Sejumlah toko buku di Prancis bersikeras beroperasi di tengah aturan larangan berjualan dari pemerintah usia mendapat dukungan dari warga dan penulis. Warga Prancis kini dapat kembali menyalurkan kecintaan mereka terhadap karya literatur yang sempat terhenti dalam beberapa bulan terakhir.
Dikutip dari AFP, aksi pembukaan besar-besaran ini turut didukung oleh seorang penulis terkenal di Prancis, Alexandre Jardin. Ia mendukung aksi pembukaan toko buku di tengah pandemi Covid-19 dan bersedia membayar denda yang dibebankan kepada pemilik buku yang dinilai melanggar aturan berjualan.
Semenjak pandemi Covid-19, pemerintah Prancis melarang toko yang tergolong menjual barang jualan tidak penting untuk berjualan guna mengurangi kerumunan di tempat umum. Aturan ini turut dibebankan kepada para pemilik toko buku di Prancis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun Jardin, penulis yang terkenal lewat novel romantis Le Zebre dan Fanfan tersebut menilai bahwa buku termasuk kebutuhan penting. Dalam sebuah wawancara bersama radio Europe 1, pemenang dalam penghargaan literatur Prancis, Prix Goncourt ini mengaku siap membayar denda yang ditujukan kepada pemilik toko buku selama kembali berjualan yang ada di kota Cannes, sebagai lokasi permulaan dari gerakan ini.
"Saya siap membantu buku selanjutnya, dan penulis lain untuk toko buku lainnya," kata Jardin "tidak ada satu pihak pun yang memiliki hak menutup toko buku," tambahnya.
Membungkam Kebebasan Berpendapat
Menurut hasil studi, Prancis merupakan salah satu negara dengan jumlah pembaca tertinggi di dunia, dan salah satu negara dengan jaringan toko buku independen terbesar di dunia.
Semenjak pandemi Covid-19, pemerintah Prancis melarang toko yang tergolong menjual barang jualan tidak penting seperti toko mainan, salon, toko parfum, toko bunga, gedung bioskop dan mall serta toko buku untuk berjualan dalam sementara waktu.
Aturan yang berlaku sejak 30 Oktober ini menyulut kemarahan dari sejumlah pihak karena dinilai dapat mematikan bisnis toko buku di Prancis.
Perhatian itu mereka sampaikan dalam surat terbuka kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa alasan penutupan toko buku termasuk dalam membatasi akses warga yang dapat disebut sebagai sebuah ancaman bagi kebebasan berbicara yang sangat dijunjung di Prancis.
Jardin juga menggaris bawahi beberapa negara lain di Eropa seperti Belgia yang telah mengijinkan toko buku kembali beroperasi.
Sementara itu, dampak penutupan ini telah memukul perekonomian toko buku di Prancis yang harus kehilangan penjualan penting selama November-Desember yang biasanya menyumbang 25% dari pendapatan tahunan mereka.
Pemerintah Prancis hingga kini belum menunjukkan adanya pelonggaran lockdown yang diberlakukan untuk mengekang gelombang kedua infeksi Covid-19.
Perdana Menteri Prancis Jean Castex pada kamis (12/11) mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan rencana untuk mengijinkan sejumlah toko untuk kembali beroperasi pada Desember mendatang jika terjadi tren penurunan infeksi kasus baru masih berlangsung.
Hingga kini virus Corona telah membunuh lebih dari 44 ribu orang di Prancis. Presiden Prancis Emmanuel Macron kembali mengajak masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan selama pandemi.
(nly/bac)