CERITA DI BALIK LAYAR

Duka dan Mimpi Buruk Sutradara di Balik The Wailing

CNN Indonesia
Minggu, 01 Nov 2020 21:11 WIB
Sutradara The Wailling, Na Hong-jin, membeberkan bahwa situasi keluarganya menjadi inspirasinya dalam menggarap salah satu film horor terlaris di Korsel itu.
Sutradara The Wailling, Na Hong-jin, membeberkan bahwa situasi keluarganya menjadi inspirasinya dalam menggarap salah satu film horor terlaris di Korsel itu. (Dok. 20th Century Fox)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sutradara The Wailling, Na Hong-jin, membeberkan bahwa situasi di keluarganya menjadi inspirasinya dalam membuat salah satu film horor terlaris di Korea Selatan itu.

Ia mengungkapkan bahwa inspirasi itu datang ketika banyak orang di sekelilingnya meninggal setelah dirinya menyelesaikan film The Yellow Sea (2010).

"Usai menyelesaikan The Yellow Sea, orang-orang terdekat saya meninggal dunia. Menghadiri pemakaman menjadi hal biasa bagi saya, tapi itu terasa amat menyakitkan dulu," kata Na Hong-jin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sayangnya, kematian mereka bukan disebabkan hal-hal yang normal. Hal itu membuat keluarga yang ditinggalkan amat berduka. Pemakaman di Korea biasanya tiga hari. Selama hari-hari itu, saya merenungkan kematian mereka."

Keadaan duka tersebut membuat sejumlah pertanyaan muncul dalam pikirannya.

"Mengapa mereka harus menjadi korban dari orang-orang lain yang ada? Saya sudah mempunyai jawaban untuk pertanyaan bagaimana. Saya tinggal mencari tahu jawaban untuk pertanyaan mengapa," ucapnya seperti dilansir The Playlist.

Unsur Agama

Pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran mendorongnya bertemu dengan sejumlah pemuka agama. Pertemuan-pertemuan inilah yang kemudian disebut menjadi titik awal pembuatan film The Wailing.

Agama serta keyakinan memang menjadi fokus utama dari film tersebut. Selain karena bertemu dengan sejumlah tokoh, Na Hong-jin juga mengakui bahwa ia juga meyakini Tuhan dan agama.

"Saya memilih tema tentang agama karena meyakini tidak ada pelajar di sekolah atau filosofi yang bisa menjawab pertanyaan saya sebelumnya," tuturnya.

"Saya seorang penganut agama Kristen. Apabila saya tidak percaya Tuhan, cerita The Wailing tidak seperti yang kalian saksikan. Kadang ketika membuat keputusan penting, saya juga konsultasi dengan para biksu di pegunungan."

The Wailingdok. Finecut via KOBIZSalah satu adegan The Willing. (Dok. Finecut via KOBIZ)

Tak hanya keyakinan semata, Na Hong-jin juga berkeliling ke banyak negara untuk mengumpulkan informasi mengenai tradisi keagamaan serta ritual pengusiran setan.

The Wailing memang kental dengan unsur-unsur keagamaan, seperti kutipan-kutipan ayat Alkitab di awal serta akhir film, serta prosesi-prosesi keagamaan lainnya.

"Setelah tahun 1970-an, film okultisme yang membicarakan tentang baik dan buruk berdasarkan agama Katolik menghilang. Saya memasukkan banyak agama dalam film ini karena dengan satu agama saja saya tak bisa mengungguli film-film sebelumnya," kata Na Hong-jin.

"Saya rasa perdukunan Korea yang dipadukan dengan unsur Katolik bisa memberikan pengalaman baru kepada penonton."

Pemilihan Lokasi

Na Hong-jin meyakini pemilihan lokasi syuting yang tepat merupakan bagian penting dalam film. Lokasi akan menentukan menentukan konsep pencahayaan, termasuk pendalaman karakter dari para pemain.

Oleh sebab itu, film The Wailing dibuat di kawasan Gokseong. Kawasan tersebut ternyata pernah menjadi tempat tinggal sang sutradara dan kampung halaman neneknya. Suasana di Gokseong juga dinilai penuh misteri.

"Saya benar-benar mengetahui Gokseong. Di sana merupakan kota kecil, tak ada bangunan-bangunan tinggi. Jadi ketika saya mengambil gambar lanskap, saya bisa melihat gunung, pemandangan alam lainnya, dan manusia dalam satu bingkai," ujar sutradara kelahiran 1974 itu.

Ia pun mengalami kejadian menarik bersama sang sinematografer Hong Kyung-pyo. Sebuah keputusan di lokasi syuting membuat mereka jadi dihantui mimpi buruk.

Awalnya, HongKyung-pyo sedang mempertimbangkan menebang cabang pohon ginkgo di lokasi syuting karena dianggap menghalangi pemandangan.

The Wailingdok. Finecut via KOBIZSalah satu adegan di The Wailling. (Dok. Finecut via KOBIZ)

Sifat polos Hong Kyung-pyo mendorong Na Hong-jin menggodanya dengan mengatakan dirinya bisa masuk neraka apabila memotong cabang tersebut karena pohon itu merupakan penjaga warga sekitar. Namun, Hong Kyung-pyo memutuskan tetap memotong cabang pohon ginkgo.

"Saya akan memberi tahu rahasia. Tak lama setelah itu, kami mengalami mimpi buruk terus dan membuat kami pribadi juga menjalani ritual dari dukun," tuturnya.

Oleh sebab itu, ia menyatakan The Wailing merupakan film yang membutuhkan persiapan lebih banyak dan lama dibandingkan dua film hit lainnya, yakni The Yellow Sea dan The Chaser. Proses penulisan dan penyuntingan juga disebut lebih lama dari biasanya.

"Karena saya ingin menambahkan sentuhan psikologis untuk memengaruhi penonton sehingga proses pengeditan juga lebih panjang karena saya perlu menghitung dan memperkirakan respons penonton," kata Na Hong-jin seperti dilansir Korea JoongAng Daily.

[Gambas:Youtube]

Secara garis besar, The Wailing menawarkan kisah horor dari sebuah misteri di desa kecil bernama Gokseong yang terletak dekat hutan. Kisah bermula dari kematian sejumlah warga desa yang diduga akibat penyakit.

Sekelompok orang mulai curiga orang Jepang yang baru datang ke desa itu menjadi penyebab penyebaran penyakit tersebut. Atas desakan warga desa, polisi menyelidiki tentang orang Jepang tersebut.

Film yang pertama kali tayang di Korea pada 12 Mei 2016 ini berhasil menjual lebih dari 6,87 juta tiket di 1.485 layar. Penjualan itu membuat The Wailing menempati posisi ketujuh film terlaris di Korea empat tahun lalu.

(chri/has)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER