Menyingkap Serat Centhini: Roman dan 'Ensiklopedia' Jawa

CNN Indonesia
Minggu, 06 Jun 2021 07:11 WIB
Serat Centhini atau Suluk Tembangraras tak bisa dilepaskan dari perjalanan sastra klasik tanah Jawa. Isinya disebut-sebut sebagai panduan laku masyarakat Jawa.
Serat Centhini mulanya dibuat dalam format aksara Jawa (Foto: Langgar.co / Irfan Afifi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Masyarakat Jawa memiliki beragam tradisi dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan tersebut tersimpan dalam karya sastra berupa primbon, babad, serat dan suluk.

Di antara deret karya sastra itu, Serat Centhini merupakan salah satu mahakarya yang hingga kini masih menjadi pegangan bagi sebagian orang Jawa.

Dilihat dari sejarahnya, karya sastra yang telah berusia ratusan tahun ini memiliki nama asli Suluk Tembangraras. Suluk ini ditulis oleh tiga pujangga besar Keraton Surakarta pada 1814 hingga 1823.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga penulis tersebut terdiri atas Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei Yasadipura II, dan Kiai Ngabehi Sastradipura. Tim ini dipimpin oleh Adipati Anom Amangkunagara III.

Ia merupakan putera mahkota Kerajaan Surakarta atau Keraton Solo yang diangkat menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwono V pada 1820.

Menurut budayawan dan penulis buku Saya, Jawa, dan Islam, Irfan Afifi, Adipati Anom Amangkunagara III yang saat itu masih remaja memerintahkan tiga pujangga terbaik di kerajaannya untuk membukukan seluruh kebudayaan orang Jawa yang bersumber dari kejadian nyata.

Cover Serat CenthiniBuku terjemahan dan interpretasi Serat Centhini (Foto: Tangkapan layar web kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Namun dalam praktiknya, tiga pujangga tersebut juga menyelipkan cerita-cerita fiksi sehingga Suluk Tembangraras merupakan semi fiksi.

"Ada fiksinya dan historisnya, jadi seperti pembukuan kebudayaan Jawa sebelum hilang maka dibuat jadi cerita, jadi ini merekam banyak hal, seperti ensiklopedi ilmu Jawa yang dibungkus dalam narasi cerita," ujar Irfan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/6).

Ketiga pujangga ternama tersebut akhirnya merampungkan Suluk Tembangraras dalam 12 jilid yang terdiri dari 772 satuan bait.

Suluk ditulis dalam teks Jawa kuno atau Bahasa Kawi yang menjadi pendahulu bagi aksara-aksara Nusantara yang lebih modern, seperti aksara Jawa, aksara Bali, dan aksara Sunda.

Dalam perkembangannya, suluk ini terus menjadi pegangan orang Jawa tiap-tiap generasi. Tak hanya itu, karya sastra bernilai tinggi tersebut juga menarik pembaca dari luar masyarakat Jawa.

Meski salah satu mahakarya sastra Jawa ini secara universal menjadi rujukan bagi spiritualitas dan hubungan antar-manusia, Serat Centhini telanjur dianggap kebanyakan orang sebagai salah satu kitab laku seks masyarakat Jawa. 

Aspek pedoman tata krama dan spiritualitas hingga irisannya dengan seksualitas dalam Serat Centhini coba disingkap dalam sejumlah tulisan maupun infografis lainnya. Selamat 'menyelami' artikel-artikel CNNIndonesia.com dalam seri fokus berjudul Erotika di Sastra Serat Centhini edisi Minggu (6/6).

Penerjemahan berlapis Serat Centhini bisa dibaca di halaman dua...

Penerjemahan Berlapis, dari Jawa Halus hingga Bahasa Prancis

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER