Live-Action, Upaya Perluasan Pasar yang Sering Berbuah Hujatan

CNN Indonesia
Minggu, 23 Jan 2022 08:47 WIB
Tren live-action yang kerap dilakukan Hollywood memiliki cerita budaya yang panjang dan kini kerap menuai hujatan.
Hollywood juga tertarik dengan budaya manga dan anime Jepang yang begitu kaya, salah satunya live-action Dragonball Evolution. (dok. Twentieth Century Fox/Dune Entertainment III LLC via IMDb)
Jakarta, CNN Indonesia --

Bentuk film live-action bukan hal yang asing bagi penggemar budaya pop, animasi/anime, ataupun komik/manga. Sudah banyak judul kartun dan cergam coba diwujudkan secara nyata dan dibawakan oleh manusia sungguhan.

Nyatanya, live-action diyakini tidak hanya muncul di era modern atau budaya populer. Bentuk live-action yang dikenal saat ini sejatinya juga memiliki pola yang sama dengan hiburan tradisional khas Indonesia dan di negara-negara Asia.

"Live-action atau drama sengaja dibuat untuk memperluas segmentasi," kata Roberto Masami Prabowo, Akademisi Sastra Jepang Universitas Bina Nusantara kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mungkin [live-action] salah satu cara untuk menyebarkan karya sastra dengan konsep 'memanusiakan' atau bahasa lainnya itu antropomorfisme," lanjutnya.

Antropomorfisme merupakan upaya memasukkan karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia. Biasanya, antropomorfisme bersubjek pada binatang yang kemudian memiliki kisah seperti pada kehidupan manusia.

Antropomorfisme sendiri diyakini sudah ada dalam kebudayaan manusia sejak 40 ribu tahun yang lalu. Hal itu disebut dapat dilihat dari penggunaan patung-patung hewan oleh bangsa Mesir Kuno dan di Jerman.

"Sama seperti shadow puppet menjadi wayang orang," kata Roberto.

Bentuk antropomorfisme yang mungkin paling dikenal oleh publik adalah fabel. Kisah binatang yang memiliki 'jiwa' dan karakter seperti manusia ini pun dikenal luas dalam beragam karya budaya populer, sebut saja Donald Duck, Doraemon, Mickey Mouse, atau pun Tom and Jerry.

Stand By Me DoraemonStand By Me Doraemon. (dok. Toho Company via IMDb)

Karya-karya yang semula cerita bergambar itu kemudian berkembang menjadi animasi, yang sejatinya adalah gambar karya tangan manusia yang kemudian dengan teknik film dan komputer menjadi karya gambar bergerak.

Perkembangan kreativitas tak berhenti sampai membuat gambar di atas kertas menjadi 'hidup' di layar. Para seniman mencoba mewujudkan gagasan abstrak itu di kehidupan manusia secara nyata yang kemudian dikenal sebagai "live-action".

Berbagai negara yang memiliki industri kreatif yang maju seperti Jepang dan Amerika Serikat pun banyak mewujudkan kisah animasi/anime atau komik/manga mereka dalam bentuk live-action.

Misalnya Hollywood. Disney hingga kini telah menggarap ulang sederet film animasinya menjadi live-action, mulai dari The Lion King, Mulan, Dumbo, hingga Aladdin. Atau Paramount Pictures dengan live-action dari permainan video Sonic the Hedgehog.

Industri hiburan Jepang juga tak kalah. Sudah tak terhitung berapa banyak judul manga atau anime yang mereka wujudkan dalam bentuk live-action. Negara ini dikenal dengan budaya manga dan anime yang bejibun jumlahnya.

COWBOY BEPOP (L to R) DANIELLA PINEDA as FAYE VALENTINE, JOHN CHO as SPIKE SPIEGEL and MUSTAFA SHAKIR as JET BLACK on the set of COWBOY BEPOP Cr. NICOLA DOVE/NETFLIX  2021Live-action Cowboy Bebop (2021). (NICOLA DOVE/NETFLIX)

Terbaru, kisah manga detektif Kindaichi digarap jadi serial live-action yang bertajuk sama dengan komiknya, The Kindaichi Case Files. Itu pun proyek live-action kesekian kalinya dari manga tersebut.

Hollywood juga tertarik dengan budaya manga dan anime Jepang yang begitu kaya. Berbagai rumah produksi di lembah pesisir California itu ramai-ramai menggarap anime atau manga Jepang menjadi proyek live-action.

Mulai dari Dragonball Evolution (2009) produksi Dune Entertainment, Ghost in The Shell (2017) produksi Paramount Pictures, Death Note (2017) garapan Vertigo Entertainment, hingga yang terbaru serial Cowboy Bebop (2021) yang dirilis Netflix tahun lalu.

Namun, beragam proyek live-action ini tak melulu berbuah hal yang manis. Bukan hanya sekadar penilaian kritikus yang pedas, lebih sering yang muncul justru hujatan dari si penggemar cergam dan animasi bila menganggap bentuk live-action tidak sesuai harapan.

"Kebanyakan live-action yang franchise oleh Amerika juga mengecewakan. Kayak yang film, serial, yang dari gim, wah itu kacau semua," kata Roberto.

"Kalau Jepang sih enggak terlalu berubah (cerita dan karakternya), enggak terlalu bikin kaget, enggak kecewa banget. Tapi kalau giliran Amerika yang buat, wah rata-rata kami kecewa," lanjutnya.

Model Hollywood vs Nilai Anime

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER