Jakarta, CNN Indonesia --
Bentuk film live-action bukan hal yang asing bagi penggemar budaya pop, animasi/anime, ataupun komik/manga. Sudah banyak judul kartun dan cergam coba diwujudkan secara nyata dan dibawakan oleh manusia sungguhan.
Nyatanya, live-action diyakini tidak hanya muncul di era modern atau budaya populer. Bentuk live-action yang dikenal saat ini sejatinya juga memiliki pola yang sama dengan hiburan tradisional khas Indonesia dan di negara-negara Asia.
"Live-action atau drama sengaja dibuat untuk memperluas segmentasi," kata Roberto Masami Prabowo, Akademisi Sastra Jepang Universitas Bina Nusantara kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin [live-action] salah satu cara untuk menyebarkan karya sastra dengan konsep 'memanusiakan' atau bahasa lainnya itu antropomorfisme," lanjutnya.
Antropomorfisme merupakan upaya memasukkan karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia. Biasanya, antropomorfisme bersubjek pada binatang yang kemudian memiliki kisah seperti pada kehidupan manusia.
Antropomorfisme sendiri diyakini sudah ada dalam kebudayaan manusia sejak 40 ribu tahun yang lalu. Hal itu disebut dapat dilihat dari penggunaan patung-patung hewan oleh bangsa Mesir Kuno dan di Jerman.
"Sama seperti shadow puppet menjadi wayang orang," kata Roberto.
Bentuk antropomorfisme yang mungkin paling dikenal oleh publik adalah fabel. Kisah binatang yang memiliki 'jiwa' dan karakter seperti manusia ini pun dikenal luas dalam beragam karya budaya populer, sebut saja Donald Duck, Doraemon, Mickey Mouse, atau pun Tom and Jerry.
 Stand By Me Doraemon. (dok. Toho Company via IMDb) |
Karya-karya yang semula cerita bergambar itu kemudian berkembang menjadi animasi, yang sejatinya adalah gambar karya tangan manusia yang kemudian dengan teknik film dan komputer menjadi karya gambar bergerak.
Perkembangan kreativitas tak berhenti sampai membuat gambar di atas kertas menjadi 'hidup' di layar. Para seniman mencoba mewujudkan gagasan abstrak itu di kehidupan manusia secara nyata yang kemudian dikenal sebagai "live-action".
Berbagai negara yang memiliki industri kreatif yang maju seperti Jepang dan Amerika Serikat pun banyak mewujudkan kisah animasi/anime atau komik/manga mereka dalam bentuk live-action.
Misalnya Hollywood. Disney hingga kini telah menggarap ulang sederet film animasinya menjadi live-action, mulai dari The Lion King, Mulan, Dumbo, hingga Aladdin. Atau Paramount Pictures dengan live-action dari permainan video Sonic the Hedgehog.
Industri hiburan Jepang juga tak kalah. Sudah tak terhitung berapa banyak judul manga atau anime yang mereka wujudkan dalam bentuk live-action. Negara ini dikenal dengan budaya manga dan anime yang bejibun jumlahnya.
 Live-action Cowboy Bebop (2021). (NICOLA DOVE/NETFLIX) |
Terbaru, kisah manga detektif Kindaichi digarap jadi serial live-action yang bertajuk sama dengan komiknya, The Kindaichi Case Files. Itu pun proyek live-action kesekian kalinya dari manga tersebut.
Hollywood juga tertarik dengan budaya manga dan anime Jepang yang begitu kaya. Berbagai rumah produksi di lembah pesisir California itu ramai-ramai menggarap anime atau manga Jepang menjadi proyek live-action.
Mulai dari Dragonball Evolution (2009) produksi Dune Entertainment, Ghost in The Shell (2017) produksi Paramount Pictures, Death Note (2017) garapan Vertigo Entertainment, hingga yang terbaru serial Cowboy Bebop (2021) yang dirilis Netflix tahun lalu.
Namun, beragam proyek live-action ini tak melulu berbuah hal yang manis. Bukan hanya sekadar penilaian kritikus yang pedas, lebih sering yang muncul justru hujatan dari si penggemar cergam dan animasi bila menganggap bentuk live-action tidak sesuai harapan.
"Kebanyakan live-action yang franchise oleh Amerika juga mengecewakan. Kayak yang film, serial, yang dari gim, wah itu kacau semua," kata Roberto.
"Kalau Jepang sih enggak terlalu berubah (cerita dan karakternya), enggak terlalu bikin kaget, enggak kecewa banget. Tapi kalau giliran Amerika yang buat, wah rata-rata kami kecewa," lanjutnya.
Bukan cuma Roberto. Sejumlah pengamat budaya pop Jepang di Amerika Serikat pun berpendapat serupa. Susan Napier, profesor studi Jepang dari Tufts University, punya beberapa alasan mengapa Hollywood lebih baik mundur dari upaya mengeksploitasi karya-karya budaya Jepang.
"Buatan ulang orang Amerika tampak tidak memahami mengapa orang menyukai anime," kata Napier dalam wawancara dengan CNBC beberapa waktu lalu.
Menurut Napier, anime memiliki kekhasannya sendiri. Salah satunya adalah kerap menampilkan dunia yang tidak bisa digambarkan secara nyata lewat live-action.
Napier menilai hal itu terlalu berisiko dilakukan oleh Hollywood karena agar live-action bisa diterima, nilai-nilai dari versi manga/anime harus tertransfer dengan baik.
"Saya tidak yakin apakah mereka benar-benar bisa melakukan hal yang sama di live-action karena animasi sendiri didorong dengan energi (unik)," kata Napier. "(Live-action) tampaknya tidak mempunyai fleksibilitas dan kebebasan yang sama,"
Selain itu, anime Jepang juga memiliki desain produksi yang berbeda dengan Hollywood. Anime menggunakan animasi dengan frame per detik yang lebih sedikit daripada film animasi Hollywood seperti buatan Disney.
Dengan demikian, Napier menyebutkan kreator anime tidak bisa mengandalkan ekspresi wajah yang kompleks. Mereka kemudian menggali lebih jauh aspek psikologi karakter lewat dialog dan adegan yang menarik perhatian. Kompleksitas karakter dan adegan inilah yang sulit diadaptasi menjadi live-action.
Selain persoalan teknis tersebut, garapan live-action Hollywood juga kerap menihilkan nilai budaya dari cerita asli.
Roberto adalah salah satu orang yang mengkritisi pemilihan pemeran dalam film live-action garapan Hollywood. Ia menilai Hollywood cenderung melakukan "whitewashing" alias menggunakan aktor dan pemeran dari ras kulit putih untuk karakter dari anime/manga yang sebenarnya adalah orang Asia.
Sebagai contoh, karakter Motoko Kusanagi dalam anime Ghost in the Shell. Dalam film live-action, karakter ini diperankan oleh Scarlett Johansson. Padahal dalam versi anime, Matoko Kusanagi digambarkan sebagai robot siborg dengan nama dan bentuk wajah khas orang Jepang.
[Gambas:Youtube]
"Saya tidak tahu apakah itu ada peran politik atau apa," kata Roberto.
"Namanya bikin film kan milih aktornya bukan yang biasa-biasa, harus outstanding. Memang pertama kan sudah dikenal, fisiknya juga bisa membawa dampak buat fan service. Tapi kalau anime ya emang begitu karakternya [sudah apa adanya]," kata Roberto.
Faktor popularitas pemeran ini juga diungkap oleh Alex Burunova, sutradara film dokumenter Enter the Anime yang tayang di Netflix.
"Kesulitannya adalah gaya Hollywood dengan film-film besar ini berfungsi bila dengan aktor-aktor papan atas, yang seringkali menghasilkan whitewashing," kata Burunova kepada CNBC.
"Dengan gaya Hollywood ini, ada banyak ruang untuk kesalahan dan ruang bagi fans untuk sangat kecewa... [mereka] harus bekerja sangat keras untuk mendekati segalanya mulai dari desain set, kostum, hingga memastikan plot dan pengembangan karakternya kuat," lanjutnya.
 Detective Conan: Shinichi Kudo's Written Challenge! The Mystery of the Legendary Strange Bird (2011) oleh Jepang. (dok. The Works/Yomiuri Telecasting Corporation (YTV) via IMDb) |
Serial Lebih Baik
Adapun untuk memperbaiki permasalahan yang kerap terjadi saat membuat remake versi live-action, Hollywood perlu memperhatikan berbagai aspek secara lebih detail.
Salah satunya adalah ide untuk membuat live-action dalam format serial alih-alih film. Hal ini diungkapkan oleh Ellen Seiter, Ketua Studi Televisi di University of Southern California.
"Acara televisi serial lebih cocok daripada film layar lebar," menurut Seiter.
Ide tersebut muncul karena film terkadang kurang mampu menyelami kompleksitas karakter dan cerita anime. Dengan format serial, sutradara mempunyai ruang yang lebih besar untuk mengeksplorasi cerita dan pendalaman karakter.
Selain itu, Hollywood juga wajib memahami bahwa nilai-nilai terkandung dalam cerita dan karakter merupakan nyawa dari anime. Nilai itu juga yang membuat masing-masing anime memiliki penggemar fanatik.
Maka, ada baiknya Hollywood mulai mempertimbangkan agar dapat mengadaptasi secara utuh tanpa harus menghapus bagian-bagian penting dari anime.