Alhasil, karya ini mengalami proses penerjemahan berlapis-lapis. Di awali dengan menerjemahkan teks asli yang berbahasa Jawa dan berhuruf Jawa ke dalam bahasa Jawa berhuruf Latin. Kemudian, karya sastra berbahasa Jawa berhuruf Latin tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tercatat ada dua penerjemah untuk versi ini, yakni penerjemahan dari Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya (1979) dalam buku berjudul Serat Centhini; Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.
Kemudian dari tim dari Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya UGM yang diketuai oleh Profesor Marsono (2005) berjudul Centhini Tambangraras-Amongraga yang diterbitkan Gadjah Mada University Press.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari versi berbahasa Indonesia tersebut, Serat Centhini lalu diterjemahkan atau tepatnya diinterpretasikan ke dalam bahasa Prancis oleh Elizabeth Inandiak, seorang jurnalis dan penulis berkebangsaan Prancis. Versi ini dibukukan dalam buku berjudul Les Chants à Dormir Debout: Le Livre de Centhini.
Dalam proses tersebut, Elizabeth Inandiak mendapat bantuan dari seorang ahli Bahasa Jawa bernama Sutanto. Ia merupakan murid Niels Mulder, ahli dalam Budaya Jawa.
![]() |
"Dia (Sutanto) bisa Bahasa Jawa, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Arab, dan dia keturunan Keraton Solo meskipun tinggal di Yogya. Kami mulai bekerja berdasarkan naskah dalam Bahasa Jawa. Dia yang menerjemahkan secara harfiah ke Bahasa Indonesia. Saya yang menerjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Perancis naskah Suluk Tembangraras," ujar Elizabeth kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/5).
Kendati demikian, Elizabeth mengaku hanya menerjemahkan separuh dari keseluruhan Suluk Tembangraras.
"Saat itu saya belum tahu mau saya buat seperti apa. Oke saya terjemahkan dahulu. itu ada 4.000 halaman tapi kami pilih sekitar separuh kami menerjemahkan karena isinya mirip ensiklopedia yang tidak mungkin saya terjemahkan semua," lanjutnya.
Tak berhenti di situ, cerita pengembaraan Amongraga juga dibuat dalam versi novel berjilid dengan judul Serat Centhini dalam rentang 2011 hingga 2014. Novel interpretasi Agus Wahyudi ini terdiri dari 12 jilid yang menggunakan Bahasa Indonesia yang mudah dipahami.
Kendati telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, Serat Centhini atau Suluk Tembangraras baik dalam versi Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia maupun Bahasa Perancis tetap berpegangan pada suluk aslinya.
Termasuk dalam penggambaran jalan ceritanya yang berputar tentang kisah hidup Amongraga. Ia merupakan putra dari Sunan Giri III dari Kerajaan Giri Kedaton. Ia memiliki dua adik yang bernama Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.
Amongraga dan dua adiknya berpisah setelah kediaman mereka diserang oleh pasukan Kerajaan Mataram di bawah komando Sultan Agung pada 1636.
Sebelum dikenal sebagai Amongraga, putra tertua Sunan Giri ini bernama Jayengresmi. Dalam mencari adik-adiknya, ia berkelana bersama dua santrinya yakni Gathak dan Gathuk.
(nly/fjr/bac)