Selanjutnya, royalti didistribusikan berdasarkan laporan penggunaan data lagu dan/atau musik yang ada di Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Royalti tersebut didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui LMK.
Kendati demikian, Marulam J. Hutauruk selaku Komisioner Bidang Hukum & Litigasi LMKN menegaskan bahwa pihaknya tidak berwenang melakukan penyelidikan penyaluran royalti dari LMK ke pemilik lagu atau pencipta lagu.
"Jadi kalau dituntut transparan, bisa dilihat sesuai ketentuan ada di website kami, tanggal berapa bulan berapa kami setor ke LMK itu ada di website," kata Marulam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, LMK membagikan ke pemilik hak. Kok terimanya sekian, ya tanyakan ke LMK. Kalau mau tanya LMK terima berapa, bisa tanyakan ke kami. Kami ada datanya," lanjutnya.
Dalam kesempatan itu pula, LMKN juga menjelaskan tentang ketentuan penyaluran royalti bagi pemilik lagu yang belum menjadi anggota dari suatu LMK.
"Untuk yang belum jadi anggota LMK, kami dari LMKN cadangkan hak dari penerima royalti itu sebesar 7 persen atau 14 persen untuk hak terkait," papar Marulam.
"Jadi ketika pemilik hak itu masuk ke LMK, dia bisa klaim untuk royaltinya. Prosesnya ada di UU, ya. Mengenai transparansi kami sudah diaudit, kami sesuai dengan ketentuan UU," lanjutnya.
Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) sebelumnya menuntut pemerintah membatalkan PP Nomor 56 Tahun 2021 tanggal 30 Maret 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Selain itu mereka juga menuntut pembatalan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Seruan ini muncul lantaran AMPLI menuding LMKN belum memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas. Sehingga rawan terjadinya penyalahgunaan dana yang nilainya sangat besar.
(nly/end)