Alasan Film Vampir China Sempat Jadi Primadona di Indonesia

CNN Indonesia
Minggu, 18 Okt 2020 15:25 WIB
Jauh sebelum zombi menjadi hit di Indonesia, jiangshi atau yang juga dikenal sebagai vampir China sudah lebih dahulu hit dan 'menghantui' tanah air. (dok. Bojon Films Company Ltd. via IMDb)
Jakarta, CNN Indonesia --

Jauh sebelum zombi menjadi hit di Indonesia, jiangshi atau yang juga dikenal sebagai vampir China sudah lebih dahulu hit dan 'menghantui' tanah air.

Sederet film vampir dari China, Hong Kong, dan Taiwan seperti Mr. Vampire, Son of the Vampire, Mad Mad Ghost, Happy Ghost, The Ultimate Vampire, dan The Musical Vampire, bolak balik ditayangkan di saluran televisi Indonesia kurang lebih pada 1980-an hingga 1990-an akhir.

Hal tersebut membuat mendiang Lam Ching-ying menjadi aktor yang legendaris kala itu karena selalu menjadi guru Tao yang menjadi lawan jiangshi.

Secara garis besar, seluruh film vampir China terutama yang tayang di Indonesia memiliki pola yang sama yakni tokoh protagonis menemukan mayat kaku dengan pakaian tradisional yang kemudian tidak sengaja mencabut kertas mantra di jidat mayat.

Mayat tersebut hidup kembali, melompat-lompat bahkan beberapa di antaranya bisa terbang dan menghantui tokoh protagonis tersebut.

Di tengah permasalahan itu, guru Tao atau dukun datang dan membantu tokoh protagonis menghentikan teror vampir tersebut.

Jauh sebelum zombi menjadi hit di Indonesia, jiangshi atau yang juga dikenal sebagai vampir China sudah lebih dahulu hit dan 'menghantui' tanah air.: (dok. Bo Ho Film Company Ltd./Golden Harvest Company/Paragon Films Ltd./Toho-Towa via IMDb)

Ketika tokoh protagonis sedang berusaha tetap hidup, sering sekali aksi-aksi jenaka ditemui, seperti ketika kertas mantra tak lagi ampuh membuat vampir berhenti, atau di saat kertas mantra tak sengaja tercabut akibat angin, bisa juga sekadar kehebohan manusia berkejar-kejaran dengan vampir.

Walau terkesan monoton, film-film tersebut sempat menjadi tren dan tontonan yang digemari masyarakat Indonesia sekitar tiga hingga empat dekade lalu.

Beberapa hal memengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah kemiripan pola film vampir China dan horor di Indonesia.

"Di masa itu, vampir biasanya selalu kalah. Dia bisa ditaklukkan dengan bacaan-bacaan (mantra atau doa) dan ditempel di keningnya," ucap Akademisi Film Institut Kesenian Jakarta, Satrio Pamungkas.

"Jadi itu polanya hampir sama dengan film horor di Indonesia dulu, dengan bacaan doa bisa hancur atau kebakar setannya," lanjutnya.

Satrio pun mencontohkan pola yang kerap ditemui di film-film Suzzanna yakni hantu datang seperti untuk mengambil anak atau memangsa darah manusia, kemudian tokoh agama datang, membacakan doa dan permasalahan selesai.

"Ada konstruksi kesenangan yang sudah melekat di masyarakat Indonesia kemudian ditawarkan di film [vampir China] itu," kata Satrio.

 Lam Ching-ying menjadi aktor yang legendaris kala itu karena selalu menjadi guru Tao yang menjadi lawan jiangshi. (dok. Bo Ho Film Company Ltd./Golden Harvest Company/Paragon Films Ltd./Toho-Towa via IMDb)

Selain itu, jiangshi juga asik melompat-lompat di layar kaca ketika ketersediaan konten baik film atau serial di Indonesia belum sebanyak saat ini. Apalagi, perfilman Indonesia sempat mengalami krisis pada dekade '90-an.

"Di tahun '90-an, drop banget film Indonesia. Di tahun-tahun seperti itu juga lahir banyak film genre yang erotis. Jadi mungkin saja dengan hadirnya film vampir dari China bisa mengobati rasa penatnya Indonesia kala itu," kata Satrio.

"Kalau dari sisi politik, Indonesia juga penat dengan kepemimpinan politik yang coba dikonstruksikan Orde Baru yang sudah membatasi film-film," katanya.

Cara Pikir Baru

Namun sayangnya, film-film macam jiangshi sudah sangat sulit ditemui di saluran televisi Indonesia saat ini.

Hal tersebut sejalan dengan semakin besarnya pintu Indonesia terhadap konten-konten dari negara lain seperti anime (Jepang), drama Korea, drama Taiwan, dan masih banyak lagi sejak awal 2000-an.

Sinetron-sinetron Indonesia juga semakin berkembang dan bertambah banyak pada pada akhir '90-an dan 2000-an awal, seperti Jinny oh Jinny, Tuyul dan Mbak Yul, Tersanjung, Saras 008, dan masih banyak lagi.

"Sekarang yang disajikan industrinya itu sangat terbuka dengan peluang-peluang pola dan cara berpikir baru, jadinya yang seperti itu (film vampir China) itu tidak ada. Jadi pola yang sudah lama dan ada terlupakan karena kreator juga mencoba formula baru," kata Satrio.

Perkembangan teknologi dan kondisi saat ini dinilai juga akan menyebabkan gejolak di pikiran masyarakat ketika menyaksikan aksi vampir zaman dahulu di masa sekarang.

"Ada pergulatan dan jadi membandingkan. Zaman dulu belum ada WiFi dan teknologi kemudian melihat hantu seperti itu jadi wajar. Terus kalau saat ini melihat kondisi itu dengan pola yang sama, aneh banget. Struktur dramatisnya sudah berbeda sekarang."

"Kalau pola yang sama, sekarang tinggal produksi kertas aja. Saya ambil shot di percetakan anti vampir, semua orang sudah mengantongi kertas itu," ucap Satrio.

Namun, ia meyakini menghilangnya vampir China atau jiangshi dari dunia hiburan Indonesia bukan berarti tak lagi mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Menurutnya, jiangshi akan tetap mendapatkan penonton apabila ditayangkan lagi.

"Bisa saja karena banyak orang yang merindukan hal-hal demikian. Iya nostalgia tapi ini untuk pola yang sama." kata Satrio.

(chri/end)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK