEBTOON masuk pun, platform komik digital lain dari dalam negeri juga mulai bergeliat, seperti Ciayo.com. Namun senasib dengan Ngomik.com, situs ini berhenti beroperasi pada Agustus lalu, menjadi salah satu platform yang tutup di masa pandemi.
![]() |
Dengan begitu, kini industri komik digital Indonesia dikuasai LINE WEBTOON. Belum ada platform asal Indonesia atau asal negara lain yang mampu menyaingi LINE WEBTOON. Platform komik digital asal Jepang, Comico, pun tutup pada September 2019 setelah beroperasi sekitar dua tahun.
Menurut Beng, webtun-webtun di LINE WEBTOON memiliki keterbatasan dalam berbagai hal, salah satunya gaya cerita seragam, yaitu cepat dan pendek. Beng mengatakan bahwa tidak semua komikus dan pembaca cocok dengan gaya komik seperti itu.
"Misalnya, di platform lain komikus bisa lebih rileks, tidak cepat-cepat, salah satunya situs crowdfunding seperti Karya Karsa. Di situ memungkinkan komikus itu berkarya bisa lebih intens," kata Beng.
"Ada komikus lain, merasa kalau bikin karya di Webtoon seperti kehilangan roh bercerita. Dia enggak bisa ikut di arus itu. Harus ada arus lain yang harus dikenalkan ke pembaca baru, jadi mereka ada pilihan."
Meski demikian, Beng menilai pada era disrupsi seperti saat ini, kekuasaan tunggal pada suatu pasar tidak lagi dipercaya. Kini, semua orang bisa menjalankan bisnis sendiri. Dalam hal komik, di Indonesia ada Tahilalats yang berawal dari sosial media.
"Tahilalats ini anomali, tidak mengikuti pola bisnis Webtun dan tidak mengikuti pola bisnis penerbitan. Dia bisa berjalan sendiri. Bisnis seperti ini tidak bisa ditiru orang karena khas dan tidak menjadi model," kata Beng.
Jika ditarik lebih jauh, Beng menganggap masih terlalu dini untuk menilai bahwa kondisi sedang tidak sehat. Ia justru lebih ingin menyampaikan kritik pada komikus agar tidak bergantung pada tawaran penerbit besar, seperti LINE WEBTOON.
Komikus, kata Beng, seharusnya juga bisa menjadi wirausahawan, selain menjadi seniman. Mereka harus bisa melihat peluang, seperti mencari tahu keberadaan pembacanya tanpa harus mendompleng penerbit besar.
"Jadi memelihara penggemar, platform yang dibutuhkan adalah yang bisa mengumpulkan fan sekaligus pembeli, dan komikus harus menjaga itu. Bagi saya itu utama. Sekarang semua tersedia. Ada media sosial dan ada platform yang memungkinkan kita untuk berkarya," kata Beng.
(has/bac)