Bukan cuma Roberto. Sejumlah pengamat budaya pop Jepang di Amerika Serikat pun berpendapat serupa. Susan Napier, profesor studi Jepang dari Tufts University, punya beberapa alasan mengapa Hollywood lebih baik mundur dari upaya mengeksploitasi karya-karya budaya Jepang.
"Buatan ulang orang Amerika tampak tidak memahami mengapa orang menyukai anime," kata Napier dalam wawancara dengan CNBC beberapa waktu lalu.
Menurut Napier, anime memiliki kekhasannya sendiri. Salah satunya adalah kerap menampilkan dunia yang tidak bisa digambarkan secara nyata lewat live-action.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Napier menilai hal itu terlalu berisiko dilakukan oleh Hollywood karena agar live-action bisa diterima, nilai-nilai dari versi manga/anime harus tertransfer dengan baik.
"Saya tidak yakin apakah mereka benar-benar bisa melakukan hal yang sama di live-action karena animasi sendiri didorong dengan energi (unik)," kata Napier. "(Live-action) tampaknya tidak mempunyai fleksibilitas dan kebebasan yang sama,"
Selain itu, anime Jepang juga memiliki desain produksi yang berbeda dengan Hollywood. Anime menggunakan animasi dengan frame per detik yang lebih sedikit daripada film animasi Hollywood seperti buatan Disney.
Dengan demikian, Napier menyebutkan kreator anime tidak bisa mengandalkan ekspresi wajah yang kompleks. Mereka kemudian menggali lebih jauh aspek psikologi karakter lewat dialog dan adegan yang menarik perhatian. Kompleksitas karakter dan adegan inilah yang sulit diadaptasi menjadi live-action.
Selain persoalan teknis tersebut, garapan live-action Hollywood juga kerap menihilkan nilai budaya dari cerita asli.
Roberto adalah salah satu orang yang mengkritisi pemilihan pemeran dalam film live-action garapan Hollywood. Ia menilai Hollywood cenderung melakukan "whitewashing" alias menggunakan aktor dan pemeran dari ras kulit putih untuk karakter dari anime/manga yang sebenarnya adalah orang Asia.
Sebagai contoh, karakter Motoko Kusanagi dalam anime Ghost in the Shell. Dalam film live-action, karakter ini diperankan oleh Scarlett Johansson. Padahal dalam versi anime, Matoko Kusanagi digambarkan sebagai robot siborg dengan nama dan bentuk wajah khas orang Jepang.
"Saya tidak tahu apakah itu ada peran politik atau apa," kata Roberto.
"Namanya bikin film kan milih aktornya bukan yang biasa-biasa, harus outstanding. Memang pertama kan sudah dikenal, fisiknya juga bisa membawa dampak buat fan service. Tapi kalau anime ya emang begitu karakternya [sudah apa adanya]," kata Roberto.
Faktor popularitas pemeran ini juga diungkap oleh Alex Burunova, sutradara film dokumenter Enter the Anime yang tayang di Netflix.
"Kesulitannya adalah gaya Hollywood dengan film-film besar ini berfungsi bila dengan aktor-aktor papan atas, yang seringkali menghasilkan whitewashing," kata Burunova kepada CNBC.
"Dengan gaya Hollywood ini, ada banyak ruang untuk kesalahan dan ruang bagi fans untuk sangat kecewa... [mereka] harus bekerja sangat keras untuk mendekati segalanya mulai dari desain set, kostum, hingga memastikan plot dan pengembangan karakternya kuat," lanjutnya.
![]() |
Adapun untuk memperbaiki permasalahan yang kerap terjadi saat membuat remake versi live-action, Hollywood perlu memperhatikan berbagai aspek secara lebih detail.
Salah satunya adalah ide untuk membuat live-action dalam format serial alih-alih film. Hal ini diungkapkan oleh Ellen Seiter, Ketua Studi Televisi di University of Southern California.
"Acara televisi serial lebih cocok daripada film layar lebar," menurut Seiter.
Ide tersebut muncul karena film terkadang kurang mampu menyelami kompleksitas karakter dan cerita anime. Dengan format serial, sutradara mempunyai ruang yang lebih besar untuk mengeksplorasi cerita dan pendalaman karakter.
Selain itu, Hollywood juga wajib memahami bahwa nilai-nilai terkandung dalam cerita dan karakter merupakan nyawa dari anime. Nilai itu juga yang membuat masing-masing anime memiliki penggemar fanatik.
Maka, ada baiknya Hollywood mulai mempertimbangkan agar dapat mengadaptasi secara utuh tanpa harus menghapus bagian-bagian penting dari anime.
(frl/end)