Meski tidak secara sama persis dengan kejadian di Amerika Serikat pada dekade '80-an, masyarakat Indonesia sebenarnya juga mengenal soal kepanikan massal yang berhubungan dengan kultus gelap alias satanic panic.
Namun bagi masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, kepanikan massal itu lebih dikenal ketika terjadi kasus tertentu berkaitan dengan ilmu magi atau sihir yang sebagian besar masyarakat mengenalnya sebagai santet.
Pada Oktober 1998, sebuah kasus pembantaian massal terjadi di Banyuwangi dan membuat geger seantero Indonesia. Sebanyak 174 orang menjadi korban jiwa dan banyak pemberitaan melaporkan korban adalah dukun santet. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai Geger Santet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu kayaknya fenomena yang sangat jarang terjadi, tapi ternyata terjadi. Itu menurut saya agak mirip dengan satanic panic," kata Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Kasus tersebut menjadi sorotan berbagai media nasional kala itu. Meski begitu, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terjadi kesalahpahaman yang membuat makna santet menjadi cenderung ke arah kejahatan juga kegelapan dibanding dengan makna sebenarnya.
Hal itu diungkapkan oleh peneliti dan akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Heru SP Saputra, dalam tulisannya yang bertajuk Tradisi Mantra Kelompok Etnik Using di Banyuwangi dan diterbitkan dalam jurnal Humaniora Volume XIII No 3/2001.
"Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pembantaian itu bukan dilakukan terhadap dukun santet, melainkan dukun sihir," kata Heru dalam tulisannya.
"Dukun sihir cenderung membunuh, sedangkan dukun santet memperdaya seseorang dalam hal pengasihan," lanjutnya yang juga menyebut bahwa pembantaian itu bukan "murni dalam rangka 'memusnahkan', melainkan lebih didominasi oleh muatan politis,"
Menurut Heru yang meneliti perihal tradisi mantra dalam kebudayaan masyarakat Using di kawasan Blambangan (Kabupaten Banyuwangi) ini, santet merupakan bagian dari budaya mantra magi berupa doa sakral kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan gaib.
Mantra ini, dianggap sebagai produk budaya "yang bersifat sinkretis antara kepercayaan lokal dengan tradisi agama modern, seperti Hindu, Budha, dan Islam". Sekaligus, sebagai alternatif pranata atau sistem tingkah laku sosial alias norma secara tradisional, ketika pranata formal tak mampu mengakomodir.
Masyarakat Using yang telah mengenal budaya mantra selama bergenerasi memahami bahwa mantra magi terbagi dalam beberapa kelompok berdasarkan sumber ajaran dan tujuan pemakaiannya.
lanjut ke sebelah...