Jakarta, CNN Indonesia --
Kantor Kejaksaan Beijing merestui penangkapan eks member EXO Kris Wu atas dugaan pemerkosaan pada Senin (16/8).
Langkah tersebut diambil oleh pihak Kejaksaan pasca penahanan pria berusia 30 tahun tersebut pada Sabtu (31/7) kemarin.
Penangkapan sebagai respons dari kecaman di media sosial atas tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Wu dan telah menjadi #MeToo paling terkenal di China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tuduhan itu pertama kali muncul bulan lalu di platform media sosial China Weibo, ketika seorang wanita yang memposting melalui akun "Du Meizhu" menuduh Wu telah melakukan pelecehan seksual ketika dirinya sedang mabuk di rumah Wu.
Kejadian tersebut dikatakannya terjadi ketika dia sedang mengikuti agenda wawancara untuk casting.
Mahasiswi Jurusan Komunikasi dari salah satu Universitas di Beijing tersebut mengatakan, pada saat peristiwa pelecehan tersebut dirinya tengah berusia 17 tahun.
Du kemudian mengatakan, beberapa wanita lain termasuk diantaranya dua orang anak di bawah umur, mengaku juga telah mengalami kejadian serupa.
Mereka mengatakan telah dibujuk untuk berhubungan seks oleh Wu, yang merupakan salah satu bintang pop terbesar China. Kendati demikian, ketika dikonfirmasi oleh CNN, perwakilan Wu urung memberikan tanggapan.
Pernyataan singkat dari kantor kejaksaan di Chaoyang Beijing mengatakan penangkapan Wu atas dugaan pemerkosaan secara resmi disetujui pada Senin kemarin, hanya saja pihak kejaksaan tidak memberikan rincian tentang dakwaan yang ditujukan kepada bintang pop tersebut.
Sebelum ditahan, Wu telah membantah tuduhan di akun Weibo pribadinya. Pihaknya mengatakan sedang menyiapkan tindakan hukum kepada penuduhnya itu dan menyebut tuduhan kepada Wu sebagai "rumor jahat".
Pria yang berkarir sebagai artis solo setelah meninggalkan grup K-Pop EXO.
Wu diketahui telah membintangi banyak film dan menjadi model untuk merek berbagai merek ternama seperti Burberry. Pasca kabar pemerkosaannya menyebar pada bulan Juli kemarin, banyak merek ternama yang sempat menjalin kerja sama dengannya harus mengakhiri kontrak dengannya.
Rumah mode Prancis Louis Vuitton, merek mewah Italia Bulgari dan merek kosmetik Cina Kans termasuk di antara mereka yang menangguhkan atau memutuskan hubungan sepenuhnya dengan sang bintang.
Kejatuhan dramatis Wu semakin dipercepat pasca penahanan dirinya oleh pihak kepolisian China. Akun media sosialnya yang dulu sangat populer, termasuk halaman Weibo-nya dengan lebih dari 51 juta pengikut, dihapus dalam semalam. Lagu-lagunya juga dihapus dari situs streaming musik.
Pada Senin malam, setelah penangkapan Wu menjadi topik trending teratas di Weibo, dengan sebagian besar komentar mendukung tindakan polisi. Sebuah Weibo terkait #MeToo telah dilihat 1,6 miliar kali pada Selasa (17/8) pagi.
Gerakan #MeToo di China
Kasus Wu bukan satu-satunya skandal #MeToo yang mengguncang China dalam beberapa pekan terakhir. Senin lalu, raksasa e-commerce Alibaba mengatakan telah memecat seorang karyawan yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap karyawan lain selama perjalanan bisnis.
Dalam kedua kasus tersebut, para korban telah mem-posting tuduhan mereka di media sosial China, yang memicu kehebohan di dunia maya dan mendorong polisi untuk menyelidikinya.
Tindakan cepat pihak berwenang mendapat pujian dari beberapa orang di dunia maya, yang menyebut dua kasus itu sebagai indikasi penegakan hukum dan peradilan pidana yang efektif di China.
Kendati demikian, hal tersebut juga dinilai menunjukkan masih sedikit korban yang berani berbicara dan mencari keadilan ketika para pelaku merupakan orang-orang yang memiliki kuasa lebih tinggi daripada korban.
"Tidak mengherankan bahwa kedua kasus tersebut telah menarik perhatian luas, mengingat (Kris Wu) dan besarnya nama Alibaba," kata Feng Yuan, seorang sarjana dan aktivis feminis.
"Tetapi ini juga berfungsi sebagai pengingat bahwa untuk banyak kasus pelecehan dan penyerangan seksual lainnya, jika terdakwa tidak begitu terkenal atau berpengaruh, (korban) mungkin tidak akan didengar suaranya sama sekali."
Para penyintas kekerasan seksual telah lama menghadapi stigma dan perlawanan yang kuat di Tiongkok, di tingkat resmi maupun di kalangan masyarakat.
Isu ini mengemuka pada tahun 2018 ketika gerakan #MeToo mengglobal. Di China gerakan ini juga telah mendorong lebih banyak wanita untuk berbagi pengalaman mereka dengan pelanggaran dan penyerangan seksual.
Tapi gerakan dibatalkan, karena pemerintah bergerak untuk memblokir diskusi online yang berkembang, termasuk menyensor tagar dan banyak posting terkait.
Aktivis mengatakan kasus yang terjadi baru-baru ini menunjukkan pemerintah masih enggan membahas pelanggaran seksual sebagai masalah sistemik. Mereka lebih suka melaporkan sebagai kasus individu dan menyalahkannya di isu lain.
Misalnya, badan pengawas pemerintah mengatakan kasus Kris Wu menggambarkan "tangan hitam ibu kota" dan "pertumbuhan liar industri hiburan".
Dalam sebuah artikel editorial, tabloid Global Times yang dikelola pemerintah juga mengatakan skandal Alibaba mencerminkan kebutuhan akan "pengawasan hukum dan moral" yang lebih besar di dunia teknologi, dan bagi perusahaan untuk menyelaraskan "modal" mereka dengan nilai-nilai sosial.
Secara khusus absennya pernyataan resmi dari pemerintah terhadap kasus kekerasan seksual telah mendukung apa yang para aktivis katakan, bahwa akar permasalahan dari kekerasan seksual merupakan kurangnya dukungan bagi para penyintas dan ketidaksetaraan gender yang mengakar di banyak aspek masyarakat.
Salah seorang feminis China terkemuka di New York Lv Pin menilai, alasan mengapa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengakui kemarahan publik di sekitar masalah mendasar tersebut dikarenakan hal itu dapat mendorong pengorganisasian dan aktivisme sosial yang lebih besar.
Feng mengatakan, tidak satupun dari korban yang melangkah maju dalam kasus Kris Wu dan Alibaba menyinggung gerakan sosial #MeToo, yang dapat dengan di sensor dengan mudah oleh pemerintah di media sosial.
Namun, bagi banyak aktivis, kedua kasus tersebut masih memberikan secercah harapan dan sebuah tanda bahwa meskipun pemerintah tidak ingin membicarakan pelecehan seksual, publik lah yang melakukannya.
"Tidak peduli apakah mereka menyebutnya #MeToo atau tidak, intinya adalah #MeToo," kata Feng. "Meskipun sebagian besar akun media sosial feminis terkemuka telah disensor, para korban selalu dapat menemukan cara mereka sendiri untuk berbicara," tegasnya.