Tak lama, Usmar Ismail bersama kakaknya, El Hakim, dan beberapa temannya seperti Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya. Kelompok ini mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat.
Hal itu kemudian dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia. Sandiwara yang dipentaskan Maya, antara lain, Taufan di Atas Asia, Mutiara dari Nusa Laut, Mekar Melati, dan Liburan Seniman.
Sesudah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar yang terjun ke dunia jurnalistik sempat merasakan jeruji penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah Belanda pergi dari Indonesia, Usmar Ismail kembali melanjutkan minatnya yang lebih serius pada perfilman.
Lewat bantuan Anjar Asmara, teman sekolahnya sewaktu di Yogyakarta, Usmar Ismail terjun ke dunia film sebagai asisten sutradara dalam film berjudul Gadis Desa.
Setelah itu, ia kembali terlibat pada penggarapan film berikutnya, seperti Harta Karun, dan Citra.
![]() Salah satu adegan bernyanyi dalam film Tiga Dara karya Usmar Ismail. (Foto: Dok. Perfini dan S.A Films) |
Tak lama kemudian, Usmar Ismail pun memberanikan diri menjadi sutradara yang ditunjukkan lewat karya perdananya berjudul Darah dan Doa (1950). Film ini bahkan dinobatkan sebagai film pertama Indonesia karena disutradarai oleh orang Indonesia.
Selain film itu, Usmar Ismail juga menyadari beberapa film lain diantaranya Enam Jam di Yogya (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Kafedo (1953) Lewat Jam malam (1954), Tiga Dara (1955), dan Pejuang (1960).
Setelah malang melintang sebagai sutradara, Usmar Ismail meninggal dunia pada 2 Januari 1971 karena penyakit stroke dalam usia hampir genap lima puluh tahun.
Tak hanya menetapkan tanggal pengambilan gambar film Darah dan Doa sebagai hari Film Nasional, pemerintah Indonesia juga menobatkan namanya sebagai nama gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
(nly/fjr)