Review Film: Army of the Dead

Fajar Fadhillah | CNN Indonesia
Jumat, 28 Mei 2021 20:30 WIB
Sajian konsep zombie yang inovatif sayangnya tidak diimbangi dengan cerita yang solid. Keindahan gambar film Army of the Dead terusik drama yang serba tanggung.
Review film Army of the Dead (Foto: Netflix)

The Cranberries? Sungguh?

Mari simpan sejenak pembahasan 'plot hole' untuk di akhir ulasan. Sebelum itu, mari bahas satu variabel penting dalam sebuah film: audio. Bicara soal lagu latar atau soundtrack dan scoring, sungguh saya dibuat nyaman di awal tapi seperti diejek di ujung film.

Optimisme sempat timbul kala lagu Viva Las Vegas versi Richard Cheese dan Allison Crowe yang ceria dipilih sebagai latar adegan awal yang penuh darah, kacau, nan sadis.

Suasana kontras yang diciptakan Zack Snyder di scene pembuka sungguh menggugah perasaan. Memadukan keriangan suasana Las Vegas dengan ancaman yang nyata sungguh sebuah ide yang dapat diterima.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Film Army of the DeadFilm Army of the Dead (Foto: Netflix)

Hal tersebut sempat terbantu oleh scoring ballad di tengah-tengah film, menjadi oase yang manis usai penonton dibawa berburu napas, lari dari ancaman zombie.

Tentu, dua kali percobaan tersebut seakan membisikkan harapan, bahwa scoring dan soundtrack pamungkas di ujung cerita akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Tapi, tidak ternyata, bagi saya setidaknya.

Lagu Zombie milik The Cranberries berkumandang di momen-momen penonton menghela napas panjang dan (harusnya) menikmati adegan 'after taste' dari klimaks konflik yang brutal.

Seperti diejek, lagu Top 40 berkumandang di menit-menit paling berharga dalam film. Bukan formula lama memang, tapi kali ini tentu tidak berhasil.

Mungkin sebagian kita ingat bagaimana lagu Yesterday dari The Beatles tiba-tiba muncul di film Bean (1997), atau Can't Help Falling in Love with You di film the Conjuring 2 (2016), begitu juga dengan lagu-lagu The Smith yang menghias film 500 Days of Summer (2009).

Film-film tersebut jadi contoh bagaimana penggunaan lagu Top 40 bisa mempercantik adegan, tanpa khawatir kehilangan nilai plus akibat tidak menjunjung orisinalitas.

Tapi, itu tidak berhasil kala lagu Zombie (The Cranberries) dideskripsikan dengan amat 'obvious' di film dengan genre zombie. Itu bukan ide yang cukup baik.

Sungguh lebih terasa pantas ketika lagu Semua Tentang Kita dari Peterpan muncul tiba-tiba di film Radit dan Jani (2008), atau lagu Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan milik Payung Teduh muncul di adegan klimaks film Bukaan 8 (2017) karya sutradara Angga Sasongko.

Menyisakan Tanya yang Nampak Takkan Terjawab

Tak ada yang patut diprotes bila bicara tentang sinematografi, tone, ambience, dan solid-nya gambar yang diciptakan Zack Snyder. Ini merupakan karya sinematografi yang luar biasa, seperti biasanya.

Army of the Dead (2)Zack Snyder (Tengah) dalam proses produksi film Army of the Dead (Foto: Arsip Netflix)

Tapi, cerita tetap merupakan nyawa sebuah film feature. Army of the Dead menyisakan banyak tanya, murni tanya, bukan dipancing untuk mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Terlalu banyak 'plot hole', sekali lagi, ini merupakan sebuah cerita yang serba tanggung.

Ujung film jelas menggambarkan bahwa cerita akan berlanjut, entah dalam format serial, atau film. Tapi, apa yang saya dapatkan sepanjang film, membuat Army of the Dead tidak 'se-appetizing' itu untuk diteruskan.

(fjr)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER