Jakarta, CNN Indonesia --
Keputusan Kementerian Agama mengganti logo halal dengan bentuk gunungan wayang memicu perdebatan netizen, mulai dari soal bentuk tulisan bahasa Arab "halal" yang rancu hingga dianggap Jawa-sentris.
Namun Akademisi Budaya Jawa Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, menilai bahwa gunungan pada sejatinya kini sudah lebih dari sekadar produk kebudayaan yang berasal dari Jawa.
"Gunungan termasuk wayang, wayang diakui sebagai warisan dunia, pengesahannya oleh UNESCO," kata Dwi Woro kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/3). "Berarti gunungan sudah dipahami memiliki makna yang universal,"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pikir bukan Jawa-sentris juga, itu sudah dunia, sudah universal," kata Dwi Woro.
Selain itu, peralihan makna gunungan sebagai suatu simbol yang universal juga disebut sebagai salah satu bentuk 'kebaruan dan kemajuan kebudayaan'.
Hal itu, menurut Dwi Woro, berkaitan dengan bagaimana masyarakat Indonesia mencintai budaya dengan simbol-simbol yang tergambar dan dikeluarkan oleh negara.
 Akademisi Budaya Jawa Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, menilai bahwa gunungan pada sejatinya kini sudah lebih dari sekadar produk kebudayaan yang berasal dari Jawa. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim) |
Dwi Woro mengingatkan bahwa aspek yang paling penting dari logo tersebut sejatinya bukanlah bentuk. Melainkan, arti dari kata 'halal' itu sendiri.
"Kenapa harus sibuk dengan bentuk? Bentuk kan boleh elips, boleh gunungan. Dulu bundar, sekarang agak lonjong atau lancip," katanya. "Ganti suasana saja,"
Makna Gunungan lanjut ke sebelah...
Dalam budaya Jawa, papar Dwi Woro, gunungan dimaknai sebagai simbol yang berkaitan dengan Sang Pencipta. Hal itu digambarkan dari bentuknya yang lancip ke atas, menandakan keesaan Tuhan.
Jika mengacu pada pewayangan, terdapat banyak ornamen di dalam setiap gunungan. Dwi Woro menjelaskan, ornamen itu merupakan kiasan yang mengandung makna tentang kehidupan dan kaitannya dengan Tuhan.
Gunungan disebut sebagai cara memvisualisasikan konsep hidup dengan tujuan kembali kepada Tuhan. Ia menyebut satu istilah Jawa, 'sangkan paraning dumadi,' yang berarti 'kembali kepada yang Esa'.
"Untuk sampai ke sana [puncak] itu tidak hanya sekadar kosong. Tapi harus ada proses panjang kehidupan. Lahir, hidup, mati, [dan] kembali pada Sang Pencipta," ujar Dwi Woro.
Motif gunungan hingga saat ini telah diterapkan ke berbagai tempat dengan kegunaannya masing-masing. Selain dihadirkan dalam dunia wayang, gunungan juga kerap diadopsi dalam bentuk-bentuk atap rumah.
[Gambas:Infografis CNN]
Selain itu, gunungan juga tak jarang dilihat sebagai suatu karya seni dan hiasan. Salah satunya kerap digunakan sebagai hiasan dalam suatu pernikahan.
"Seperti halnya tumpeng, itu pasti lancip. Gunungan juga lancip. Berarti hanya satu yang disembah, yaitu Gusti Allah," papar Dwi Woro.
"Jadi, gunungan pun berada pada satu makna filosofi yang mengacu kepada hanya satu yang disembah yaitu Gusti Allah," katanya.
Menurut Dwi Woro, penggunaan gunungan di berbagai tempat pada akhirnya mempunyai satu benang merah yang sama. Simbol itu dipakai untuk melambangkan suatu kehidupan dan dunia beserta isinya.
"Juga melambangkan sebuah hutan rimba, hidup itu penuh dengan godaan, penuh dengan ujian," kata Dwi Woro.