Review Film: Ali & Ratu Ratu Queens

Fajar Fadhillah | CNN Indonesia
Jumat, 25 Jun 2021 19:00 WIB
Terdapat gambaran New York yang belum tuntas di film ini. Namun, Ali & Ratu Ratu Queens jadi gambaran keinginan film Indonesia ke level yang lebih tinggi.
Review Film: Ali & Ratu Ratu Queens (Foto: Palari Film/Netflix)

Serba Tidak Tuntas

Film menawarkan banyak premis pelengkap premis utama. Namun, tak satupun menemukan titik sentimental yang cukup dalam, sehingga hal yang harusnya berkesan jadi tidak.

Hubungan Ali dan ibunya tidak tuntas. Memang ada kesimpulan, tapi tidak ada klimaksnya. Begitu pun hubungan Ali dengan para tante, manis memang, tapi tidak cukup beralasan untuk dikenang.

Belum lagi bumbu-bumbu cinta antara Ali dan Eva (Aurora Ribero). Untuk apa mengekspos hubungan cinta jika tidak manis? Mereka seperti berlagak jatuh cinta secara modern, tapi tak terlihat ada rasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ali dan Eva tidak seperti dua orang yang saling tertarik, jatuh cinta, atau bahkan sekadar tergila-gila satu sama lain. Conflict of interest Ance di antara Ali dan Eva pun tak tergali, dan jadi cuma sekadar lucu-lucuan.

Film Ali & Ratu Ratu QueensSosok Eva (Aurora Ribero) dalam film Ali & Ratu Ratu Queens (Foto: Palari Films / Netlfix)

Banyak hal yang ada tapi tidak tuntas diceritakan, karier Mia, pendidikan Ali, karier Eva yang digambarkan dengan open stage. Mungkin saja itu adalah bahan-bahan menuju film kedua, ketiga, atau serial.

Tapi sesungguhnya sebuah film tetap harus bisa berdiri sendiri, dan itulah yang tidak dieksekusi dengan maksimal. Awal dari waralaba? Ada sekuel? Harusnya tidak jadi excuse.

Format banyak premis yang salin berkaitan ini sebetulnya adalah format drama atau serial. Entahlah, bisa saja penulis cerita sebenarnya punya blueprint yang lebih luas, ke arah drama atau serial.

Nilai Baru dalam Keluarga

Ali & Ratu Ratu Queens memberikan penonton nilai-nilai baru dalam keluarga, memberi pesan bahwa hirarki dan tradisi boleh diabaikan asal bertangung jawab.

Hal tersebut yang membuat film ini pantas digemari, dan bisa menjadi corong bagi kita yang tak suka dengan hal-hal usang di keluarga. Perginya Ali, perginya Mia, dua hal tersebut diperlihatkan sebagai pembangkangan yang bertanggung jawab, meski ada yang terdampak buruk.

New York adalah mimpi, dan semua orang berhak punya mimpi tersebut, tak ada yang boleh menghalangi kecuali diri sendiri. Untuk mencapai mimpi, ada risiko yang harus dipanggul.

Film Indonesia naik level ketika bisa mencerminkan keresahan sosial, dan mengadaptasinya ke dalam naskah. Apalagi, yang diangkat bukanlah hal naif, tapi sesuatu yang sifatnya progresif.

Mia adalah cerminan wanita modern dan bebas berekspresi. Ia kemudian dihadapkan dengan keluarga besar, dan keluarga suami yang konservatif terhadap gender.

Ali digambarkan sebagai titik kebijaksanaan di antara dua 'mazhab' tersebut. Penting untuk menyaksikan hal tersebut dengan jernih. Sayang, keputusan Ali belum sampai pada jawaban 'benar atau salahnya'.

Soundtrack dan Jokes Tekstual

Cara ampuh memang menggunakan lagu-lagu Top40 yang pernah populer sebagai soundtrack sebuah film. Tapi juga pembuat film harus merelakan bahwa filmnya tidak akan dikenang utuh.

Soundtrack orisinal bisa membuat sebuah film dikenang utuh, beserta karya musik yang menyertainya, lihat saja AADC. Di samping itu, tak selamanya pakai lagu populer itu cocok. Lagu Location Unknown dari Honne di tengah-tengah film ini terasa sebagai jalan pintas yang buntu, sungguh tak perlu.

Satu hal yang disayangkan lagi adalah pemilihan Bayu Skak sebagai amunisi komedi. Jokes tekstual Bayu Skak terasa menjadi 'asing', jika disandingkan aktris-aktris yang biasa membawakan jokes yang sifatnya situasi, seperti cara Tika Panggabean dan Asri Welas bawakan.

Jokes tekstual yang kerap terlontar dari kelompok youtuber dan standup comedian di sebuah film belakangan hanya sekadar lucu saja, tapi tidak mengkonstruksi situasi yang lucu dalam film.

Penyelamat: Marissa Anita dan Pinot

Mengagumkan memang akting Marissa Anita di film ini, elok nian mewatakkan sosok baik tapi jahat, jahat tapi baik. Rautnya selalu ada di garis batas, menyimpan asa kebaikan sambil menutupi kesalahan.

Tapi ini seperti mengulang rasa kala melihat Marissa bermain di film lainnya dari sutradara Lucky Kuswandi, Selamat Pagi Malam. Keindahan akting Marissa tidak terbalut kisah yang solid.

Film Ali & Ratu-ratu QueensCredit: Palari Film/NetflixMia (Marissa Anita) menjadi salah satu faktor yang membuat Ali & Ratu Ratu Queens punya 'rasa'. (Foto: Palari Film/Netflix)

Penyelamat lainnya film ini adalah produk grafis dari visual artist, Pinot. Sentuhan seni yang ia bubuhi menyelamatkan atmosfer dan rangkaian gambar film yang tak cukup rapi.

Terbebas dari sejumlah 'noda' di film ini, Ali & Ratu Ratu Queens adalah satu dari sekian bukti dari perfilman Indonesia yang punya asa ingin naik kelas.

Lucky Kuswandi (sutradara), Gina S. Noer (Penulis), dan Muhammad Zaidy (penulis) adalah orang-orang yang turut membuat penonton film Indonesia harusnya percaya, bahwa masa depan film kita ada.

(fjr)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER